Minggu, 29 Januari 2012

Sebuah Kehidupan

Kehidupan tidak pernah berdiri secara tunggal. Ia terdiri dari sebuah tahapan peristiwa yang akan menjadikan pribadimu lekat dengan berbagai label. Pribadi yang sukses, gagal, ceria, bersemangat, muram, dan sebagainya. Banyak diantara kita yang mungkin dalam sebuah perenungan di kala malam, bertanya-tanya, apa tujuan hidup yang hendak aku capai? Dan banyak juga pribadi yang kemudian hanya bisa menggelengkan kepala serta berfikir lama, ketika pertanyaan semacam itu tertuju pada diri kita.
Sejatinya, tujuan hidup hanya bisa direncanakan dan dibuat oleh diri sendiri, seraya meminta persetujuan dan ridho dari Allah SWT.

Lantas, sebuah pertanyaan hadir. Ketika kita telah merencanakan sebuah kehidupan yang kita inginkan, namun terjadi dengan kondisi yang tidak kita inginkan. Apa berarti rencana kehidupan tersebut tidak di ridhoi Allah? Atau perencanaan kita yang tidak benar?
Selalu ada jawaban dari kegelisahan-kegelisahan kita selama ini. Jika memang kehidupan yang kita jalani belum sesuai dengan apa yang kita impikan, tanyakanlah pada diri kita beberapa hal. Apakah perencanaan hidup yang kau buat lahir dari diri sendiri, atau karena sebuah keterpaksaan lingkungan sosial dan keluarga? Apakah kau menikmati perencanaan hidup yang kau buat? Apakah perencanaan hidupmu lahir dari kesukaanmu terhadap sesuatu, yang kelak akan mendatangkan kebahagiaan? Apakah kau menyertakan Allah dalam perencanaan kehidupanmu?

Jika kita telah menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas, mungkin hidup yang kita jalani adalah hidup yang damai. Hidup yang membawa kita pada sebuah kualitas diri yang baik dan mendatangkan kemampuan/kebisaan dan kemudian menghasilkan nilai bahagia non ekonomi dan ekonomi. Aku teringat salah satu paparan Pak Mario Teguh di salah satu stasiun televisi swasta tentang alat tukar uang. Inti dari ajakan beliau adalah, marilah kita sadar akan alat tukar uang yang ada di diri kita. Jadikan KEMAMPUAN/ KEBISAAN YANG KITA SENANGI sebagai tumpuan diri untuk sukses dan kemudian menjadi alat tukar uang guna membahagiakan kehidupan diri dan sesama. Nah, dari sini aku pun mulai berfikir, bukankah banyak diantara kita yang bekerja hanya berorientasi pada hasil (yaitu uang-nya), tidak peduli apapun pekerjaan yang akan digeluti, dan tidak menjadikan pekerjaan yang kita mampu/senangi sebagai alat tukar uang?

Hidup adalah Perjuangan. Rintangan, hambatan, peremehan dan cacian dari orang lain yang mungkin sedang kita alami saat ini, adalah sarana pendewasaan diri dan kesuksesan. Meski hidup kadang sulit untuk dipahami, meski hidup kadang membawa kita kepada keadaan yang tidak kita rencanakan, meski hidup kadang meminta kita untuk bersabar menemukan pelabuhan terakhir, namun tetaplah kita berada di jalan yang di ridhoi Allah SWT. Tetaplah kita menjadi manusia dengan golongan sebaik-baik manusia, yaitu yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Khoirunnaas anfa’uhum linnaas. Yakinlah bahwa kesulitan yang kau hadapi tidak akan lama. Perjuanganmu untuk menggapai kehidupan yang lebih baik bagi dirimu, keluargamu dan sesama, akan menemui jalan terang. Prinsipmu untuk mendahulukan cara-cara yang baik, akan menemui kesuksesannya kelak, sebagai bukti ridho Ilahi Rabbi. Amin.

Jakarta, 30 Januari 2012.


Senin, 23 Januari 2012

Belajar Jujur

Sore itu, aku memutuskan untuk belanja di sebuah supermarket di bilangan Pejaten. Hari libur Imlek yang jatuh di bulan Januari 2012 menghadirkan suasana yang sangat ramai dan cozy di supermarket tersebut. Rasa nyaman itu membuatku semakin betah untuk mengelilingi tiap sudut stand yang ada. Tak heran jika banyak pengunjung yang makin banyak berdatangan dan menghabiskan waktu nya untuk berlama-lama berbelanja di supermarket hingga membeli apapun yang sebetulnya tidak ada di daftar belanjaan mereka. Yaah, begitulah strategi sang supermarket untuk menjaring lebih banyak lagi pembeli dan menyingkirkan saingan nya, yaitu pasar tradisional. Ibuku sering berkata bahwa belanja di supermarket itu memang mengasyikkan hingga lupa waktu dan lupa diri. Berdasarkan pengakuannya, ada sensasi tersendiri ketika mengambil beberapa barang, baik makanan hingga belanjaan bulanan untuk kemudian meletakkannya di kereta dorong khas supermarket. Namun begitu tiba di kasir untuk kemudian dihitung harga total belanjaan, baru kesadaran untuk mengurangi beberapa belanjaan hadir. Terlebih ketika sang kasir menunjukkan total harga belanjaan yang harus dibayar, yang melebihi rencana awal ketika di rumah. Waaah,, sensasi nikmat yang beberapa jam lalu sebelum sampai di kasir, hilang seketika dan berganti menjadi sebuah kebingungan serta penyesalan, hehe.

Well, lagi-lagi, itulah strategi sebuah supermarket untuk menjaring konsumen nya. Belum lagi tawaran -tawaran kartu kredit yang semakin membuat konsumen terlena untuk berbelanja lebih dan lebih lagi dengan cukup menggesek si kartu. Hal ini tentu nya membutuhkan keberpihakan pemerintah setempat untuk lebih memperhatikan keberlangsungan pasar tradisional, yang sebetulnya jauh lebih mempunyai harga yang terjangkau dan miring untuk bisa dibeli oleh semua level masyarakat. Namun, kondisi yang becek dan kotor yang banyak ditemui di sejumlah pasar tradisional, menjadikan mayoritas masyarakat setempat di Indonesia lebih memilih untuk pergi ke supermarket atau hypermarket. Kali ini aku tidak akan membahas lebih jauh tentang keberadaan sang supermarket atau pasar tradisional, karena ada satu hal di senja hari itu yang membuatku tertarik untuk menuliskannya lebih lanjut.

Setelah selesai mengambil beberapa barang dan makanan yang ku butuhkan, aku pun meluncur ke salah satu garis antrian yang sangat ramai karena bertepatan dengan hari libur Nasional. Beberapa konsumen terlihat memenuhi kereta dorong nya dengan belanjaan yang super banyak hingga tidak ada ruang kosong lagi di kereta belanjaannya. Ada juga yang hanya membeli beberapa kebutuhan penting saja seperti aku.
Sejurus kemudian, sambil mengantri, perhatian ku tersedot ke suara dialog antara ibu dan anak yang tepat berada di samping line antrianku. Sang anak tengah jongkok dan memperhatikan sebuah permen yang terlihat seperti kapas dengan kemasan warna warni. Nampaknya sang ibu tidak ingin si buah hati mengambil dan kemudian menaruh permen itu di keranjang belanjaan. Entah kehabisan akal atau bagaimana, sang ibu kemudian mengatakan pada anak nya bahwa bungkusan itu bukan permen, melainkan kapas. 'Jangan diambil ya, itu kapas bukan makanan!', begitulah ujar sang ibu. Si anak kekeuh dan balik berujar 'Ini permen kok mah, bukan kapas!'. Terlihat tidak senang dengan tindakan anaknya yang penasaran dengen permen tersebut, ibu tersebut pun berujar kembali,' Itu kapas, bukan permen, coba deh kalau nggak percaya, tanya tuh sama abang yang jaga di situ', seraya meminta persetujuan dari penjaga kasir yang tengah merapihkan barang dan berada dekat dengan tempat anak kecil itu jongkok. Ternyata, sang anak juga sudah mengambil mainan robot-robotan dan pesawat terbang sebelumnya, yang terlihat lumayan mahal harga nya. Sang ibu pun lanjut mengancam anak untuk meletakkan kembali mainan nya, jika sang anak tetap ingin permen kapas yang dikatakan sebagai kapas oleh ibunya itu.

Akhirnya, sang anak merengek kepada ibu nya untuk tidak meletakkan kembali mainannya seraya menyerah dengan tidak jadi mengambil permen kapas itu. Kejadian ini membuatku berfikir. Berapa banyak ibu yang melakukan hal yang sama untuk mencegah anaknya membeli barang-barang atau makanan yang tidak baik bagi sang anak. Mungkin niat sang ibu benar, tapi cara yang digunakan kurang tepat.
Bukankah pengenalan untuk mengatakan sesuatu dengan jujur dan apa adanya, sesuai fakta, harus lah di mulai sejak dini? lantas, jika sang ibu tidak mengiyakan keyakinan anak yang benar, bahwa barang itu adalah permen kapas dan bukan kapas (barang), akan jadi apa sang anak ke depan?
Nampaknya akan lebih elok dan terdengar indah jika sang ibu mengucapkan kata-kata bijak yang membuat anak berfikir untuk akhirnya tidak mengambil permen kapas itu. Sebagai contoh, ibu bisa mengajak sang anak berdialog, 'Nak, iya bener itu permen kapas. Tapi, tadi kan sudah beli mainan pesawat dan robot-robotan yang bagus. Nah, beli permen kapas nya nanti lagi ya..?'. Bukankah jawaban itu lebih baik ketimbang mengatakan 'bukan' untuk sesuatu yang benar dari jawaban dan daya fikir anak?

Satu hal juga yang ku petik dari pelajaran sore hari itu. Bahwa menjadi seorang ibu memang tidak mudah. Ibu harus terus berfikir untuk merangsang daya fikir anak. Ibu harus mencari kata-kata yang baik untuk kemudian terekam dengan baik pula di benak sang anak. Serta masih banyak hal lainnya yang tentunya merupakan tugas berat dari seorang ibu. Subhanallah... tiba-tiba aku teringat pada ibuku yang hingga detik ini terus membimbingku untuk selalu berbicara jujur, apapun situasi yang terjadi. Dan aku yakini bahwa kejujuranku itu adalah kejujuran yang dimulai lebih dulu oleh ibuku kala mendidikku di masa kecil. Terimakasih ibu..
Terimakasih Allah.. untuk mengirimkan seorang ibu yang super hebat dalam hidupku.

23 Januari 2012.

Jumat, 20 Januari 2012

Sinetron ‘Lebay’

Tema tulisan kali ini tidak bermaksud untuk menggeneralisasikan semua judul dan jenis sinetron. Mungkin, ada ‘sebagian’ sinetron yang bermanfaat, meski terdengar sangaaaat jarang atau juga mustahil terjadi saat ini. Terdapat salah satu media massa televisi swasta, diantara televisi lainnya, yang menjadwalkan penayangan sinetron mulai dari sebelum waktu adzan maghrib berkumandang, hingga sekitar pukul 22.00 WIB. Waw, kebayang nggak sih durasi nan panjang bagai ular itu, harus di isi dengan tayangan sinetron? Parahnya lagi, banyak dari kita yang akhirnya terlena juga melihat tiga judul sinetron yang ditayangkan dengan alasan tidak ada acara yang lebih menarik dibanding sinetron, hehe.

Hari itu, sambil menunggu adzan maghrib, aku pun menyalakan televisi. Sampailah di salah satu tayangan sinetron yang mengkisahkan perjuangan percintaan dua insani antara orang yang bernama Dewa (perempuan) dan Sakti (laki-lak)i. Dengan alasan serupa di atas, bahwa tidak ada lagi tayangan yang menarik kala itu, aku pun melihat beberapa adegan yang ditayangan dalam sinetron tersebut. Episode kali itu bercerita tentang ketidakikhlasan sang perempuan yang melihat kekasih nya di penjara. Sang perempuan pun berfikir bagaimana caranya agar sang kekasih dapat keluar dari penjara. Ide untuk membawa kabur sang pujaan hati pun muncul. Singkat cerita, kaburlah sang kekasih hati dengan mengendarakan sepeda motor. Sebelum berpamitan, sang kekasih mengucapkan ‘Apapun yang terjadi nanti, aku ingin kamu tahu, bahwa aku menyayangimu’, waw kalau kata sebagian remaja kita ni, ‘so sweeet... ‘, hehehe. Nah, entah di ridhoi oleh Allah atau nggak ya kaburnya sang lelaki pujaan Dewa ini, ditengah perjalanan, ia mengalami kecelakaan yang menyebabkannya koma. Di sinilah ‘ke-lebay-an’ itu bermula.

‘Lebay’, ‘Alay’ atau apapun itu namanya, nampak nya sudah menjadi suatu bahasa gaul yang dipopulerkan pertama kali entah oleh siapa. Tiba-tiba aku pun mendengar bahasa itu terlontar dari beberapa teman adikku yang bertandang ke rumah. Lebay mungkin dapat diartikan ‘berlebihan’, ya berlebihan dalam segala hal, seperti berlebihan dalam bertingkah, bergaul, berinteraksi dengan orang atau juga salah satunya ya tampilan adegan sinetron tentang dua insani di atas. Bahkan, menurutku, kejadian setelah koma-nya sang lelaki pujaan, cenderung mengesampingkan nilai-nilai religius yang ada.

Setelah keadaan koma mendera kekasih hati, sang perempuan pun terus menangis dan menunggui-nya di rumah sakit. Entah dari mana sebuah ide tercetus, dalam keadaan koma, roh sang lelaki bangun dan pisah dari jasadnya. Ketika bangun, ia melihat kekasih hati menangis dan terus memanggilnya sambil mengingatkan untuk tidak menangis karena ia ada di samping nya. Namun, tentu saja sang perempuan tidak dapat mendengarnya karena toh itu adalah roh yang terpisah dari jasad. Akhirnya, dengan akting yang terbilang cukup menjanjikan, sang lelaki terus bertanya dan selalu berulang, ‘sebenarnya ada apa ini, mengapa semua orang tidak bisa melihatku?’. Weleh-weleh mas, ya coba deh di cari jawabannya sendiri ya kenapa dirimu ndak bisa dilihat orang sekitar??
Tidak cukup di situ, ketika sang perempuan ditangkap polisi dengan tuduhan membawa kabur tahanan penjara, maka sang kekasih yang roh nya terpisah dari jasadnya mencoba menolong kekasihnya, meski tentu saja tidak bisa. Kejadian berlanjut hingga ikut-nya sang roh ke peradilan kekasih perempuan sambil terus mengucapkan ‘Meski kamu tidak bisa melihatku, kamu tahu kan aku nggak pernah meninggalkanmu. Aku selalu ada di sampingmu’, waw, mungkin episode kali ini berniat membawa pemirsa dalam kesedihan yang mendalam hingga menangis berember-ember.

Kejadian selanjutnya, sang roh laki-laki ini putus asa memikirkan bagaimana caranya agar tiap orang, terutama kekasihnya dapat melihatnya kembali. Dalam keadaan putus asa, hadirlah seorang perempuan yang berperan sebagai ‘madam’ dan mempunyai ‘keistimewaan’ untuk melihat hal ghaib. Otomatis sang roh pun terlihat olehnya. Roh laki-laki digambarkan senang bukan main ketika tahu ada orang yang bisa melihatnya. Akhirnya ia pun meminta bantuan dan saran padanya bagaimana agar ia bisa kembali ke jasadnya. Hmm, kebayang nggak sih ada cerita seperti itu dalam kondisi nyata? Belum lagi ketika sang madam menyarankan roh lelaki ini untuk membantu orang yang akan meninggal dulu sebagai bentuk kebaikannya dan kelak ia bisa kembali ke jasadnya. Nah, akhirnya ia menemukan orang yang juga korban kecelakaan, di mana ternyata orang itu adalah teman kekasih nya. Korban tersebut dinyatakan oleh dokter tidak bisa tertolong lagi. Akhirnya sang roh terus menyemangati korban yang ‘nampaknya’ akan segera meninggal (begitulah kondisi korban dilukiskan) dan mengingatkan bahwa ia harus bertahan hidup demi sang kekasih korban yang tengah menangis tersedu-sedu di sampingnya. Nah lho, bertahan hidup bukan demi kehidupan orang tua, anak atau istri ke depannya gitu ya, tapi demi kekasih. Bukan itu saja, semangat yang ditampilkan oleh tayangan sinetron dalam episode kala itu bukanlah semangat pemasrahan diri kepada Allah, tapi lebih pada menjalankan saran sang madam, yang tidak lain agar diri sang roh dapat kembali dilihat oleh kekasih hatinya. Ya ampuuun,, lebay banget nggak sih, hahahahaha.

Ya, itulah sekilas tentang pengalamanku melihat sebuah kualitas tayangan sinetron di senja hari itu. Ironisnya, potret sinetron yang seperti itu, yang jalan ceritanya hanya berkutat di masalah percintaan, perkelahian, bentrok pembagian harta waris dan sebagainya sudah masssif terpotret di hampir seluruh sinteron yang ditayangkan. Apakah banyak sinetron yang menampilkan perjuangan seorang anak kecil untuk membantu kebutuhan keluarganya dan juga membiayai dirinya agar bisa bersekolah dengan ia menjadi loper koran misalnya? Atau seorang mahasiswa rantau yang harus memutar otak untuk membiayai kebutuhan hidupnya dan kuliahnya karena ingin mencoba belajar mandiri dan tidak merepotkan kedua orang tuanya? Nampaknya jarang sekali kita temukan ya. Tentunya kita rindu akan potret sinetron seperti ‘Keluarga Cemara’ yang menampilkan potret perjuangan sang ayah dan ibu yang harus menghidupi beberapa anaknya agar bisa terus sekolah.

Sebuah media massa bernama televisi mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan masyarakat. Bagi anak kecil, apapun tayangan yang ditampilkan oleh televisi, akan dengan mudah di cerna, baik perkataan maupun adegan yang ada. Bagi kalangan remaja, apa yang ditayangkan oleh televisi, termasuk sinetron ibarat ‘kiblat’ nya dalam bersikap. Karena itu, tidak aneh jika kemudian kita lihat banyak remaja berdandan, bertingkah laku dan berkata persis seperti apa yang ditayangkan oleh sinetron atau program lainnya. Bagi orang dewasa yang berniat untuk menghilangkan penat setelah kerja, sinetron adalah hiburan yang cukup menghibur. Nah, apa jadinya jika tayangan sinetron tersebut ternyata hanya menghibur tanpa bisa mendidik juga mencerdaskan pemirsa nya? Mau jadi apa kelak generasi-generasi muda kita ke depan? Pembentukan akhlak dan mental spiritual terkait hubungan ke Sang Maha Pencipta, seharusnya bisa juga disosialisasikan oleh sebuah tayangan sinetron. Jika kita, masyarakat Indonesia masih terkungkung dalam tayangan ‘lebay’, maka bagaimana kehidupan masyarakat kita ke depan sebagai bagian dari Negara sebesar Indonesia?

Perlu sinergi pemerintah pusat, daerah (untuk tv lokal) dan juga para pebisnis media untuk bisa menyepakati tayangan-tayangan yang tidak menghilangkan kesan hiburan, tapi juga bisa mencerdaskan dan tidak ‘alay’, ‘lebay’, bahkan cenderung ke ‘pembodohan’. Bisa dimaklumi ketika pebisnis media saling bersaing dan memperhitungkan rating. Namun, tentu ada tanggung jawab moril yang harusnya juga dikedepankan. Jika tanggung jawab moril pun hilang dan hanya berorientasi meraup keuntungan, apa kata dunia??

Jakarta, 21 Januari 2012.










Rabu, 18 Januari 2012

Rasa Ujub

Kata Ujub bisa diartikan sebagai rasa membanggakan diri sendiri. Salah satu situs yang saya baca belakangan ini mengenai pengertian dan ulasan mengenai Ujub sangatlah menarik, yaitu umum.kompasiana.com. Mengutip bahasan atau ulasan yang ada di situ, Ujub berasal dari bahasa Arab, di mana selain sikap membanggakan sendiri, Ujub juga berarti merasa heran terhadap diri sendiri sebab adanya satu hal dan hal lain. Mungkin sebagian kita pernah melihat sikap orang yang sedang Ujub. Atau, bisa saja kita pun pernah bersikap Ujub, Na’udzubillah min dzaalik. Tulisan ini tidak bermaksud menyinggung siapapun yang membaca-nya, hanya sekedar berbagi tentang kejadian hari ini yang sempat membuat saya tersenyum sendiri.

Alhamdulillah hari ini saya berkesempatan menghadiri sebuah workshop tentang akses pengembangan kesehatan masyarakat, terutama bagi perempuan di DKI Jakarta. Ketika tiba di tempat pada pukul 09.00 WIB, ruangan masih terlihat kosong, hanya ada 6 orang siswa/i Aliyah. Padahal, sang panitia menginformasikan bahwa acara akan dimulai pukul 09.00 WIB. Workshop ini mengundang beberapa kalangan dari berbagai kelompok, yaitu kelompok ibu-ibu pengajian, kelompok sebuah Ormas, kelompok Ormas pemuda dan juga anak-anak sekolah, yang belakangan berbaju putih abu-abu dan putih biru. Selang 30 menit kemudian, beberapa anggota dari beberapa kalangan kelompok pun hadir.

Nah, kejadian lucu dan menggelikan itu terjadi ketika salah seorang dari kelompok pengajian ibu-ibu datang dan menyalami siswa/i satu persatu. Ibu tersebut mulai menyalami ke enam anak yang sudah hadir lebih dulu, yaitu sebelum pukul 09.00 WIB. Ketika bersalaman, sang ibu pun menyodorkan punggung telapak tangannya untuk dicium oleh beberapa siswa/i yang ada. Setelah terlewati tiga siswi, beralih-lah ia ke siswi ke empat. Nah, siswi ke empat ini sudah melihat sikap sang ibu tadi pada teman-teman nya dan nampaknya ia kurang suka. Akhirnya, ketika sang ibu menyodorkan punggung telapak tangannya, sang siswi tidak mencium nya, hanya menyalami nya. Sambil sang ibu berlalu, siswi itu pun ‘ngedumel’ dan menunjukkan ekspresi ketidaksukaannya pada tingkah laku salah satu ibu di kelompok pengajian itu. Suasana workshop yang santai, yaitu lesehan di sebuah gedung Yayasan, membuatku leluasa untuk melihat sekitar. Bisa jadi, sikap sang ibu yang ‘minta’ untuk dihormati oleh para anak-anak dengan menyodorkan tangannya adalah kejadian yang sering kita temui. Padahal, rasa hormat tidaklah hadir dari sebuah keterpaksaan. Rasa itu hadir dari sebuah kepedulian dan tenggang rasa juga sikap bersahabat dengan sesama, termasuk juga dengan generasi muda bangsa. Aku pun tersenyum melihat tingkah sang siswi yang menampakkan ketidaksukaannya dengan jelas. Setelah workshop berakhir, aku mendatangi ke enam siswa/i tersebut. Ternyata, ketika aku dekati dan menanyakan lebih lanjut aktifitas mereka, sikap kekawanan mereka pun hadir. Mereka bisa dengan leluasa membicarakan keadaan Pondok mereka dan lokasi pastinya, guna menawarkanku datang ke sebuah Pondok yang berada dekat dengan Pasar Klender. Selain itu, ketika kuajukan pertanyaan tentang pelajaran bahasa Inggris, salah satu dari mereka pun menjawab bahwa ia ingin sekali bisa berbahasa Inggris, namun ada saja kendalanya.

Lepas dari obrolanku dengan para siswi, aku mengambil sebuah pelajaran hari ini, bahwa rasa hormat dari seseorang atas seseorang bukanlah hadir dari perbedaan umur, pendidikan, status sosial ataupun jenis kelamin. Lebih dari itu, rasa hormat hadir kala kita bisa mendengarkan seseorang, siapapun itu, dengan tulus. Rasa hormat hadir ketika diri kita bisa menghargai orang lain, apapun profesi dan latar belakang hidupnya. Rasa hormat hadir ketika kita bisa berbagi, entah ilmu, pengalaman atau juga materi yang berlebih. Semoga saja kita selalu belajar dari kesalahan dan terhindar dari rasa Ujub yang sangat halus dibisikkan oleh musuh utama manusia, yaitu Syaitan. Amin.

Jakarta, Januari 2012.

Sabtu, 14 Januari 2012

Lopis Istimewa dari Sang Penerus Bangsa

Rasanya tidak berlebihan jika kata-kata penerus Bangsa itu aku sematkan pada sejumlah anak-anak SD yang ada di sekitar bantaran kali Ciliwung, Rawajati Jakarta Selatan. Anak-anak yang berjumlah tidak lebih dari 10 orang itu, dan kadang bertambah juga berkurang, terus bersemangat mengikuti pelajaran bahasa Inggris yang aku sampaikan. Siang ini, kala hujan kembali membasahi bumi Jakarta, aku pun melangkahkan kaki menyusuri jalan untuk kembali bertemu dengan wajah-wajah polos nan semangat itu. Tepat pukul 14.00 WIB, aku sampai di sebuah musholla nan sederhana, tempat kami berbagi ilmu, belajar, bercanda hingga bercerita tentang hobi dan keluarga masing-masing.

Seperti hari-hari lainnya, mereka sangat antusias menyambutku ketika aku datang. Sejurus kemudian, mereka langsung menyalamiku dan menanyakan ke mana saja aku seminggu ini. Ya, sabtu dan minggu lalu aku memang tidak menyambangi mereka karena pergi ke kota Solo, kota yang terkenal dengan lagu ‘Bengawan Solo’-nya dari sang maestro, Gesang.
Meski suasana nampak seperti hari biasanya, namun ada yang berbeda siang itu. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa ada kejutan spesial untuk Miss Ana, begitulah mereka biasa memanggilku. Saat aku masuk, salah satu dari mereka menyodorkanku satu kotak lopis untuk dibawa pulang. ‘Miss, ini ada kue dari aku buat Miss Ana, di makan yaaa’, ujar salah satu anak muridku yang masih duduk di kelas satu SD. Raut wajahnya yang polos dan semangat nya untuk terus ikut belajar, membuatku bangga sekaligus gemas melihat tingkahnya yang lucu. Meski ia belum paham apa arti kosa kata yang diteriakkan oleh kakak-kakak- nya di kelas empat, lima bahkan enam SD, ternyata tidak menyurutkan langkah kaki nya untuk datang ke musholla. Aku pun mengucap kata terimakasih padanya dan seluruh anak-anak yang hadir kala itu. Rasa haru dan senang bercampur jadi satu karena menerima bungkusan kue lopis itu. Mungkin harga kue lopis itu tidak seberapa. Sang anak pun mengaku bahwa keluarga nya membeli kue lopis itu di sebuah pasar tradisional. Namun bagiku, kue lopis itu mempunyai rasa yang lebih enak dan istimewa daripada aneka macam roti terkenal yang ada di toko-toko kue modern. Bukan karena gratis lho ya, hehe. Melainkan karena kue itu adalah kue pemberian muridku yang selalu semangat dalam belajar dan menulis kosa kata bahasa Inggris yang ku tulis.

Ya Rabb, mudah- mudahan kelak anak-anak nan cerdas, semangat serta baik hati ini, kelak bisa menjadi penerus bangsa nan handal. Aku pun teringat pada salah satu pertemuanku dengan mereka di awal bulan Januari. Saat itu, mereka menceritakan padaku akan cita-cita dan keinginan mereka setelah dewasa nanti. Beberapa diantaranya sangat menginginkan menjadi dokter, guru, petani yang kaya hingga artis ibukota. Waaah, seraya tersenyum bangga mendengarkan paparan mereka, aku pun berdoa dalam hati, mengharap Allah selalu melindungi dan menuntun mereka agar tetap berada dalam kebaikan. Semoga kelak cita-cita mereka tercapai. Amin.
Tidak cukup sampai di situ, antusiasme mereka berlanjut hingga pelajaran di mulai. Setelah aku mengajukan beberapa pertanyaan guna mengulang pelajaran lalu, mereka pun memintaku untuk menuliskan beberapa pertanyaan di atas papan tulis. Rasa banggaku hadir ketika banyak diantara mereka yang dapat menjawab pertanyaan yang kuajukan. Subhanallah... lengkap sudah kebahagiaanku diakhir pekan ini. Pancaran semangat plus satu bungkus kue lopis lengkap dengan gula jawa nya, menjadi teman setiaku selama dalam perjalanan pulang di senja hari ini. Terimakasih Ya Rabb, atas ragam anugerah terindah yang Engkau tiupkan di tiap detik kehidupan yang kujalani.

Jakarta, 14 Januari 2012

Jumat, 13 Januari 2012

Car Free Day Ala Kota Solo

Ternyata tidak cuma kota Jakarta yang menerapkan car free day alias hari bebas mobil, kota Solo pun menerapkan aturan tersebut tiap hari minggu. Namun, suasana car free day di Solo jelas beda dengan Jakarta. Itulah yang kurasakan di minggu pagi ini.
Aku dan sahabatku memutuskan untuk berangkat pukul 06.30 WIB dari tempat kost di daerah Pabelan menuju Jalan Slamet Riyadi. Setelah melewati kawasan yang lebih dikenal dengan sebutan kampung batik laweyan di sekitar jalan Rajiman, kami pun sampai di kawasan car free day yang dimaksud. Temanku menjelaskan bahwa kampung batik laweyan adalah salah satu tempat ngebatik bagi insan yang ingin mengetahui pembuatan sebuah batik.

Begitu temanku selesai memarkirkan motor, aku langsung menghampiri salah satu petugas dari Dinas Perhubungan yang tengah berjaga pagi itu dan menanyakan awal mula pemberlakukan car free day di Kota Solo. Berdasarkan informasi yang berhasil aku dapatkan, car free day ini diberlakukan dari pukul 05.00-09.00 WIB. Tujuannya sama dengan Pemda DKI Jakarta, yaitu mengurangi tingkat polusi asap kendaraan. Jarak tempuh car free day di kota Solo ini kurang lebih sepanjang tujuh km, mulai dari Gladak hingga Juanda. Pemberlakukannya pun sudah berlangsung selama kurang lebih satu tahun sejak dibawah pemerintahan Joko Widodo. Tanpa membuang waktu, aku dan temanku mulai menyusuri jalan-jalan yang diplot sebagai daerah bebas mobil dan motor. Seru sekali rasanya menikmati hari bebas kendaraan bermotor di kota ini. Ada beberapa hal yang tentunya membedakan suasana car free day di sini dengan di Jakarta. Terlihat beragam jajanan makanan yang dijual sepanjang jalan bebas kendaraan ini. Bukan hanya menjajakan, bahkan suasana makan sambil duduk lesehan pun tersedia di sepanjang jalan ini. Waw, di sinilah sensasi unik dan seru dari minggu pagi di sebuah kawasan car free day kota nan damai ini.

Selang beberapa menit, kami sampai di kerumunan massa. Ternyata massa yang ada tengah mengagumi dan memperhatikan tiap desain dan interior juga mesin yang ada pada mobil ‘Kiat Esemka’. Ya, mobil buatan para murid SMK kota Solo ini memang membuat decak kagum masyarakat Indonesia. Aku pun tidak membuang kesempatan yang ada untuk bisa menjelajahi kehebatan mobil ini. Sekilas, mobil yang berwarna hitam mengkilap dan diparkir di depan rumah dinas Joko Widodo/ Jokowi ini mirip seperti mobil CRV dengan mobil terbarunya. Namun, mobil ini terkesan lebih panjang pada body nya. Selain bodi, mobil ini berdaya tampung delapan orang dewasa dengan interior nya yang lapang. Di sisi kiri-nya, ada tulisan Kita Esemka berwarna putih. Total ada empat mobil Kiat Esemka yang ‘dipajang’ pagi hari itu. Tanpa membuang waktu, aku dan temanku berpose di depan mobil yang patut kami acungi jempol ini. Beberapa murid dari SMK Solo tersebut terlihat bertugas di lapangan untuk menjelaskan komponen-komponen yang dipakai oleh mobil nan gagah itu.

Selain ‘pajangan’ mobil Kiat Esemka, aku juga melewati Taman Sriwedari. Meski tidak memasukinya, namun pemandangan gerbang depan taman tersebut sangat indah, dengan keberadaan senjata meriam tempo doeloe. Beragam makanan pun di jajakan, seperti bakso bakar, nasi pecel, leker Solo, bolu batik (yaitu bolu yang hiasan ukirannya khas bercorak batik), es sari kacang hijau dan masih banyak lagi yang tentunya sangat menggoda untuk segera disantap. Bahkan terlihat salah satu merk kosmetik dan asuransi yang turut memajang produk mereka dan menawarkan brosur nya kepada pejalan kaki. Tidak hanya itu, akhirnya aku dan temanku menemukan salah satu barang unik yang dapat disewa, yaitu becak mini. Kami pun memutuskan untuk menyewa becak yang dibandrol dengan harga Rp.5.000,- untuk waktu 10 menit. Salah satu dari kami ada yang mengayuh dan ada juga yang dibonceng. Jadilah kami berdua seperti tukang becak dan pelanggannya, hehe. Becak mini itu unik karena mempunyai warna yang sangat mentereng dan bentuknya memang mini. Selain kami, terlihat juga satu keluarga kecil yang menyewa becak itu untuk berkeliling di kawasan car free day ini.

Keunikan lain dari car free day yang ada di kota Jakarta adalah, keberadaan para komunitas, baik mahasiswa maupun penari modern yang ingin menunjukkan eksistensi diri mereka. Salah duanya adalah mahasiswa/i jurusan sosiologi UNS yang tengah bermusik dan komunitas Urban Step Dance Studio yang menujukkan keahlian mereka dalam tarian urban/modern. Ada juga pentas seni yang diisi dengan nyanyian-nyanyian semangat harapan bahwa tahun 2012 adalah tahun tanpa korupsi dan kekerasan. Tidak hanya jualan makanan dan seni musik yang ditampilkan di minggu pagi ini, namun ternyata car free day di kota Solo juga merupakan ajang berkumpul

bagi para pencinta binatang, khususnya anjing. Terdapat beragam jenis anjing yang dibawa oleh para pemiliknya, mulai dari anjing kecil yang lucu hingga anjing pengawas yang biasa di pakai pihak Kepolisian untuk bertugas mencari sebuah jejak buron atau lainnya. Jam pun menunjukkan pukul 08.30 WIB, pertanda 30 menit lagi car free day akan berakhir. Berhubung perut sudah berbunyi tanda lapar, akhirnya kami pun memutuskan untuk menyantap soto ayam ala lesehan. Sambil sarapan pagi, tanpa di duga-duga, rombongan drumband yang diisi oleh anak-anak sekolah, mulai SD hingga SMP memenuhi sebagian jalan dengan memainkan masing-masing alat yang mereka pegang.

Alhamdulillah, minggu pagi ini begitu berwarna. Setelah malamnya kota Solo diguyur hujan, pagi ini cuaca terlihat cukup bersahabat. Setelah soto ayam yang menjadi menu sarapan pagi kami ludes, leker Solo yang cukup dibandrol dengan harga Rp.1000,- menarik hatiku untuk membelinya. Bukan karena aku tidak pernah merasakan bagaimana rasanya sebuah leker, namun cara masak dan alat yang digunakanlah yang menarikku untuk membelinya. Coba tebak, bagaimana sang penjual membuat leker yang terdiri dari berbagai rasa itu? Ternyata, cukup dengan teflon sederhana, yang biasa kita gunakan untuk memasak telor ceplok. Penjual leker itu menggunakan teflon tersebut dengan cara membalikkannya, untuk kemudian dilumuri oleh adonan tepung khas leker. Wow, sungguh kreatif. Alat sederhana yang harganya tidak mahal, dapat digunakan untuk membuat leker nan lezat juga murah. Aku pun berfikir, jika harga seribu rupiah dipandang sebagai harga yang murah, maka kebanyakan orang pasti akan berfikir untuk langsung membeli leker dengan total lima ribu rupiah atau bahkan lebih. Nah, jika di kali dua puluh orang saja, sudah berapa uang yang bisa dihasilkan? Belum lagi jika kita menghitung berapa banyak orang yang datang untuk membeli leker Solo itu dari pukul 05.-00-09.00 WIB? Subhanallah, menarik juga ya berbisnis, hehe.
Tanpa terasa, waktu sudah menujukkan pukul 09.00 WIB, tanda pemberlakukan car free day akan berakhir. Para warga pun berangsur-angsur berjalan menuju parkiran kendaraan mereka, tanda bersiap pulang. Minggu pagi ini terasa sangaaat indah, seindah hatiku merasakan kedamaian dan kehangatan kota Solo.

08 Januari 2012


Kamis, 12 Januari 2012

Solo, Riwayatmu Kini

Mungkin jika almarhum Gesang, sang pencipta lagu ‘Bengawan Solo’ masih hidup, ia akan bangga plus sedih melihat kota Solo. Di satu sisi, banyak perubahan dan kebijakan yang pro rakyat di bawah pemerintahan Joko Widodo. Di sisi lain, wajah museum Keraton Solo nampak tak terawat dengan atap yang terbuka dan mengaga di sana sini. Setidaknya, itulah hasil pengamatanku selama tiga hari berada di kota nan teduh ini.
Hari ini, 07/01/2012, hari pertama aku tiba di kota Solo. Setelah bermusyawarah dengan sahabatku yang sedang menempuh studi magister di UMS, kami pun memutuskan untuk mendatangi Keraton Solo terlebih dulu, dibanding tempat menarik lainnya.
Jam telah menunjukkan pukul 14.30 ketika kami tiba di Keraton Solo. Ternyata setelah kami melihat jadwal kunjung museum, sisa waktu yang tersedia tinggal 30 menit lagi, karena museum Keraton tutup pukul 15.00 WIB. Meski waktu yang ada sangatlah sempit, namun tidak menuyurutkan hati kami untuk masuk. Temanku pun berujar, ‘sayang lho ndak masuk, udah jauh-jauh kan dari Jakarta’, hehe ada benarnya juga temanku ini. Sejurus kemudian, kami langsung membeli tiket dan masuk ke lingkungan museum Keraton.

Ini adalah pengalaman pertamaku memasuki museum Keraton Solo. Rasa penasaran dan senang jadi satu kala itu. Harga tiket dipatok Rp.10.000,- bagi orang dewasa dan ada juga tambahan biaya jika kita membawa kamera digital atau lainnya seharga Rp.3.500,- yang sebetulnya tidak akan ketahuan apakah kita membawa kamera atau tidak. Karena kami warga negara yang baik, jadilah kami membayar biaya lebih untuk memotret. Kami menyusuri ruang demi ruang di museum Keraton ini setelah menyantap lotek sebagai menu makan siang yang hanya dibandrol Rp.5.000,- untuk lotek komplit. Suasana sekitar Keraton Solo ini sangat mirip dengan suasana Keraton Yogya yang kala itu aku datangi. Ada juga sebuah pohon di lapangan depannya nan luas, mirip pohon yang ada di alun-alun Kidul alias Alkid di Yogya. Ketika masuk, sesaat aku perhatikan interior ruangan museum Keraton Solo ini yang nampak kurang terawat. Atap museum nampak mengelupas di sana-sini, seperti bekas rembesan hujan. Selain itu, tidak nampak tulisan keterangan lengkap di tiap display barang-barang yang dipamerkan. Ruangan pertama yang kami susuri dikawal oleh dua patung pasukan Belanda di depan pintunya. Barang-barang yang dipamerkan diruangan pertama ini adalah tempat masak nasi ukuran jumbo, alat-alat memasak lainnya seperti dandang, ulekan dan ada juga tempat rokok ukuran besar. Aku tidak dapat menghafal dan menemukan nama yang tepat untuk barang-barang ini karena minim keterangan di luar etalasenya. Ruangan berikutnya diisin dengan peninggalan-peninggalan Keraton tempo doeloe seperti alat pengakut barang dan manusia, yang digunakan juga untuk penganten Keraton. Bentuk-bentuknya sangat manis dan unik. Ada juga patung dalang wayang yang tengah memperagakan permainan wayangnya dan juga sepasang patung suami isteri yang tengah melakukan resepsi pernikahan ala Keraton, lengkap dengan foto-foto tempo doeloe.

Di ruang tengah museum, ada patung kuda yang agak menyeramkan. Temanku pun tidak berani lama-lama berada di ruangan itu. Ia menarikku dan aku pun tersenyum atas tingkahnya. Memang beberapa display patung yang ada, terkesan hidup, seperti patung perlawanan rakyat Indonesia melawan koloni Belanda yang lagi-lagi tidak ada keterangan sejarah nya sama sekali. Sungguh sangat miris. Memang ada guide yang disediakan oleh pihak museum. Tapi haruskah tiap pengunjung yang datang menggunakan jasa guide? Bagaimana jika siswa atau mahasiswa yang hanya mempunyai uang pas-pasan?
Kami pun menyusuri ruangan lain. Ada dinding ukiran yang panjang di ruang tengah museum ini, menggambarkan perjuangan para leluhur dalam melawan masa penjajahan Belanda dan lagi-lagi kami tidak disajikan keterangan ukiran dinding ini. Ada juga sebuah payung adat ala Keraton yang kerap digunakan untuk memayungi sang Sultan atau keluarganya. Bentuknya yang sangat lusuh dan robek di sana sini, membuatku berfikir bahwa payung itu sudah ada sejak tahun 1700-an, begitupun dengan bambu-bambu runcing yang ada.

Ruangan berikutnya diisi oleh dua buah kereta kuda yang nampaknya juga di pakai oleh Sultan dan keluarganya, serta noni-noni Belanda. Nampak di depan kereta kuda itu sebuah tulisan ‘ Kyai Morosebo 1770’. Desain nya yang elegan, membuatku membayangkan bahwa kala itu, pastilah kereta kuda ini sangat indah dan membanggakan. Kini, kereta tersebut nampak lusuh, tapi juga tidak menghilangkan kesan elegannya. Beralih ke ruangan lain, ada juga koleksi ragam barang pecah, mulai dari bentuk vas bunga hingga barang lainnya yang mempunyai motif nan unik, khas paduan motif China dan lokal. Ada juga sebuah dayung raksasa yang tidak bisa aku bayangkan, bagaimana ukuran perahu nya ya? Terdapat dua ruangan dalam museum ini yang tidak bisa dimasuki oleh publik. Entah karena sedang tahap renovasi atau karena alasan lainnya. Akhirnya kami memasuki ruangan berikutnya, yang diisi dengan patung-patung stupa dan peninggalan bersejarah lainnya. Ruangan terakhir diisi dengan foto-foto para Sultan Keraton Surakarta dari periode awal memimpin hingga kini. Ada juga koleksi kursi khas Bali yang mempunyai desain menawan dengan balutan kain merah fanta bercorak krem. Perjalanan mengelilingi ruangan museum pun berakhir. Aku meminta salah satu pengunjung yang ada, untuk mengambil gambar aku dan temanku di lingkungan museum Keraton ini. Setelah ia selesai mengambil gambar, ia pun bertanya kepada kami, ‘mba, tadi masuk ndak pas di ruangan yang ada patung kuda-nya?’, ujarnya. Kami pun mengiyakan dan bahkan beberapa pengunjung yang ada, sempat berfoto di depan patung itu. Ia mengatakan bahwa ia diberi kelebihan oleh Allah untuk bisa merasakan hawa yang berbeda meski tidak sampai melihat. Nah, ia mengaku bahwa ia merasakan hal berbeda ketika akan masuk ke ruangan patung kuda itu. Kemudian, ia pun menarik adiknya untuk tidak jadi memasuki ruangan patung itu. Begitulah sekilas cerita mistis dari seorang pengunjung yang kami temui, tepat di pukul 15.00 WIB, tanda museum akan segera di tutup.

Setelah berpamitan dengan perempuan paruh baya yang tengah kuliah di Yogya itu, temanku pun menceritakan ketidaknyamanannya ketika memasuki ruangan dan kemudian melihat patung kuda tersebut. Sehingga ia pun menarikku untuk pergi dengan segera ke ruangan lain. Temanku sejak di pondok –an ini pun bercerita bahwa kabarnya banyak benda-benda Keraton yang hilang dan ternyata di perjualbelikan di luar negeri. Anehnya, barang yang diperjualkan, dibeli lagi oleh orang-orang kita (Indonesia yang ada di luar negeri), untuk sekedar menambah koleksi barang kuno-nya. Sejurus kemudian, nampak wistawan asing yang setelah aku tanya, ternyata ia berasal dari Kuala Lumpur (KL), Malaysia. Aku pun mengatakan padanya bahwa aku pernah berada seminggu di KL untuk mewawancarai beberapa orang TKW guna keperluan tesis-ku. Sejurus kemudian, ia pun berujar bahwa PRT yang ada di rumahnya berasal dari Medan, Indonesia. Serasa ada perasaan sedih ketika ia menceritakan bahwa PRT-nya berasal dari Medan. Orang Indonesia menjadi PRT di negeri Jiran, kemudian ikut kembali bersama majikannya wisata ke Indonesia, tanah kelahirannya. Setelah kulihat, ternyata sang PRT jauh lebih cantik dibanding majikan perempuannya (hehe, maaf ya bu). Ingin sekali kutanyakan beberapa pertanyaan kepada bapak paruh baya ini, namun baru saja niat untuk bertanya, ada salah satu keluarga nya yang mengajak nya untuk mengitari kompleks rumah Keraton Solo bersama guide yang disewa-nya.

Hujan deras masih mengguyur kota Solo di sore itu. Dengan niat cepat sampai di kost-an, kami pun menembus hujan dengan satu jas hujan yang digunakan berdua. Kami melintasi daerah kota, yang ditandai oleh keberadaan Jl.Slamet Riyadi. Percaya atau tidak, hanya terdapat dua mall di kota ini, yaitu Solo Grand Mall dan Solo Square. Hal ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah kota Solo yang dipimpin oleh Joko Widodo. Dibawah kepemimpinannya-lah, ia membatasi keinginan para investor untuk mendirikan mall dan nampaknya kejadian ini memicu sinisme seorang Bibit Waluyo. Seperti yang marak diberitakan, Bibit enggan untuk menggunakan mobil Kiat Esemka sebagai kendaraan dinas nya. Di tengah deras nya hujan, aku melintasi pondok As-Salam Solo yang dahulu pernah aku datangi di tahun 1997 untuk mengikuti ujian masuk-nya. Nampak perubahan bangunan Pondok di beberapa titik saat ini, setelah 14 tahun aku melihatnya kembali.
Subhanallah... perjalanan yang mengesankan di kota damai bernama Solo. Kota yang jauh dari kesan macet ini adalah salah satu tempat yang paling pas untuk melepas lelah dari penat ibukota. Perjalanan hari ini diakhiri dengan santapan kuah ikan tenggiri yang terletak di dekat kost-an temanku di daerah Pabelan. Pemilik tempat makan ala bambu ini biasa disebut dengan sebutan ‘Mbah’. Makan ala parasmanan dengan porsi yang besar, tentu saja membuat perut kami cepat kenyang. Tenpat ini nampaknya menjadi tempat favorit bagi segala kalangan, mulai dari yang muda hingga tua. Ah Solo... riwayatmu kini, semoga lebih indah dari tahun sebelumnya, begitupun dengan kondisi kebersihan Bengawan Solo.

Solo, 07 Januari 2012



Ucap Syukur dari Sebuah Kereta Bernama Argo Dwi Pangga

Niat awal untuk menaiki kereta bisnis jurusan Solo-Jakarta, harus kandas dan berakhir dengan terbelinya satu tiket kereta eksekutif, yaitu Argo Dwi Pangga dengan harga dua kali lipat dari kereta bisnis. Awalnya, diriku kesal, karena toh jatah untuk membeli beragam oleh-oleh dari Solo, harus kupakai untuk membeli tiket pulang. Tapi, sahabatku selalu mengingatkan bahwa tentunya Allah punya rencana yang indah dan hikmah di balik tiap kejadian yang menghampiri kita. Aku pun tersadar dan meminta ampun padaNya karena telah banyak mengeluh atas kejadian itu. Sungguh, manusia memang tempat nya khilaf dan lupa. Ternyata benar, aku pun merasakan nikmat yang luar biasa dariNya, karena bisa merasakan kereta Argo Dwi Pangga ini. Design dalam kereta api ini, mirip dengan pesawat terbang, paling tidak ketika kita melihat model jendela dan korden nya yang bisa ditarik dengan fleksibel ke bawah dan atas. Kursi yang nyaman dan bisa kita setel sesuka hati. Selain itu, kabin kereta ini pun mirip kabin pesawat, tiap kursi mendapatkan jatah kabin tas nya masing-masing. Suasana malam di hari Senin pukul 20.00 itu pun lengang, menambah kenyamanan kita untuk beristirahat, nonton TV atau pergi ke toilet.

Kenyamanan itu pula yang membuatku leluasa menulis di atas meja kecil yang bisa dimunculkan dari balik pegangan kursi. Aku pun terbangun dari tidur dan memutuskan untuk menulis karena mata ini enggan untuk tidur kembali. Jam menunjukkan pukul 00.30 WIB. Sebetulnya bingung juga apa yang akan ku tuliskan. Begitu tersadar bahwa hari ini adalah tanggal 10 Januari 2012, yang merupakan hari istimewa bagiku, hari kelahiranku ke muka bumi ini, jadilah aku menorehkan tema mengucap syukur.
Bagiku, hari ini terasa seperti permen Nano Nano, manis, asam dan asin. Manis yang tengah kurasakan, tentunya adalah sebuah ucap syukur kepada Allah SWT, sang pemilik kehidupan ini, untuk anugerahNya yang tak mungkin terganti dan terhitung selama 26 tahun aku bernafas di bumi. Ya, selama 26 tahun ini aku diizinkan oleh Allah untuk meraih beberapa pencapaian; bisa menjadi salah satu alumni Pondok Modern Darussalam, Gontor Puteri, Mantingan Ngawi Jawa Timur yang sangat aku banggakan di tahun 2003. Selepas itu, Alhamdulillah predikat lulusan terbaik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta dengan kategori cumlaude dan waktu 3,5 tahun berhasil aku raih. Setelah bekerja selama kurang lebih satu tahun setengah, Alhamdulillah aku mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi magister- ku di Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Indonesia sejak tahun 2009-September 2011. Berkat doa orang tua dan ridho dari Allah, Alhamdulillah aku dapat menyelesaikan studiku selama genap dua tahun dan menjadi satu-satunya perempuan diantara tiga orang lulusan tercepat di angkatanku. Alhamdulillah, dana bantuan penulisan tesis dari Kemdiknas (yang saat ini berubah nama menjadi Kemdikbud) pun aku dapatkan. Hal itu membantuku untuk dapat mewawancarai para buruh migran perempuan Indonesia yang ada di Kuala Lumpur, Malaysia.

Ya Allah, rasanya nikmat yang kau anugerahkan padaku begitu besar, dan belum bisa aku balas dengan menjadi hamba-Mu yang soleh dan selalu melaksanakan perintahMu. Hingga tulisan ini aku buat, diriku tengah berada di sebuah kereta eksekutif nan nyaman, yang pastinya skenario tiket ludes itu adalah berkat campur tanganMu pula, sehingga aku bisa merasakan hari ulang tahunku di atas kereta nan apik ini. Di kereta inilah aku memutar kembali memoriku dari awal perjalanan kehidupanku memasuki gerbang pintu Darussalam Gontor, kemudian dapat bertemu dengan anak-anak di komunitas masyarakat miskin kota yang ada di bantaran kali Ciliwung, Rawajati, Jak-Sel, pergi silaturahmi ke Solo dan berakhir dengan duduk manis di kereta api Argo Dwi Pangga. Selain manis, ada asam kehidupan yang kurasakan juga.

Asam dalam pemahamanku, lebih pada refleksi diri atas beberapa penyesalan dalam hidup. Meski kita dilarang untuk meratapi hal yang sudah lalu, namun bagiku, hari ini adalah hari yang tepat untuk bisa berefleksi akan kekurangan juga hal-hal yang belum dilakukan selama ini, yang akhirnya lebih pada belajar dari ‘penyesalan’ itu. Aku menyesal karena tidak menggunakan waktu dengan baik, menyesal karena belum bisa membuat orang tua bangga, menyesal karena belum mengeluarkan potensi diriku dengan maksimal, juga ‘penyesalan’ lainnya, yang kelak akan memicu diriku untuk lebih berbuat banyak di tahun ini dan tahun-tahun ke depan kelak.

Selebihnya adalah asin. Aku lebih memaknai asin nya kehidupan, ibarat kita mencicipi air laut. Jika kita cicipi sedikit, tentu asin nya tidak akan terlalu terasa, sebaliknya jika banyak, tentu akan terasa sangat asin. Nah, seperti itulah sebuah sikap atau tindakan salah dalam hidup. Tindakan atau sikap ku yang salah sebanyak satu kali, tentu tidak memberikan efek apa-apa. Namun, jika kesalahan itu berkali-kali, tentu memberikan dampak yang negatif. Mungkin banyak dari kita yang merasakan saat kita melakukan tindakan yang salah berkali-kali (karena belum bisa belajar dari pengalaman), maka ada akibat yang harus ditanggung, yaitu asam= sebuah penyesalan. Itulah salah satu yang aku refleksikan dini hari ini, tepat di pukul 01.00 WIB. Aku pun berucap dalam hati, semoga tahun 2012 ini aku akan lebih dapat belajar dari sebuah kesalahan, yang tidak akan ku ulangi berkali-kali.
Namun. Layaknya slogan iklan Nano Nano, ‘Manis, asam, asin, ramai rasanya’. Begitupun hidup. Hidup ini akan lebih berwarna jika kita merasakan berbagai hal, baik itu benar atau salah, buruk atau baik, mengkhawatirkan atau tidak, bermanfaat atau tidak. Dengan itu, kita akan belajar menemukan hakikat kehidupan, ya kan?
Dini hari ini begitu indah. Sangat jarang aku meggoreskan penaku dan mengambil note ku pada dini hari. Rasa manis, asam dan asin itu berpadu menjadi satu dalam damainya hati ini di sebuah kereta dengan dominasi cat putih di seluruh interior nya. Diri ini mengucap syukur atas segala kasih sayang dan teguran dariMu ya Rabb. Mudah-mudahan semuanya itu akan lebih menguatkan perjalanan hidupku mengarungi bumi Allah nan luas ini.

Sang kereta pun melaju dengan cepat. Lajunya secepat keinginanku untuk segera tiba di rumah dan mengucap rasa terimakasihku kepada kedua orang tuaku yang selama ini telah begitu sabar merawatku dan menyayangiku sejak ada dalam kandungan, hingga terlahir ke dunia indah ini. Terimakasih Ayah, Ibu, karena telah melahirkan, merawat, menjaga, mendidik, menyayangi dan membesarkan seorang anak bernama Ana Sabhana Azmy.

Argo Dwi Pangga, 10 Januari 2012
01.15 WIB.

Selasa, 10 Januari 2012

Sebuah Pesan dalam Balutan Rasa Rindu

GONTOR. Nama itu tentu tidak pernah hilang dari ingatan dan benak kita. Meski kita telah menjadi alumni, berkeliling daerah di Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri, namun rasanya selalu rindu untuk kembali ke bumi Darussalam, begitupun dengan diri ini. Perjalanan selama satu setengah jam dari Solo menuju Mantingan, Ngawi serasa sepuluh jam karena dilanda ketidaksabaran menginjakkan kaki di Pondok tercinta. Akhirnya, detik itu pun tiba, detik di mana aku dan sahabatku melihat DLP (Depot La Tansa Puteri) dari kejauhan. Ya, kejauhan karena sang supir menurukan kami melebihi tempat seharusnya, hingga melewati Puskesmas yang berada di jajaran Pondok Gontor Puteri.

Subhanallah... tiba-tiba memoriku kembali pada tahun 1997-an, tahun pertama aku menginjakkan kakiku di Pondok ini dan berpisah dengan kedua orang tuaku di DLP setelah jam makan siang. Kala itu, orang tuaku hanya menginap selama dua hari satu malam, di saat anak-anak ManTwo (atau Mantingan Dua) masih ditemani oleh kedua orang tuanya. Kini, aku berada di DLP ini setelah 8 tahun lulus dari Pondok Gontor di tahun 2003 akhir. Rasanya senang, sedih dan tidak percaya bahwa siang ini, persis seperti siang di tahun 1997 itu, aku kembali ada di sini. Plang ‘Kawasan Berbusana Muslim’ itu masih terpasang di tempat aslinya. Bahkan mushola dan kamar mandi yang ada disekitar Binapenta masih sama dengan tahun terakhir aku menyelesaikan studi di Pondok, 2003. Pandanganku pun menyusuri sekitar, ternyata juga ada yang berubah dengan wajah depan lingkungan penerimaan tamu di sini, yaitu berdirinya sebuah Supermarket nan luas dan komplit di kawasan lapangan depan rumah Ustadz Hidayatullah dan Ustadzah Nihayah kala dulu. Kenapa kala dulu? Karena sekarang rumah keduanya telah pindah di kompleks rumah para Asatidz yang berada di samping Supermarket itu.

Sejurus kemudian, aku dan sahabatku pun memutuskan untuk masuk ke DLP dulu, tepat di pukul 13.30 WIB. Perut yang sudah berbunyi sejak di bus tadi, ternyata tidak bisa berkompromi. Kami pun memasuki DLP. Aku langsung mencari menu favoritku tiap mudhifah, Rawon. Ternyata setelah mataku menyusuri sekitar, tak kudapatkan rawon itu lagi. Huff, sempat kesal juga, tp batinku berujar, mungkin sudah berganti menu andalan ya. Aku pun memutuskan menyantap ayam kecap. Rasanya sama persis dengan ayam Senin-Kamis yang biasa kita makan setelah berbuka puasa. Porsi kecil dan bahkan kadang tidak kebagian ayam kala menjadi santri, ternyata tidak menyurutkan langkah kita untuk pergi ke matbah, bahkan kita sampai lomba lari lho, ya kan, hehe. Subhanallah.. aku dan temanku tak henti-hentinya bernostalgia, menceritakan ini dan itu sambil makan siang. Tahu apa yang kami pesan untuk diminum? Es jeruk, yang ternyata sudah bisa kita tebak kan apa yang dimaksud oleh es jeruk itu? Yups, Nutrisari rasa jeruk, heheh. Temanku berkelakar, ‘wah, ndak berubah yo, es jeruk ala nutrisari, ‘ begitulah katanya.

Setelah kenyang dan melihat para Ustadzah yang entah angkatan berapa tengah menyantap makanan juga, kami pun shalat dan langsung menuju rumah Ustadz Hidayatullah dan Ustadzah Nihayah. Sayang sekali, rumah yang selalu terasa teduh dan damai itu sepi, hanya ada seorang PRT (pekerja rumah tangga) yang keluar dan mengatakan bahwa Ustadz dan Ustadzah sedang tidak di rumah. Meski sedih karena tidak bisa bersilaturahmi dan melihat wajah keduanya, namun aku yakin bahwa keduanya tidak pernah lupa untuk mendoakan para alumni Gontor Puteri yang tersebar di mana-mana saat ini. Sejurus kemudian aku dan temanku pun memutuskan untuk langsung mendatangi rumah Ustadz Ma’ruf dan Ustadzah Aliyah yang hanya berjarak satu rumah dari rumah Ustadz Hidayatullah. Tepat pukul 14.30 WIB, kami bisa melihat wajah Ustadz Ma’ruf kembali setelah 8 tahun sejak tahun 2003. Sebelumnya kami ngobrol dengan Ustadzah Aliyah karena Ustadz sedang istirahat. Namun begitu dibangunkan oleh sang istri dan mengatakan bahwa ada alumni Za Green datang, Ustadzah Aliyah bercerita bahwa Ustadz langsung bersemangat untuk bangun. Subhanallah...

Setelah kurang lebih 40 menit kami ngobrol dengan kedua guru tercinta ini, tanpa di duga, Ustadz Ma’ruf pun mengajak aku dan sahabatku untuk berkeliling dengan mobil, ditemani oleh Ustadzah Aliyah dan kedua anak perempuan yang cantik dan lucu, yaitu Yasmin dan Icha. Alhamdulillah.. ternyata niat untuk izin kepada Ustadz agar bisa masuk ke pondok, malah dijawab oleh Ustadz dengan sebuah ajakan, sebelum kami mengutarakan keinginan kami. Ya Rabb.. inilah bentuk dari indah nya bersilaturahmi. Tanpa berfikir panjang, kami pun langsung senyum dan menyambut tawaran Ustadz dengan bahagia. Bagaimana tidak? Sosok low profile keduanya dari dulu, seakan selalu melekat di hati kami dan hari itu pun kami diajak berputar dengan menaiki mobil. Ahay, serasa tamu VVIP, hehe. Lokasi pertama yang kami datangi adalah Gontor Camp.

Untuk teman-teman yang senang dengan petualangan flying fox atau yang dulunya pengurus Koord, pasti betah berlama-lama di area Gontor Camp ini. Berbagai permainan, mulai dari flying fox, rumah hantu, uji keseimbangan di atas tali yang dilumuri lumpur, ban-ban tali hingga kolam air yang rencananya akan dipenuhi mainan ini tersedia di area Gontor Camp. Nampak di sebuah sudut, bendera Gudep 1732, yang mengingatkanku pada riuh ramainya hari Kamis, waktu untuk berpramuka. Area Gontor Camp ini terletak di kawasan Aula besar di belakang gedung Syiria, tempat kelas-kelas kami, 62003 dulu. Dahulu, kawasan ini sangat terkenal dengan pohon tebunya bukan? Bahkan sampai heboh, sebagai tempat masuknya maling dengan leluasa. Kini, kawasan ini telah berpagar dan ada dua tangki air, di mana Ustadz Ma’ruf bercerita bahwa akan dibangun kolam renang dengan segera di situ. Subhanallah... kok ndak dari dulu ya Ustadz Gontor Camp dan kolam renang nya itu. Hehe. Diseberang Gontor Camp, terdapat tulisan ‘ Kawasan Bumi Perkemahan’. Wah, mantab ya, sekarang kawasan Buper itu sudah tidak di area dekat wisma lagi. Kini Buper mempunyai lahan khusus. Setelah asyik berfoto ria dengan keluarga Ustadz Ma’ruf, kami pun menaiki mobil kembali dan berputar ke gedung mufaddhol, Indonesia 3 dan 4 hingga Kopel yang kini mempunyai bangunan baru di depan Indonesia 3. Subhanallah... banyak sekali perubahan pada wajah jalan-jalan serta bangunan di Pondok ini. Masih ingat kan dengan gedung Mufaddhol? Gedung yang beralaskan seng yang serasa panas ketika siang tiba dan datang ratusan nyamuk di kala malam? Hehe. Nah, Mufaddhol kini telah berubah wujud menjadi gedung yang cantik dan bercat cerah, paduan hijau dan putih. Di depan Kopel baru, ada lapangan bola basket dan juga air mancur tepat di depan Indonesia 4. Terowongan yang dulu memisah kamar-kamar yang ada di Indonesia 4, ditutup dan dibuat satu kamar lagi. Tidak jauh dari situ, adalah Masjid.

Memoriku kembali pada tahun 2002, tahun di mana aku diberikan kepercayaan sebagai Bagian Keamanan dan masjid menjadi sentral perhatian kami, para bagian Keamanan. Sajadah hijau itu, sajadah yang menjadi saksi bisu para santri yang datang terlambat ke masjid dan kami pukuli pantat nya dengan sajadah itu. Ah, sebetulnya tidak tega juga memukuli mereka, namun Pondok memang mengajarkan disiplin yang sangat tinggi, tidak pandang bulu. Banyak sekali pelajaran yang kami dapatkan di Pondok ini. Sore itu, para santri masih terlihat mengaji di Masjid setelah shalat Ashar. Dan seperti biasa, ada beberapa santri yang dijemur karena kesalahan-kesalahan mereka. Ya Allah... aku teringat Wahidaini, Lailatun Nisfiyah, Rida Rosidah, Ida Rosyidah, Puspita Ningrum, Heni Kusuma, Tutik.M, Ela, Memem, Ajeng dan Eva Zumrotin sebagai sesama partner di bagian Keamanan. Kini, kerudung-kerudung mereka pun berbeda, tidak lagi satu warna seperti dulu. Warna orange dipadu dengan setengah motif biru kotak atau garis dan lainnya. Oh Pondokku, tempat naung kita, dari kecil sehingga dewasa. Subhanallah, senangnya bisa kembali ke sini. Setelah mengambil foto, kami puj bergegas menuju mobil kembali. Sejurus kemudian, Ustadz menyetir ke arah Bosnia dan sampingnya. Ah, aku teringat Palestine, tempat aku menjadi santri Mantingan Dua kala itu. Kami pun menaiki Kubri Palestin dan menuju Gontor Puteri 2. Ustadzah Aliyah bercerita bahwa kini Gontor Puteri Dua sudah mempunyai manajemen nya sendiri. Banyak gedung-gedung baru yang dibangun di sini. Aku pun teringat kala dulu mengajar darsul masaaii dan kala itu Pondok tengah di landa hujan besar. Jalanan yang ada pun belum seperti ini, sudah berbentuk aspal hampir di seluruh penjuru.

Setelah berkeliling Pondok dan melewati gedung-gedung yang tengah dibangun, kami pun kembali ke kediaman Ustadz Ma’ruf dan mulai berdiskusi dengan beliau. Beliau menanyakan kabar para alumni Za Green dan angkatan lainnya serta menyinggung tentang Reuni alumni 1994-1998 lalu di Pondok Gontor Puteri. Ustadz mengawali pembicaraannya bahwa saat ini sangat jarang muslimah yang bisa berperan di dua hal, yaitu ranah publik dan privat secara bersamaan, termasuk peran sosial. Tidak banyak juga orang yang mempunyai idealisme dalam kedua hal itu, terutama perempuan, ujar Ustadz. Perempuan memang sering dipandang tidak mempunyai kontribusi secara materil. Padahal, seorang ibu sangat berperan dalam hal pendidikan anak, bahkan hingga 99% dan bapak hanya mendapatkan 1% nya. Begitulah paparan Ustadz Ma’ruf. Aku pun bertanya bagaimana pandangan beliau akan sebuah aliran bernama Feminisme yang saat ini menjadi kajian paling diminati dan selalu happening. Bukanlah dalam Islam pun, artian feminisme sebagai perjuangan, sikap atau gerakan melawan ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan juga sudah di bahas? Namun bagaimana dengan feminisme ala Barat yang muncul setelah revolusi Perancis dan berwajah awal sebuah gerakan perempuan?

Sang Ustadz pun menyatakan bahwa mempelajari feminisme itu tidak masalah. Yang penting, world-view nya harus Islam. Menurutnya, mar’ah solihah itu tidak sama dengan perempuan karier. Jika mar’ah solihah itu dunia dan akhiratnya seimbang, tidak demikian dengan perempuan karier yang hanya memikirkan dunia saja. Selain ngobrol tentang Feminisme, Ustadz pun mencamkan bahwa jangan sampai lupa dengan prinsip Pondok; Ke-Islaman, Ke-Ilmuan dan Ke-masyarakatan. Beliau pun mengutarakan bahwa konsep kesatuan marhalah, nampak nya perlu dibumikan hingga kesatuan konsul. Sehingga, satu alumni dengan alumni lainnya yang berasal dari daerah yang sama, akan tetap terhubung, meski beda marhalah. Sayup-sayup pengajian di masjid pun terdengar hingga rumah Ustadz dan menandakan azan maghrib sudah semakin dekat. Rasanya waktu tiga setengah jam bersama Ustadz Ma’ruf dan Ustadzah Aliyah berjalan dengan sangat cepat. Waktu jua yang memisahkan kami, aku dan temanku pun pamit pulang ketika adzan maghrib berkumandang. Meski tidak dapat bertatap muka dengan Ustadz Hidayatullah, namun hati ini senang sekali karena bisa kembali menapaki bumi Darussalam, Gontor Puteri, kampung nan damai.

08 Januari 2012.

Senin, 09 Januari 2012

Jogja, Solo dan Sebuah Kereta Bernama Prameks

Kakiku berpijak di bumi Yogyakarta, tepatnya di sebuah stasiun bernama Tugu, setelah selama kurang lebih sembilan jam berada di kereta api Senja Utama jurusan Jakarta-Yogyakarta. Stasiun ini tentu tidak asing bagiku. Seingatku, tercatat sudah empat atau lima kali aku berhenti di stasiun ini untuk kemudian bersilaturahmi dengan para sahabat di Yogyakarta. Namun, kali ini tujuanku bukanlah Yogyakarta, namun Solo. Yah, apa mau di kata, semua tiket jurusan Jakarta-Solo Balapan sudah ludes terjual. Akhirnya, tiket ini lah yang menjadi alternatif terakhirku untuk tetap bisa sampai di Kota yang mempunyai ikon ‘City of Garden’ itu. Setibanya di stasiun Tugu, aku pun menunaikan shalat subuh dan membeli tiket kereta api Prameks, sesuai instruksi sahabatku. Akhirnya, kereta yang kutunggu pun datang. Sebuah kereta api berwarna ungu cerah, mempunyai jadwal keberangkatan paling pagi setengah enam dan dibandrol dengan harga sepuluh ribu rupiah per penumpang. Kereta api inilah yang menjadi alat transportasi penghubung sekian banyak masyarakat Yogya-Solo yang akan berangkat menuju tempat kerjanya atau melakukan berbagai aktifitas lainnya seperti karyawisata atau berdagang.

Sejurus kemudian, aku memasuki salah satu gerbong kereta ini. Unik, itulah kesan pertama yang aku tangkap. Kereta ini tidak seperti commuter line yang biasa aku tumpangi di Jakarta. Desain kereta ini lebih mirip kereta wisata dengan desain tempat duduk berhadap-hadapan berwarna hijau dan mempunyai beberapa kipas angin di selasar nya. Jarak tempuh antara Yogya dan Solo dengan Pramek ini adalah sekitar satu jam. Seru rasanya menaiki Prameks, kita disuguhi pemandangan kota Yogya serta hamparan sawah nan hijau dan udara yang sejuk kala pagi. Mungkin saya termasuk orang yang beruntung karena orang disebelahku berujar bahwa biasanya Prameks ini tidak pernah sepi. Tak jarang kita bisa sampai tidak bisa mendapatkan tempat duduk. Aku pun mempercayai perkataan perempuan paruh baya ini begitu melihat tiketku, yang bertuliskan BERDIRI dan TIDAK MENDAPATKAN TEMPAT DUDUK.

Perasaan bahagia ini tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Bagiku, siapapun yang tinggal dan melakukan rutinitas di Jakarta sepakat menyatakan bahwa pergi selama beberapa hari ke Yogya atau Solo, adalah pengalaman yang asyik dan menyegarkan otak. Perempuan paruh baya itu pun bercerita bahwa ia rutin melakukan perjalanan dari Yogya ke Solo dan sangat menyukai Solo, tempat suaminya bekerja. Sejurus kemudian, ia pun bercerita tentang kekagumannya atas kepemimpinan Joko Widodo dan mengapresiasi keputusannya untuk tidak menerima tawaran menjadi pejabat di Ibukota. Kami pun terlibat obrolan seru mengenai politik.

Perempuan yang bekerja di sebuah Bank Swasta ini pun menyatakan bahwa bagaimanapun kepemimpinan Orde Baru Soeharto, lebih bisa memberikan rasa aman bagi warga negara, ketimbang kepemimpinan SBY saat ini. Begitu kusinggung mengenai dosa-dosa politik Suharto di masa Orde Baru selama 32 tahun, yang kemudian berimplikasi hingga saat ini, ia berujar bahwa kenyataannya kesejahteraan rakyat masih nampak ketika zaman Suharto. Ia pun tak segan menyatakan bahwa sebaiknya DPR itu memang ditiadakan dan lebih baik langsung berada di bawah Kementerian saja. Dengan begitu, anggota komisi yang menangani berbagai isu dan mengawasi kinerja badan eksekutif, tepat ada di instansi Kementerian. Wah, jika demikian, batinku berujar, bagaimana dengan konsep trias politika ala Montesquieu bahwa sebuah kekuasaan itu perlu dibagi agar tidak terpusat. Karenanya, Indonesia sebagai Negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi, menggunakan badan eksekutif, legislatif dan yudikatif sebagai upaya untuk membagi tugas dan fungsi dalam sistem pemerintahan. Yang memang nyatanya, tidak bisa berfungsi dengan baik karena jauh dari kesan partisipastif dan transparan. Haus kekuasaan dan penempatan orang yang belum pas pada sebuah kabinet, menambah benang kusut permasalahan bangsa di era reformasi. Semangat reformasi seakan hilang ditelan berbagai kepentingan segelintir pihak.

Obrolan kami pun terhenti seiring kedatangan kami di Stasiun Purwosari, Solo. Masing-masing kami pamit dan aku pun memutuskan untuk menunggu sahabatku di ruang tunggu. Desain stasiun ini khas tempo dulu dengan kerangka baja nya yang nampak kokok. Aku pun tersenyum riang, seraya mengucap syukur akan kedatanganku kembali di kota ini setelah kurang lebih delapan tahun berpisah. Terimakasih ya Allah atas kesempatan ini.

7 Januari 2012, 06.10 WIB.


Kamis, 05 Januari 2012

Menanti Detik-detik Sebuah Perjalanan

Senyumku mengembang setelah berhasil mendapatkan tiket kereta api Senja Utama Yogya Tujuan Jakarta-Yogyakarta untuk Jum'at, 06/01/12 ini. Awal pencarianku akan sebuah tiket kereta api, memang bukan untuk tujuan Jakarta-Yogyakarta, melainkan Jakarta-Solo. Rasa kecewa pun hadir ketika aku mengetahui bahwa seluruh tiket menuju kota yang terkenal dengan lagu 'Stasiun Balapan' itu, ludes terjual. Sesaat aku pun berfikir dan menelfon teman baikku yang akan aku temui di kota Solo nanti. Akhirnya, jalan keluar kudapati, aku membeli satu tiket perjalanan ke Yogyakarta yang kemudian kulanjutkan menuju Solo, setibanya di stasiun Tugu Yogya nanti. Alhamdulillah, jatah liburan tahun baru ini masih berpihak padaku. Ternyata masih ada dua kursi kosong untuk perjalanan menjelang akhir pekan itu.

Solo, kota sejuta kenangan. Sungguh, rasanya aku tidak sabar menanti detik-detik perjalanan ini. Menjelajahi pulau Jawa yang salah duanya adalah Jawa Tengah dan Jawa Timur sebenarnya bukan hal asing bagiku. Ayahku yang berasal dari Losari, Brebes, dekat perbatasan Cirebon itu, membuatku tidak asing dengan Jawa Tengah. Cirebon, Semarang, Brebes hingga DI Yogyakarta pun sering ku kunjungi. Adapun Jawa Timur, Alhamdulillah aku bisa merasakan nikmatnya berada di sebuah daerah yang bernama Mantingan, Ngawi. Selain itu, aku pun pernah menginjakkan kaki di Ponorogo dan Malang. Namun, entah mengapa, beda rasanya ketika mengetahui bahwa dalam bilangan jam aku akan melihat kota Solo kembali, setelah kurang lebih 9 tahun tak bertemu. Kota cantik yang saat ini tengah booming dengan mobil Esemka nya itu, kota yang mempunyai seorang walikota nan hebat seperti Joko Widodo atau yang akrab dipanggil dengan Jokowi serta kota yang di beberapa titik wilayahnya saat ini juga tengah terendam banjir.

Perkenalanku dengan Solo dimulai pada tahun 1997. Saat itu aku baru saja menamatkan pendidikan Sekolah Dasar ku di Jakarta. Aku pun mendaftarkan diri di salah satu pesantren yang ada di Solo, yaitu As-Salam. Nampaknya aku tidak berjodoh dengan As-Salam. Selain merasa tidak betah, aku tidak lulus di beberapa mata pelajaran ujian masuk As-Salam. Sepertinya Allah menggariskan jalan hidup yang lain. Akhirnya aku pun bertolak ke pondok modern Darussalam Gontor Puteri, Mantingan Ngawi Jawa Timur. Suatu saat, ketika aku menjadi pengurus OPPM (serupa OSIS), aku pun mengantongi izin untuk pergi ke Solo guna membeli beberapa keperluan organisasi. Saat itulah aku merasakan suasana Pasar Klewer, melihat keramaian stasiun Solo Balapan dan juga melihat beberapa koleksi bahan-bahan baju nan indah.

Sebuah perjalanan selalu menyenangkan. Perjalanan bisa menambah wawasan, memetik hikmah kehidupan dan juga tentunya silaturahmi, bertemu teman lama se-Indonesia. Itulah yang kusyukuri dari sebuah jalinan persahabatan abadi ala Pondok Modern Gontor. Di manapun kami singgah di bumi pertiwi ini, selalu saja ada sahabat lama yang bisa ditemui. Jangankan di Indonesia, ketika aku memutuskan untuk melakukan wawancara tesisku di Kuala Lumpur, beberapa teman dekat dan terkasih ku, yang juga jebolan Pondok Gontor Puteri, menyambutku dengan sambutan yang sangat hangat dan penuh kasih sayang. Aku pun menetap di asrama temanku, asrama salah satu Universitas terkemuka di Malaysia selama satu minggu. Subhanallah.. nikmatnya jalinan persahabatan.

Detik-detik perjalananku melakukan silaturahmi dan mencari pengalaman lagi di kota Solo semakin dekat. Semoga aku bisa bercerita lebih tentang seluk beluk kota Solo masa kini pada teman-teman. Tentunya sangat menarik saat mengetahui kondisi pariwisata, perekonomian dan perpolitikan di kota Solo. Semoga.

6 Januari 2012.

Selasa, 03 Januari 2012

Cita-Cita Itu...

Aku hadir di tempat ini untuk kesekian kalinya. Ya, Gang Pelangi di Rawajati Ciliwung Jakarta Selatan itu terkenal sebagai tempat tinggal mayoritas masyarakat miskin kota. Ketika aku memutuskan untuk berkeliling di lingkungan itu, aku temukan banyak gerobak yang menandakan profesi mayoritas mereka sebagai pedagang. Selain pedagang, ternyata mayoritas profesi para istri dan ibu yang ada, berupa ibu rumah tangga dan pekerja rumah tangga paruh waktu. Kondisi ini menghadirkan sebuah perenungan bagiku. Akhirnya bisa kupahami bahwa dengan gaji dari kedua profesi tersebut, tidaklah cukup untuk mengirimkan anaknya mengikuti kursus-kursus tambahan di luar sekolah. Jikapun ada sisa uang, uang itu akan menjadi tabungan berarti bagi dua orang tua yang menghidupi dua atau tiga anaknya.


Suatu ketika, aku menanyakan profesi orang tua murid-murid ku di Ciliwung satu per satu. Ada yang menjawab bahwa ayah mereka bekerja sebagai supir, pedagang dan kuli bangunan. Sedangkan profesi ibu mereka adalah sebagai pegawai restoran, ibu rumah tangga dan pekerja rumah tangga (PRT) paruh waktu. Dengan wajah nan polos, salah satu diantara mereka bercerita bahwa pernah satu kali ia temukan sang ibu menangis, entah kenapa. Anak umur 9 tahun itu tentu tidak berfikir jauh sebab dari tangisan ibunya. Satu yang pasti, ia melihat bahwa sang ibu menangis. Namun, beberapa lainnya dengan sikap terus terang dan cerita yang tiada henti, menceritakan potret Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami oleh beberapa ibu dari teman-temannya di lingkungan sekitar.
Sungguh, wajah polos dan semangat mereka itu membuatku tak pernah bisa berkata TIDAK untuk mengakui rasa kangenku bermain dan mengajar di musholla itu.


Kemarin, aku pun datang kembali untuk mengajar. Menjelang waktu dzuhur, tiba-tiba fikiran iseng untuk menanyakan cita-cita mereka pun hadir di benakku. Saat itu, murid yang datang tidak begitu banyak, yaitu 6 orang. Hujan deras yang mengguyur daerah Jakarta, membuat beberapa diantara mereka memutuskan untuk tidak datang dulu. Spontan aku bertanya, siapa yang mau jadi guru?!. Semua anak mengacungkan jarinya tinggi-tinggi. Aku pun tersenyum senang. Pertanyaan kedua, 'siapa yang mau jadi dokter?!, lagi-lagi semuanya mengacung. Ketiga kainya, 'siapa yang mau jadi dosen?!', mereka pun bingung. Dosen itu apa ya Miss? aku pun menerangkan dengan bahasa sederhana bahwa dosen itu anak yang diajarkannya adalah anak kuliahan, yang sudah lulus SMA. Sejurus kemudian aku pun bertanya, 'siapa yang mau belajar sampai kuliah di Universitas?', keenam anak itu pun tunjuk tangan. Aih, bangganya aku melihat semangat anak-anak itu. Karena kami sedang belajar ragam pekerjaan, aku pun bertanya pada mereka satu per satu. Nah, sekarang Tio, apa cita-cita nya? 'Saya mau jadi nelayan dan bajak laut Miss', spontan kami pun tertawa bareng. Bukan karena mendengar ragam profesi yang ia jabarkan, tapi karena mendengar kepolosan dan semangat nya menceritakan kesukaannya pada figur bajak laut, yang mempunyai mata sebelah itu. Yaa, maklum saja, anak kelas 1 ini belum paham banyak hal. Namun semangat nya dalam belajar patut diapresiasi. Dari tiga anak kelas 1 yang ikut kelas bahasa Inggris, hanya ia yang paling rajin datang.
Anak kedua adalah Afni. Anak kelas 3 ini bercita-cita ingin menjadi guru, dokter dan petani. Wah, spontan aku kaget, petani?. 'Iya petani Miss, petani kan kaya ya Miss, punya banyak tanah,' begitu ujarnya. Tidak terbayang dibenakku bahwa ada juga dari anak-anak ini yang menyukai figur petani di era globalisasi dan industri sekarang.
Anak ketiga,Amel berujar bahwa ia ingin sekali menjadi artis dan dokter. Hmm,, yang ketiga ini punya keinginan menjadi artis rupanya. Tak heran, wajahnya memang 'cute' dan harus ku akui bahwa ia adalah murid tercantik diantara lainnya. Teman-temannya pun berkoor ria bahwa ia memang cantik dan orang tuanya pun menginginkannya menjadi artis. Anak keempat, Alia, bercita-cita untuk menjadi dokter dan guru. Sedangkan kelima, Abil, ia ngotot sekali ingin menjadi dokter dengan alasan bisa ke luar negeri, hehe. Terakhir adalah Tipung, murid kelas 3 SD ini bercita-cita ingin menjadi guru supaya bisa berbagi ilmu. Alhamdulillah, Subhanallah..senangnya aku mendengar pengakuan-pengakuan jujur dari mulut mereka itu.


Aku hanya bisa mendoakan supaya cita-cita mulia mereka kelak diijabah Allah. Semoga mereka punya kesempatan untuk melanjutkan studi mereka hingga perguruan tinggi. Bangga sekali rasanya jika generasi bangsa semangat dalam meraih cita-cita nya. Semoga niat ku untuk berbagi ilmu dengan mereka, menambah semangat mereka untuk menjadi orang yang berhasil. Amin.


Sore itu menjadi sore yang spesial bagiku. Selain mereka berbondong-bondong menemaniku melewati empang dan melihat kondisi rumah-rumah mereka, mereka pun mengantarkanku pulang hingga naik angkutan umum. Mereka tak henti-hentinya menyalamiku hingga 4 kali dan mengucapkan 'terimakasih ya Miss Ana, kita ketemu lagi ya Miss..,' aku sampai terharu mendengar dan melihat mereka sore itu. Alhamdulillah ya Allah, Engkau memberikanku kesempatan untuk bertemu dengan mereka di penghujung tahun 2011 hingga kini.

Senin, 02 Januari 2012

Pancaran Semangat Dibalik Pekat nya Sungai Ciliwung

Banyak hal yang patut kita syukuri dalam hidup ini. Mulai kesempatan bangun di pagi hari, kemudian bernafas dalam-dalam dan beraktifitas seharian penuh. Pada dasarnya, hati manusia terdalam selalu dikarunia rasa syukur dan iman. Jika tidak, tidak mungkin kita akan ingat Allah ketika berada dalam masa sulit atau bahkan menjelang sakaratul maut. Namun, banyak dari kita yang tidak menyadari bahkan enggan mengakui betapa Allah Maha Pemurah, Penyayang, Pengasih, serta berbagai Maha-Maha lainnya. Salah satu hal yang sangat aku syukuri di usiaku yang telah seperempat abad ini adalah, diberikan kesempatan untuk merasakan bagaimana kehidupan sekitar arus sungai Ciliwung di daerah Rawajati, Kalibata, Jakarta Selatan.

Salah satu LSM tempat aku bernaung sebagai relawan saat ini, yaitu KAPAL Perempuan, memberikanku sebuah kepercayaan untuk mengajar komunitas anak-anak dan remaja serta para ibu yang tergabung dalam Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC). Aku yakin, banyak diantara teman-teman yang sudah sejak lama berkecimpung dalam sebuah pengabdian masyarakat, terlebih teman-teman LSM. Jujur, pengalaman yang baru kudapat saat ini adalah pengalaman paling berarti dalam hidup. Bisa menyapa orang-orang yang tidak mampu secara finansial untuk bisa mengikuti kursus pelajaran sulit seperti Bahasa Inggris, adalah anugerah terindah yang Allah berikan padaku.
Setelah mengetahui bahwa salah satu kebutuhan masyarakat setempat adalah memfasilitasi anaknya dengan kursus Bahasa Inggris, aku pun memutuskan untuk mengajukan diri sebagai tenaga pengajar di daerah bantaran sungai Ciliwung itu. Kursus itu berjalan tiap dua kali dalam seminggu dan menjadi fleksibel saat liburan tiba atau bahkan hujan deras menerpa daerah kami belajar. Alhamdulillah Pak Ustadz yang disegani dilingkungan tersebut, membolehkan kami untuk belajar di musholla. Kami pun bebas dari rasa khawatir akan kehujanan dan kepanasan.

Hari pertama mengajar dan berbagi ilmu dengan mereka, murid yang datang hanya berjumlah 8 orang. Bagiku itu tidak masalah, karena 8 orang itu tentu bisa menjadi media pemberitahuan gratis ke anak-anak lainnya. Aku terpesona pada semangat 45 yang mereka tunjukkan di hari pertama itu. Beberapa ibu dari murid yang hadir pun turut ikut kursus yang berlangsung selama dua jam tersebut. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak SD dan sebagian lainnya diisi oleh anak SMP dan SMA. Di hari pertama, mereka mengemukakan bahwa bagian tersulit dari Bahasa Inggris yang selama ini mereka pelajari adalah berbicara dan menulis. Aku pun memutar otak bagaimana caranya agar mereka senang untuk berbicara Bahasa Inggris. Aku berfikir bahwa dengan mereka mempunyai bekal lancar berbahasa asing, maka apapun jenis pekerjaan yang kelak mereka geluti, bisa berjalan lebih baik dengan penguasaan bahasa asing. Karenanya, di hari pertama itu, aku terapkan metode ala Pondok-an, di mana murid mengikuti apa yang dikatakan oleh gurunya dengan suara keras dan semangat. Persis seperti semangat 'Man Jadda Wajada' ala Ahmad Fuadi, alumni Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, Jawa Timur.

Selain bersuara lantang, aku pun menerapkan metode hafalan 3 kosa kata per hari nya. Meski masih sulit diterapkan karena ada saja berbagai alasan yang mereka kemukakan, aku mencoba untuk menguji hafalan mereka tiap kali pertemuan. Di samping hafalan, ada juga metode 'listening' CD dan kemudian mereka tuliskan apa yang telah didengar. Tak disangka, 7 kali pertemuan telah kami jalani. Tiap kali bertemu, semangat mereka tidak pernah padam, apalagi suasana gaduh para anak-anak SD yang tentunya masih sangat energik. Pernah suatu saat aku mengumumkan bahwa dipenghujung bulan Desember 2011, kursus akan diliburkan dulu. Spontan mereka berkoor ria tanda kecewa. Subhanallah... ternyata bau menyengat yang beberapa kali menghampiri kami dari arus sungai Ciliwung itu, tidak menggentarkan semangat para generasi muda ini untuk belajar. Hujan deras pun tidak menyurutkan langkah mereka untuk datang ke musholla guna belajar bersama.

Alhamdulillah.. meski fasilitas minim dan seadanya, namun pancaran semangat itu bagaikan parfum mujarab ditengah bau menyengat dari sungai yang tak jarang banjir pun menghampiri wilayah itu. Semoga generasi muda nan semangat juga cerdas ini kelak dapat menjadi insan-insan yang menggantikan posisi para pejabat Indonesia, yang sebagian besar hanya mementingkan cara mempertahankan kekuasaan. Semoga

Minggu, 01 Januari 2012

Antara Idealisme dan Sikap 'Aneh' Pemerintah Indonesia

Aku berfikir bahwa sebenarnya tiap orang mempunyai idealisme dalam hidup.Jika tidak, mana mungkin masing-masing kita mempunyai sebuah cita-cita dalam hidup, ya kan?
Namun dalam perjalanannya kemudian, ada beberapa dari kita yang cenderung untuk mempertahankan idealisme nya, tidak peduli apapun yang terjadi. Ada juga yang cenderung untuk bersikap lebih flexible, bahwa idealisme perlu untuk dipertahankan namun dengan bersikap lentur ketika menghadapi beberapa pilihan. Terakhir, ada juga yang cenderung untuk mengakhirkan idealisme nya demi sebuah eksistensi diri, baik dalam hal materiil, jabatan dan kekuasaan.

Akhir-akhir ini aku mengamati beberapa pilihan profesi orang dalam menjalani hidup. Profesi seperti Peneliti, Dosen dan Guru merupakan beberapa contoh yang masuk dalam kategori langka. Kenapa langka? meski ada beberapa diantara mereka yang pada akhirnya tergoda juga untuk 'mengecap' yang bukan hak mereka, namun pada dasarnya penghasilan/gaji dari profesi-profesi tersebut adalah sangat minim.
Potret pertama, adalah seorang peneliti.

Ayahku adalah seorang peneliti senior di salah lembaga ilmu pengetahuan Indonesia. Awal karier ayah dimulai sejak tahun 1985 di desk Penelitian Masyarakat dan Budaya. Beliau menggeluti bidang politik lingkungan yang notabene untuk keperluan penelitiannya, sering berangkat dan beranjak dari satu daerah ke daerah lain di Indonesia. Alhamdulillah ayah mendapatkan beasiswa S2 dan S3 nya di Negeri Sakura.
Pilihannya untuk menggeluti dunia penelitian dan fokus pada lingkungan (hutan dan berbagai kondisi alam lainnya) tentulah berdasarkan keputusannya dalam menjalani hidup.

Potret yang aku lihat selama ini, kondisi kesejahteraan seluruh peneliti Indonesia termasuk ayah sangatlah jauh dibanding anggota DPR RI yang mempunyai gaji puluhan juta rupiah. Untuk gaji pokok seorang peneliti saja, meski sudah senior, tidak bisa disamakan dengan para wakil rakyat yang 'katanya' bekerja untuk rakyat itu.
Bahkan, tak jarang honor menulis yang seharusnya keluar di bulan Oktober, harus mundur hingga dua bulan ke depan. Waw, sebenarnya pemerintah Indonesia ini menghargai profesi peneliti nggak sih ya?

Beberapa hari lalu, 29/12/2011, aku membaca salah satu berita di harian KOMPAS yang berjudul 'Lembaga Penelitian Makin Tak Diminati'.
Dalam ulasan berita KOMPAS itu, disebutkan bahwa lembaga penelitian Indonesia makin tak diminati oleh generasi muda. Sang Kepala LIPI pun menyatakan bahwa selain gaji dan insentif terbatas, kesempatan untuk melanjutkan pendidikan juga makin terbatas. Hal ini berhubungan dengan anggaran pemerintah yang tak sebesar dulu untuk menyekolahkan peneliti dan perekayasa ke luar negeri. Selain itu, ulasan berita itu pun menceritakan bahwa sebagian besar pegawai LIPI saat ini berusia antara 45-55 tahun dan tenaga pengganti banyak yang belum siap.
Bisa dibayangkan jika regenerasi peneliti tidak berjalan lancar di Indonesia.

Bagaimana potret dunia pendidikan kita lima atau puluhan tahun ke depan? akankah Indonesia menjadi Negara yang bisa dibanggakan secara SDM nya?
Para generasi muda saat ini nampaknya lebih senang mengikuti berbagai ajang pencarian Idol yang bisa cepat terkenal dan mendapat uang berlimpah. Para pemuda/i pemenang berbagai olimpiade yang diselenggarakan di luar negeri pun tidak mempunyai porsi pemberitaan yang besar seperti para Idol tersebut. Media memang identik dengan industri dan keuntungan memenangkan hati penonton sematan, namun Pemerintah pun sebenarnya dapat mengatur mekanisme pemberitaan tersebut.

Selain peneliti, profesi dosen dan guru pun bernasib sama. Pengalaman Ibuku yang berprofesi seorang dosen dan sudah mendedikasikan dirinya sejak tahun 1987 pun tidak beda dengan peneliti. Gaji yang tidak sebesar para anggota dewan, ditambah insentif yang tersendat-sendat juga sudah menjadi rahasia umum masyarakat Indonesia.
Sikap 'aneh' Pemerintah Indonesia ini hampir terjadi di tiap hal, bukan hanya pendidikan. Salah satunya adalah keadilan hukum. Jika sang koruptor bisa mendapat remisi dan tinggal di penjara nan mewah dan sering melakukan travel, tidak demikian dengan pemuda yang mengambil sandal, nenek minah yang mengambil 3 biji kakao dan masih banyak kalangan bawah lainnya yang menjadi korban ketidakadilan hukum Indonesia.

Meski demikian, idealisme untuk mengagungkan ilmu dibanding melihat materi yang akan di dapat, tentu merupakan sikap bijak yang tidak dimiliki oleh semua orang. Hanya insan terpilih lah yang bisa bertahan dalam kondisi demikian.
Subhanallah, dari berbagai potret hidup yang saya lihat, Allah lebih mencintai dan memberikan berkah-Nya kepada orang-orang yang tetap mempertahankan keputusan hidupnya guna mengabdi pada nilai-nilai kemanusiaan, apapun profesi yang mereka tekuni.
Semoga sikap 'aneh' Pemerintah Indonesia dalam membuat kebijakan dan memperhatikan kesejahteraan para pelaku pendidikan, siapapun mereka akan sirna seiring masuknya tahun baru 2012.

Semarak Tahun Baru 2012 dan Pelajaran Di Belakangnya

Pergantian tahun baru selalu menjadi momen spesial yang dinanti nanti oleh tiap insan di dunia, termasuk di Indonesia. Tahun baru, identik dengan sebuah perayaan. Mulai dari nyala kembang api, panggung hiburan hingga tumpah ruah penyanyi Indonesia yang disiarkan langsung di berbagai media swasta tanah air. Salah satu pengalaman tahun baru 2012 yang aku lewati adalah fenomena lautan manusia yang merayakan suasana tahun baru di Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Tepat pukul 21.20 WIB, aku dan keluarga menginjakkan kaki di salah satu museum di TMII. Lahan yang luas di samping museum tersebut, ditambah dengan ciri khas sebuah kapal layar, menjadi pemandangan unik bagi para penonton untuk melihat para artis yang akan bernyanyi. Sejurus kemudian, aku dan keluarga pun menikmati beberapa nyanyian yang disajikan. Tentu kami tidak memutuskan untuk gabung dengan beberapa penonton lainnya di sebuah lapangan luas yang disediakan oleh pihak panitia. Berbagai fikiran akan kondisi malam tahun baru menggelayuti fikiran kami. Mulai dari berdesak-desakan dan akhirnya tidak bisa keluar dari lapangan, hingga beberapa kejadian injak menginjak antara penonton yang selalu diberitakan tiap tahun baru. Beberapa artis pun muncul menyanyikan lagu nya masing-masing, termasuk anak sang raja dangdut Indonesia, siapa lagi kalau bukan Ridho Rhoma.

Suasana lapangan di salah satu spot museum di TMII makin ramai dengan penonton yang baru berdatangan di pukul 22.30 WIB. Akhirnya aku dan keluarga pun memutuskan untuk pulang dari TMII. Kondisi kemacetan mulai dari motor, mobil hingga keramaian para pejalan kaki memenuhi akses menuju lapangan inti tempat pergantian tahun akan dirayakan. Akhirnya mobil kami pun berhasil keluar melalui jalur gerbang pintu 4 TMII yang mempunyai akses melalui Museum Lubang Buaya.

Pergantian malam tahun baru memang selalu menjadi fenomena yang menyedot banyak perhatian publik, hingga lupa untuk menyadari bahwa dari tahun ke tahun kita tidak pernah belajar untuk memperbaiki sebuah kesalahan, yaitu MEMBUANG SAMPAH SEMBARANGAN. Ya, lautan sampah di berbagai tempat pergantian malam tahun baru seperti Monas, TMII, Pulau Dewata Bali, Taman Impian Jaya Ancol dan lainnya, selalu menjadi berita utama berbagai stasiun TV keesokan harinya. Sikap membuang sampah pada tempatnya ini yang tidak kita punyai tiap perayaan pergantian malam tahun baru. Setidaknya jika tempat sampah tidak tersedia, kita membawa sebuah plastik besar untuk memasukkan sampah masing-masing dan kemudian kita buang pada tempatnya.

Aku teringat salah satu rekaman yang diputar oleh Ayahku ketika mendapat kesempatan untuk melakukan Post Doctoral nya di Kyoto University, Jepang. Salah satu tayangan yang membuatku kagum akan disiplin warga Jepang adalah rasa tanggung jawab masing-masing individu dan kolektif. Salah satu contoh yang ada dalam rekaman tersebut adalah ketika perayaan sebuah festival mahasiswa di kampus yang terkenal dengan jam besar nya itu. Selain menampilkan band-band ala kampus, tersedia berbagai stand makanan yang tidak jauh dari potret stand-stand kampus yang ada di berbagai Universitas di Indonesia. Yang membedakan adalah bahwa tiap stand mempunyai plastik besar, tempat para pembeli makanan dan minuman dari stand mereka membuang sampah. Bahkan ada kebijakan bahwa tiap standa bertanggung jawab akan sampah yang ada dari hasil jualan mereka.

Waw, betapa sikap disiplin warga Jepang, termasuk para kawula muda nya sudah mendarah daging ya. Kondisi ini berbanding terbalik dengan potret disiplin warga Indonesia. Kita masih suka membuang sampah sembarangan, bahkan tiap kali ragam stand sejenis diadakan. Terlebih ketika perayaan malam tahun baru. Terbayang bukan, bagaimana jadinya sebuah lingkungan Monumen Nasional, ikon ibukota menjadi lautan sampah. Belum lagi lingkungan Pulau Dewata nan indah yang harus berwajah jelek akibat ulah kita sendiri. Meski merayakan semarak tahun baru adalah hak tiap individu, tapi tidak ada salah nya bukan jika kita juga belajar dari berbagai kejadian buruk yang ada di belakang perayaan malam tahun baru. Semoga.