Jumat, 27 Juli 2012

Sebuah KE-PERNAH-AN..

Status Facebook salah seorang temanku beberapa hari lalu mengenai sebuah Ke-pernah-an, membuatku diam tertegun, mengingat segala hal yang mampir dalam hidup.
Kata PERNAH, menjadi hal yang terus terngiang di kepalaku sejak hari itu. Memutar waktu dan memori untuk kemudian terus bersyukur dalam mengenyam Ke-pernah-an.

Ya, tiap kita pasti pernah merasakan pengalaman-pengalaman dalam hidup yang bisa saja tidak akan berulang kembali. Pengalaman itu menjadi kian mahal, saat tidak semua orang bisa merasakan apa yang kita rasakan. Mungkin anda juga bisa menceritakan ke-pernah-an apa saja yang hadir di hidup anda, selama nafas masih berhembus.
Bagiku, banyak sekali hal yang menandakan nikmatnya ke-pernah-an itu.

Setelah lulus SD di tahun 1997, aku memasuki sebuah pesantren di bilangan Mantingan, Ngawi jawa Timur. Gontor Puteri, begitulah pesantren nan sangat kubanggakan itu biasa disebut. Saat memasuki gerbang Gontor Puteri di sekitar tahun 1997-1998 itu, tidak ada perasaan takut, sedih, cemas atau bahkan memikirkan akan kabur dari pesantren itu suatu hari nanti. Kondisi itu berbanding terbalik dengan potret para calon santriwati baru yang kulihat saat itu. Sebagian mereka, 'merengek' untuk tidak ditinggalkan cepat-cepat oleh sang keluarga. Ada juga wajah-wajah yang mensiratkan cemas menghadapi kehidupan pondok.

Dua hari satu malam bersama kedua orang tuaku di awal memasuki pondok Gontor Puteri itu, kuanggap sebagai babak awal kehidupan mandiri yang akan kurasakan. Setidaknya untuk memompa diri menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Benar saja, ke-pernah-an itu sungguh sangaaaat ku syukuri hingga hari ini.Pondok mengajarkan banyak hal, baik kemandirian, disiplin, pengalaman berorganisasi, interaksi sosial, tenggang rasa, ukhuwwah Islamiyah dan masih banyak lagi hal lain yang hingga kini masih kurasakan dampaknya. Subhanallah, sungguh aku beruntung dan bersyukur pada Allah, bahwa ketika 'godaan' untuk pulang selamanya dari pondok itu hadir di tahun ketiga, suara hatiku mentah-mentah menolaknya.

Selama di pondok pula, pengalaman kepemimpinan dengan menjadi ketua rayon (satu gedung yang ditempati oleh para santriwati dari berbagai angkatan/kelas)memberikanku suatu pandangan baru ketika dihadapkan dengan saat-saat genting pengambilan keputusan untuk kemajuan rayon. Pun ketika menjadi bagian bahasa di rayon, aku mendapatkan pengalaman berharga betapa berharga nya nilai kedisiplinan. Betapa berharga pula sebuah kemampuan berbahasa. Bahasa dapat membuka mata kita akan keberagaman informasi dari seluruh dunia. Pengalaman kedisiplinan untuk mendisiplinkan diri dan orang lain pun ku dapat dari pengalaman menjadi bagian keamanan pusat, yang dipercayakan oleh teman-teman serta para guru-guru kami. Aku yakin, teman-temanku sesama alumni Pondok Gontor Puteri pun merasakan hal yang sama.

Seusai mengecap kehidupan pondok modern selama enam tahun lebih, aku pun masuk di sebuah perguruan tinggi negeri, UIN Jakarta. Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam yang kupilih, benar-benar menghadirkan ke-pernah-an yang luar biasa. Menjadi seorang penyiar radio Fakultas, Master of Ceremony di acara-acara seminar serta dikusi mahasiswa, juga perlombaan serupa, mengisi hari-hariku selama kuliah di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta.
Tidak hanya di situ, konten ilmu dakwah yang kami pelajari di pondok dengan melaksanakan Public Speaking/ Muhadhoroh selama dua kali dalam seminggu, juga bisa tersalurkan ketika aku duduk di bangku kuliah. Subhanallah, sangat mahal harga sebuah ke-pernah-an itu. Pun keberanian dan interaksi sosial yang kudapatkan selama di pondok, membantuku ketika terjun ke masyarakat untuk berbagi informasi, ilmu dan pengalaman.

Selama kuliah, ilmu bahasa yang kudapati di pondok, juga sangat bermanfaat dalam mencari ragam referensi penunjang mata kuliah yang ada. Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, mengantarkanku juga pada jaringan yang luas, dalam aspek media dan jurnalisme. Setidaknya, hal itu kurasakan ketika bekerja di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) setelah lulus dari S1 di tahun 2008.
Ke-pernah-an dalam bekerja di ISAI dan menggeluti media watch, mengantarkan ku pada sebuah ketertarikan akan dunia politik. Akhirnya, setelah menyelesaikan kontrak kerjaku, aku pun memutuskan untuk masuk di Departemen Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI. Sungguh, banyak sekali ragam ke-pernah-an yang kurasakan selama menjadi mahasiswi ilmu politik. Diantaranya berinteraksi dan berdiskusi dengan seorang mantan diplomat yang kukenal ketika menemui seorang teman di gedung DPR. Saat itu kami berdiskusi mengenai perpolitikan Indonesia serta generasi muda ke depan. Pesannya yang sangat kuingat adalah, "Nikmati proses menuju keberhasilanmu". Dengan kata lain, ia ingin menekankan agar jangan menjadi orang yang tergesa-gesa menuju kesuksesan, karena dengan begitu, kita akan gelap mata dan menghalalkan segala cara.

Ke-pernah-an lainnya tentu saja mempunyai relasi/jaringan yang sangat banyak di berbagai LSM. Konsentrasi yang kupilih dalam isu perempuan dan politik, mengantarkanku pada ke-pernah-an mewawancarai orang-orang yang kubilang mempunyai pengalaman sangat banyak di dunia politik perempuan, baik anggota dewan, Direktur Eksekutif sebuah LSM ataupun penggiat pekerja sosial/buruh migran.
Aku hanya bisa berkata Alhamdulillah atas segala ke-pernah-an yang hadir dalam hidup. Tidak lain hanya atas kuasaNya dengan melihat tiap usaha hambaNya, bukankah begitu kawan?
Akhirnya, ke-pernah-an dalam mengecap ragam pengalaman berharga itu, yang membuatku selalu menularkan cerita-cerita hikmah yang ada saat berbagi pengalaman dalam mata kuliah pembangunan politik pada adek-adekku di UIN Jakarta saat ini.

Sungguh, status FB temanku itu membuatku sangat bersyukur atas kuasa Ilahi selama 26 tahun ini. Detik ini, aku semakin menghayati kata "Experience is the best teacher".
Bagaimana denganmu kawan?


Jakarta, 28 Juli 2012.