Kamis, 15 November 2012

Sebuah Ibukota bernama Washington DC

Ini adalah kali pertama aku menginjakkan kaki di ibukota Negara Amerika Serikat. Negara yang terkenal dengan label demokratisasi nya di dunia, Negara yang terkenal dengan adi daya nya dan juga Negara yang dulu hanya bisa kubayangkan seluk beluk nya lewat pelajaran bahasa Inggris ketika mondok di Pondok tercinta, Gontor Puteri. Subhanallah.. rasanya seperti mimpi ketika Allah menganugerahiku dengan kesempatan mengikuti International Visitors Leadership Program (IVLP) selama tiga minggu di AS untuk memantau jalannya Pemilu dan politik AS , itupun dengan mengelilingi tujuh Negara bagian yang mempunyai keunikan masing-masing.

Dengan dukungan berbagai pihak, terutama Dekan FISIP UIN Jakarta, tempatku mengabdi, aku pun bertekad untuk juga mendalami isu peran agama dalam politik/ Pemilu AS serta partisipasi perempuan dalam kancah politik di sana, sebagai bidang konsentrasiku selama ini. Tak terasa, perjalanan selama dua hari satu malam membawaku pada kota tujuan pertama dari rangkaian program ini, Washington DC.

Kota ini sungguh nyaman dan kondusif sebagai ibukota Negara. Gedung-gedung tinggi memang sering kita temui, layaknya Jakarta. Namun, satu hal yang sangat kusukai adalah tata kota nya yang asri dan nyaman. Di tiap sudut kota, kita bisa sangat mudah menemui berbagai taman kota, lengkap dengan pohon nan rindang, patung para pahlawan mereka, sejumlah kursi taman juga kicauan burung yang indah. Ditambah lagi dengan absennya asap kendaraan sebagai polusi udara yang sangat mudah kita temui di ibukota Jakarta, menjadikan kota ini sangat nyaman untuk ditempati, bahkan menjadi tujuan wisata para turis asing. Baru kuketahui bahwa DC itu adalah kepanjangan dari District of Columbus. Sehingga nama Washington DC diambil dari George Washington dan Christopher Columbus.

Washington DC terletak diantara Negara bagian Maryland dan Virginia. Ibukota ini tidak termasuk bagian dari Negara bagian manapun, sehingga tidak bisa mengajukan pilihannya untuk perwakilan senat, juga representatif di parlemen. Sebagai ibukota, urusan utama Washington DC adalah pada politik nasional dan internasional. Industri privat mereka adalah turisme, dengan angka sekitar 14-15 juta pengunjung yang datang ke kota ini tiap tahunnya. Sedangkan di bidang pendidikan, ibukota ini mempunyai 22 sekolah, ragam universitas dan juga berbagai museum, perpustakaan serta ragam masyarakat nya.

Salah satu tempat yang ku kunjungi sebagai langkah utama guna mengetahui historisitas mereka adalah National Mall. Ketika mendengar kata mall, sepintas aku membayangkan banyak nya mall-mall besar yang menjamur di ibukota, tanyaku pun hadir, apakah sama wajah nya dengan mall yang di maksud di Jakarta? Ternyata tidak. National Mall adalah sebuah area yang terletak diantara jalan ‘Constitution dan Independence’, membentuk tata kota, dengan hadirnya bangunan utama US di sebelah timur dan Lincoln Memorial di sebelah barat. Selain itu, masih banyak tempat wisata sejarah yang berlokasi ataupun dekat dengan National Mall. Ada gedung putih, monumen Washington, Galeri seni nasional, gedung Capitol AS (tempat kongres AS bersidang), Vietnam memorial (tempat untuk memperingati orang-orang Amerika yang gugur atau hilang ketika perang Vietnam), museum memorial Holocaust US dan juga memorial Thomas Jefferson (sumber dokumen IVLP).
Di ibukota Negara inilah rangkaian perjalanan kami, 16 partisipan dari Asia-Fasifik dimulai. Hari pertama diisi dengan pengenalan terhadap struktur pemerintahan US, desentralisasi nya dan pembagian kekuasaan, menjadi kekuasaan federal, negara bagian dan pemerintahan lokal di US yang diisi oleh Charles Spencer PhD, dosen bidang federalisme.

UUD yang diadopsi tahun 1787 memberikan kekuasaan eksekutif kepada Presiden yang masih bertahan hingga kini. UUD mengharuskan jabatan Presiden diisi oleh warga negara kelahiran Amerika yang minimal berusia 35 tahun. Pilpres diadakan tiap empat tahun sekali dan hanya boleh dua kali masa kerja sesuai amanat ke 21 yang diratifikasi tahun 1951. Gagasan pembagian kekuasaan serta keseimbangan lahir dari the federalist, yang merupakan karya penting mengenai filsafat politik dan pemerintahan yang pernah ditulis di AS. The federalist papers jugalah yang memberikan gagasan mengenai apa yang dikenal dengan check and balances. Anggota house of representatives hasil pilihan publik akan diawasi dan diimbangi oleh sebuah senat yang ditentukan oleh legislatif negara bagian (Amandemen UU yang ke 17 pada tahun 1913 mengubah aturan ini dengan menetapkan adanya pemilu bagi calon senator). Hal ini dibangun dengan argumen dari Alexander Hamilton, salah satu pemikir selain James Madison yang mempunyai buah fikiran akan sistem pemerintahan AS, bahwa “sebuah majelis yang demokratis harus diawasi oleh senat yang yang demokratis dan keduanya oleh Presiden yang demokratis pula).

Sedangkan gagasan pemisahan kekuasaan antara lembaga adalah sebagai upaya menghindari tirani dari kekuasaan yang terpusat. Namun federalist paper juga melihat bahwa ada kebajikan lain, yaitu meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemerintahan. Karena terpisah, maka mereka akan mengembangkan keahlian dan peran masing-masing, hal yang nampak mustahil jika lembaga tersebut digabung (diambil dari buku Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat, Deplu AS). Charles pun melontarkan pertanyaan, dalam demokrasi modern, lantas bagaimana pemerintahan nasional memberikan kepercayaan pada semua negara bagian untuk mengatur tiap permasalahan? Jawabnya adalah bahwa mereka mengupayakan standarisasi nasional. Misal dalam kesehatan publik, pendidikan dan juga keamanan, maka ada standarisasi bersama. Tiap negara bagian boleh memiliki aturan masing-masing, namun ada standarisasi nasional yang diamini bersama. Hanya kongres yang bisa membuat pola pemerintahan baru dan juga mempunyai kekuatan untuk mendeklarasikan perang dibawah payung konstitusi.

Pada pola judicial, terdapat district court di tiap negara bagian, agar tiap negara bagian bisa menyelesaikan permasalahan hukum dan juga tidak segala urusan diselesaikan di pusat. Seorang hakim hanya bisa berhenti dari posisi nya karena kematian atau pengajuan pengunduran diri serta pensiun. Mahkamah Agung adalah pengadilan tertinggi di AS dan satu-satunya yang dibentuk oleh Konstitusi. MA mempunyai hak yuridis asli hanya dalam dua macam kasus: yang melibatkan orang-orang penting asing dan yang melibatkan negara bagian. Sedangkan kasus lain, bisa sampai ke meja MA karena banding dari pengadilan yang lebih rendah. Mekanisme pembagian kekuasaan ini mengingatkanku pada pola pemerintahan yang kita anut. Meski demikian, sistem multipartai yang kita anut, jelas berbeda dengan sistem dua partai di Amerika Serikat, walau banyak juga beberapa pihak di AS mempertanyakan sistem dua partai yang tidak mencerminkan keberpihakan atas ragam aspirasi yang ada.

Sekilas pengetahuan tentang pemerintahan AS hari itu, membawaku untuk menyimak dan melihat kembali perbandingan yang ada dari dua Negara, yaitu Indonesia dan AS. Lebih penting lagi adalah mekanisme Pemilu di dua Negara yang katanya mempraktekkan demokratisasi. Ah, Washington DC semakin menarik menjelang siang. Tiba waktunya untuk berkeliling, menikmati kudapan makan siang, serta menjelajahi sudut lain dari ibukota negara ini.

Ana Sabhana Azmy
Oktober 2012.


Rabu, 15 Agustus 2012

IBU....

Jakarta, kota metropolitan ini memang tidak pernah sepi dari hingar bingar mobilitas kehidupan. Rasanya, tidak pernah ada kata istirahat bagi kota yang baru saja berulang tahun ke 484 ini. Menapaki jalan-jalan di kota Jakarta pada siang hari, seperti dua sisi yang saling tarik menarik. Setidaknya bagiku, menyenangkan karena bisa mengamati kehidupan sekitar warga Jakarta. Menjadi tidak menyenangkan karena terik matahari yang hadir di kota Jakarta lumayan menguji kadar kesabaran.
Salah satu hal yang kuamati di siang hari itu adalah seorang ibu dengan tiga anaknya yang masih kecil. Antrian transJakarta busway yang sudah menjadi ‘makananku’ setiap hari, selalu mengundang hal menarik untuk diamati. Siang itu, sang ibu tengah mengantri di antrian bus transJakarta busway arah Blok M. Anak paling kecil dengan umur sekitar 2 tahun tengah digendongnya. Anak pertamanya adalah perempuan yang kutaksir berumur 7 tahun. Sedangkan anak keduanya adalah laki-laki yang kutaksir berumur sekitar 5 tahun. Sepintas tidak ada yang salah dengan kondisi itu. Ada seorang ibu tengah membawa tiga orang anaknya untuk naik transJakarta busway.

Namun pengamatanku dimulai saat bus transJakarta tak kunjung datang alias ‘ngaret’ dan anak laki-laki keduanya mulai resah, seraya merengek untuk minta digendong. Dengan kondisi bingung, sang ibu pun mulai mengiyakan rengekan anak laki-lakinya. Ia melepaskan anak ketiganya dari gendongan dan kemudian menitipkannya pada anak pertamanya. Anak keduanya pun senang dan tersenyum, begitupun dengan sang bungsu yang memberikan senyuman termanisnya untuk sang kakak, tanpa sedikitpun terlihat kecewa. Tak berapa lama, bus transJakarta pun datang. Kondisi bus yang sudah sesak dengan lautan manusia pun membuat ibu tersebut urung masuk. Seraya menunggu kehadiran bus berikutnya, ia meminta pada anak perempuannya untuk melepaskan gendongan sang bungsu dan menurunkan kembali anak keduanya setelah puas digendong oleh sang ibu. Setelah itu, ibu yang tak pernah menunjukkan muka lelahnya ini kembali menggendong anak bungsunya dan merangkul kedua anaknya. Ternyata, bus transJakarta berikutnya kembali datang. Kali ini ia bisa masuk atau bahkan terkesan memaksa masuk meski kondisi bus lumayan padat.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kemudian kondisi sang ibu dan tiga anak nya tersebut di dalam bus transJakarta yang mana kondisi sebagian armadanya sudah tidak nyaman lagi, terutama bus transJakarta lama dengan warna kuning. Meski kemudian sang ibu masuk pada bagian “khusus area wanita” di dalam transJakarta busway, bagaimana dengan kedua anaknya yang juga masih kecil? Aku membayangkan perjuangan tak kenal lelah dari seorang ibu dalam membesarkan, melindungi dan mengayomi anak-anaknya. Tak berapa lama ibu tiga anak tersebut berlalu dari hadapanku yang masih ada di urutan antrian ke sekian, datang kembali seorang ibu dengan paras cantiknya, tengah menggandeng dua buah hatinya yang juga masih kecil. Seraya terus menggandeng mereka, ibu paruh baya tersebut berujar, “ nanti di bus jangan jauh dari mama ya nak”. Subhanallah, betapa kasih sayang ibu memang tak pernah habis sepanjang masa. Terdetik dalam benakku, sudahkah kita membalas kasih sayang mereka dalam usia kita yang beranjak dewasa?

Sontak rasa kangen luar biasa hadir dalam hati dan tak sabar untuk bertemu dengan ibu tersayang di rumah. Ibu.. begitu mulia perjuanganmu, tak kenal lelah mengayomi, mendidik dan memberikan seluruh kasih sayangmu pada buah hati. Semoga perjuangan para ibu nan hebat, berbuah doa bagi anak-anaknya sebagai generasi muda ke depan, untuk meraih kesuksesan hakiki dunia dan akhirat. Amin.

Jakarta, 16 Agustus 2012

Jumat, 27 Juli 2012

Sebuah KE-PERNAH-AN..

Status Facebook salah seorang temanku beberapa hari lalu mengenai sebuah Ke-pernah-an, membuatku diam tertegun, mengingat segala hal yang mampir dalam hidup.
Kata PERNAH, menjadi hal yang terus terngiang di kepalaku sejak hari itu. Memutar waktu dan memori untuk kemudian terus bersyukur dalam mengenyam Ke-pernah-an.

Ya, tiap kita pasti pernah merasakan pengalaman-pengalaman dalam hidup yang bisa saja tidak akan berulang kembali. Pengalaman itu menjadi kian mahal, saat tidak semua orang bisa merasakan apa yang kita rasakan. Mungkin anda juga bisa menceritakan ke-pernah-an apa saja yang hadir di hidup anda, selama nafas masih berhembus.
Bagiku, banyak sekali hal yang menandakan nikmatnya ke-pernah-an itu.

Setelah lulus SD di tahun 1997, aku memasuki sebuah pesantren di bilangan Mantingan, Ngawi jawa Timur. Gontor Puteri, begitulah pesantren nan sangat kubanggakan itu biasa disebut. Saat memasuki gerbang Gontor Puteri di sekitar tahun 1997-1998 itu, tidak ada perasaan takut, sedih, cemas atau bahkan memikirkan akan kabur dari pesantren itu suatu hari nanti. Kondisi itu berbanding terbalik dengan potret para calon santriwati baru yang kulihat saat itu. Sebagian mereka, 'merengek' untuk tidak ditinggalkan cepat-cepat oleh sang keluarga. Ada juga wajah-wajah yang mensiratkan cemas menghadapi kehidupan pondok.

Dua hari satu malam bersama kedua orang tuaku di awal memasuki pondok Gontor Puteri itu, kuanggap sebagai babak awal kehidupan mandiri yang akan kurasakan. Setidaknya untuk memompa diri menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Benar saja, ke-pernah-an itu sungguh sangaaaat ku syukuri hingga hari ini.Pondok mengajarkan banyak hal, baik kemandirian, disiplin, pengalaman berorganisasi, interaksi sosial, tenggang rasa, ukhuwwah Islamiyah dan masih banyak lagi hal lain yang hingga kini masih kurasakan dampaknya. Subhanallah, sungguh aku beruntung dan bersyukur pada Allah, bahwa ketika 'godaan' untuk pulang selamanya dari pondok itu hadir di tahun ketiga, suara hatiku mentah-mentah menolaknya.

Selama di pondok pula, pengalaman kepemimpinan dengan menjadi ketua rayon (satu gedung yang ditempati oleh para santriwati dari berbagai angkatan/kelas)memberikanku suatu pandangan baru ketika dihadapkan dengan saat-saat genting pengambilan keputusan untuk kemajuan rayon. Pun ketika menjadi bagian bahasa di rayon, aku mendapatkan pengalaman berharga betapa berharga nya nilai kedisiplinan. Betapa berharga pula sebuah kemampuan berbahasa. Bahasa dapat membuka mata kita akan keberagaman informasi dari seluruh dunia. Pengalaman kedisiplinan untuk mendisiplinkan diri dan orang lain pun ku dapat dari pengalaman menjadi bagian keamanan pusat, yang dipercayakan oleh teman-teman serta para guru-guru kami. Aku yakin, teman-temanku sesama alumni Pondok Gontor Puteri pun merasakan hal yang sama.

Seusai mengecap kehidupan pondok modern selama enam tahun lebih, aku pun masuk di sebuah perguruan tinggi negeri, UIN Jakarta. Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam yang kupilih, benar-benar menghadirkan ke-pernah-an yang luar biasa. Menjadi seorang penyiar radio Fakultas, Master of Ceremony di acara-acara seminar serta dikusi mahasiswa, juga perlombaan serupa, mengisi hari-hariku selama kuliah di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta.
Tidak hanya di situ, konten ilmu dakwah yang kami pelajari di pondok dengan melaksanakan Public Speaking/ Muhadhoroh selama dua kali dalam seminggu, juga bisa tersalurkan ketika aku duduk di bangku kuliah. Subhanallah, sangat mahal harga sebuah ke-pernah-an itu. Pun keberanian dan interaksi sosial yang kudapatkan selama di pondok, membantuku ketika terjun ke masyarakat untuk berbagi informasi, ilmu dan pengalaman.

Selama kuliah, ilmu bahasa yang kudapati di pondok, juga sangat bermanfaat dalam mencari ragam referensi penunjang mata kuliah yang ada. Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, mengantarkanku juga pada jaringan yang luas, dalam aspek media dan jurnalisme. Setidaknya, hal itu kurasakan ketika bekerja di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) setelah lulus dari S1 di tahun 2008.
Ke-pernah-an dalam bekerja di ISAI dan menggeluti media watch, mengantarkan ku pada sebuah ketertarikan akan dunia politik. Akhirnya, setelah menyelesaikan kontrak kerjaku, aku pun memutuskan untuk masuk di Departemen Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI. Sungguh, banyak sekali ragam ke-pernah-an yang kurasakan selama menjadi mahasiswi ilmu politik. Diantaranya berinteraksi dan berdiskusi dengan seorang mantan diplomat yang kukenal ketika menemui seorang teman di gedung DPR. Saat itu kami berdiskusi mengenai perpolitikan Indonesia serta generasi muda ke depan. Pesannya yang sangat kuingat adalah, "Nikmati proses menuju keberhasilanmu". Dengan kata lain, ia ingin menekankan agar jangan menjadi orang yang tergesa-gesa menuju kesuksesan, karena dengan begitu, kita akan gelap mata dan menghalalkan segala cara.

Ke-pernah-an lainnya tentu saja mempunyai relasi/jaringan yang sangat banyak di berbagai LSM. Konsentrasi yang kupilih dalam isu perempuan dan politik, mengantarkanku pada ke-pernah-an mewawancarai orang-orang yang kubilang mempunyai pengalaman sangat banyak di dunia politik perempuan, baik anggota dewan, Direktur Eksekutif sebuah LSM ataupun penggiat pekerja sosial/buruh migran.
Aku hanya bisa berkata Alhamdulillah atas segala ke-pernah-an yang hadir dalam hidup. Tidak lain hanya atas kuasaNya dengan melihat tiap usaha hambaNya, bukankah begitu kawan?
Akhirnya, ke-pernah-an dalam mengecap ragam pengalaman berharga itu, yang membuatku selalu menularkan cerita-cerita hikmah yang ada saat berbagi pengalaman dalam mata kuliah pembangunan politik pada adek-adekku di UIN Jakarta saat ini.

Sungguh, status FB temanku itu membuatku sangat bersyukur atas kuasa Ilahi selama 26 tahun ini. Detik ini, aku semakin menghayati kata "Experience is the best teacher".
Bagaimana denganmu kawan?


Jakarta, 28 Juli 2012.

Kamis, 17 Mei 2012

HERAN...

Sepertinya hanya satu kata yang dapat kuucap sore hari itu, yaitu HERAN. Ya, sore itu aku harus menunggu salah satu moda transportasi yang paling diincar banyak orang Jakarta, apalagi kalau bukan transJakarta busway, selama satu jam. Perjalanan Rawamangun-Pemuda menuju daerah Pasar Minggu Jakarta Selatan yang seharusnya bisa kutempuh selama dua jam, menjadi tiga jam. Sungguh, kota Jakarta ini mempunyai dua sisi yang membuatku senyum, yaitu sisi membuat kangen, sekaligus membuat orang stress. Aku teringat paparan teman dekatku yang berdomisili di Yogyakarta. Ia mengutarakan padaku bahwa tinggal selama tiga hari di Jakarta, ibarat tinggal seminggu dengan kondisi menjemukan. Apalagi jika bukan saking tidak betahnya ia menghadapi mobilitas tinggi warga Jakarta dengan topangan kemacetan yang luar biasa. Baginya, suasana Yogyakarta nan nyaman dan bebas dari kemacetan luar biasa, selalu membuatnya kangen untuk segera pulang. Aku pun merasa demikian, tinggal selama tiga hari di kota Yogyakarta, serasa benar-benar menikmati angin surga dan kebebasan rutinitas sesungguhnya. Meski demikian, karena lama tinggal di Jakarta, tetap saja bagiku Jakarta itu selalu membuat kangen.

Kembali pada rasa heranku, ini merupakan refleksi atas perhatian dan pengalamanku mendengarkan keluh kesah warga Jakarta yang mempunyai nasib sama, yaitu MENUNGGU kedatangan transJakarta busway. Beberapa ibu-ibu yang sama-sama megantri pun mulai komat kamit meluapkan keluh kesahnya. Salah satu diantaranya mengatakan, “Haduh, nunggu busway kok sampai kaya gini ya. Balikin karcis nggak mungkin, ya saya juga nggak bakal dapet lagi bus umum selain busway kalau udah jam segini. Udah milih busway, lha kok malah gini jadinya”, demikian ucap sang ibu yang telah menunggu lebih lama dariku. Belum lagi ibu lainnya yang komat kamit dengan nada serupa. Selama satu jam itu, bukan berarti tidak ada transJakarta yang datang, namun semuanya hanya lewat dihadapan kami, dengan alasan akan mengisi BBG (Bahan Bakar Gas). Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa pengisian BBG itu harus dilaksanakan pada waktu jam pulang kantor? Bukankah dua waktu di Jakarta ini yang harus mendapatkan perhatian lebih? Waktu berangkat ke dan pulang dari kantor. Belum lagi kondisi berdesakan sesama penumpang transJakarta yang harus kami alami setelah mengantri selama satu jam.

Aku tidak habis fikir, mengapa pemerintah kita, baik pusat maupun daerah, senang sekali melihat warganya ‘kesusahan’. Jika di luar negeri saja kita bisa merasakan waktu tunggu antrian bus juga kereta selama dua menit saja, mengapa hal itu seakan sulit sekali diterapkan di Indonesia, terutama di Jakarta?
Bukan hanya transJakarta busway, namun juga kereta api. Mungkin ada sedikit pengecualian untuk commuter line yang mempunyai harga tiket sebesar Rp.6.000,- (enam ribu rupiah) itu. Hawa sejuk meski berdesakan ‘lumayan’ mengusir keputus asaan warga Jakarta untuk mendapatkan kondisi transportasi publik yang nyaman. Meski demikian, pertanyaan lain pun hadir. Bagaimana kondisi berdesakan antar penumpang kereta di waktu pagi dan sore hari menjelang jam pulang kantor? Berapa banyak warga Jakarta, terutama kalangan bawah yang dapat membeli karcis seharga enam ribu rupiah itu tiap harinya, jika mereka berangkat kerja dari Bogor ke Jakarta dan kemudian pulang ke Bogor kembali pada sore hari? Otomatis mereka akan lebih memilih harga tiket kereta api ekonomi yang kurang dari dua ribu rupiah. Kemudian, bagaimana kualitas kereta ekonomi di Indonesia? Apakah sudah menerapkan standar aman bagi penumpang nya, dengan pintu yang terbuka, lampu kadang gelap serta warga bergelantungan, asal bisa naik kereta? Jawabnya adalah BELUM.

Hal penting yang kemudian terbersit di benak ku adalah, bagaimana kemudian Indonesia bisa membangun SDM (sumber daya manusia) yang berkualitas dan bisa memajukan prestasi diri serta kantor di mana mereka bekerja, bila jarak tempuh ke tempat kerja saja sudah lama. Sesampainya di tempat kerja, bukan kondisi segar lagi yang mereka tunjukkan, namun kondisi berpeluh keringat dengan suasana hati yang enggan untuk berfikir keras dan mengerjakan tugas kerja secara maksimal. Apakah ini difikirkan juga oleh pemerintah? Jelas kita tidak bisa menyalahkan supir transJakarta busway ataupun masinis kereta api. Pertanyaan selanjutnya adalah, berapa gaji yang mereka terima? Sudah sejaterakah mereka? Apakah mereka mendapatkan jaminan asuransi kesehatan dan keselamatan kerja yang maksimal? Inilah kewajiban Negara, yang dicerminkan oleh pemerintah untuk memenuhi tugas dan fungsinya dalam memberikan rasa aman dan nyaman bagi warga negara di tiap aktifitas.

Jika Negara merupakan konsep inklusif yang meliputi semua aspek pembuatan kebijakan serta pelaksanaan sanksi hukumannya, dan kemudian pemerintah adalah agen yang melaksanakan kebijakan Negara dalam masyarakat politik (Lawson 1991:5 dalam Arief Budiman 1996), maka jelaslah bahwa pemerintah harus mempunyai pemahaman mendasar akan kebutuhan warga. Di samping itu, keberpihakan pemerintah yang di wakilkan oleh aparat birokrasi nya pun wajib mempunyai keberpihakan pada kepentingan warga negara secara luas, bukan kalangan tertentu saja. Rasa heranku tak pernah berhenti tiap kali aku ‘menikmati’ moda transportasi publik di Jakarta. Bagaimana mungkin pemerintah TEGA melihat warga nya menunggu selama satu hingga satu setengah jam untuk ‘menikmati’ layanan publik berupa transJakarta busway, kereta api hingga mundurnya jadwal penerbangan pesawat terbang karena kondisi kapasitas pesawat di bandara Soekarno-Hatta yang sudah melebihi jumlah ideal hilir mudiknya sang pesawat. Bagaimana mungkin pemerintah hanya bisa berdiam diri dan menikmati kemewahan mereka sendiri dengan naik mobil dinas atau pribadi yang harganya pun tidak sampai terbayangkan bagi kalangan bawah untuk membelinya. Bagimana mungkin pemerintah tidak bisa bersikap tegas pada pihak asing atau borjuis lokal ketika mereka dengan leluasa membayar pajak nan rendah dengan terus mengeksploitasi tenaga kerja warga negara Indonesia? Mengapa ‘imbalan’ dari sang investor/borjuis itu lebih penting ketimbang tanggung jawab mereka di hadapan Tuhan sebagai pejabat? Serta masih banyak pertanyaan-pertanyaanku yang tak pernah habis tiap kali merenung selama perjalanan dalam transJakarta busway atau kereta api.

Ada hal yang perlu dilaksanakan oleh pemerintah dalam mengurai masalah transportasi publik kemudian, yaitu membuat terobosan baru dalam hal pengadaan transportasi publik. Selain menambah armada transJakarta dan juga kereta api commuter line, pemerintah perlu mensinkronisasikan model tiket sesuai jarak tempuh. Salah satu masalah transJakarta busway adalah armada yang minim. Berdasarkan berita yang dirilis oleh www.beritasatu.com, di koridor 1 saja hanya terdapat 90 single busway dan itupun tidak gandeng. September mendatang menjadi rencana Badan Layanan Umum (BLU) transJakarta untuk menambah 66 armada bus gandeng baru, dan melayani koridor 1 (Blok M-Kota) dan 9 (Lebak Bulus-Harmoni). Pengalaman pribadi penulis, koridor 6 (Ragunan-Dukuh Atas) pun perlu penambahan armada. Waktu tunggu selama satu jam di koridor tersebut, sudah menjadi ‘makanan’ kami sehari-hari.
Sama hal nya dengan kereta api commuter line. Penambahan armada mutlak dibutuhkan demi mengangkut massa yang demikian banyak di Jakarta.

Kereta sebenarnya menjadi tumpuan utama masyarakat karena jarak tempuh yang cepat dibanding bus. Nampaknya dalam konteks kereta api di Indonesia, terutama di Jakarta, sinkronisasi harga tiket berdasarkan jarak tempuh perlu diberlakukan. Sebagai contoh, harga tiket kita ke Pasar Minggu dari arah Bogor menjadi lebih murah dibanding harga tiket dari Bogor menuju Kota. Ini pula yang sudah di lakukan beberapa Negara, seperti Malaysia dan Jepang. Sebaiknya tidak ada lagi klasifikasi kereta ekonomi dan AC, meski faktanya memang sulit menghilangkan kereta ekonomi, karena harga nya yang relatif sangat murah. Jika demikian, penerapan harga commuter line pun perlu di pertimbangkan, mulai dari tarif yang sangat rendah hingga sekitar tujuh ribu rupiah misalnya. Sisi positif nya adalah, tiap warga negara bisa menikmati layanan transportasi yang nyaman dan aman. Tentunya tiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah, harus melalui survei dan juga keputusan partisipatif dari masyarakat Indonesia. Semoga.

Jakarta, 18 Mei 2012.




Rabu, 02 Mei 2012

Hakikat Sebuah ‘Kursi’

Goresan pena ini hadir saat aku tengah mengamati pergantian kesempatan untuk duduk di bangku transportasi publik ibukota, transJakarta busway. Perjalananku selama satu setengah jam menuju kantor di wilayah rawamangun dari bilangan Jakarta Selatan dengan transJakarta busway, selalu menghadirkan fenomena-fenomena menarik di benakku. Yaaa, bisa dibilang ada saja ide segar yang terfikir secara tidak sengaja, salah satunya adalah mengenai ‘kursi’. Hari itu, aku mengamati beberapa pergantian kesempatan untuk duduk yang ditawarkan oleh beberapa orang kepada orang lain. Kadang penawaran itu jatuh ke orang yang lebih tua, lansia, ibu hamil, serta orang tua yang membawa anak. Jelasnya, penawaran itu tidak datang kepadaku yang masih segar bugar ini, hehe.

Sesaat aku mengamati, sungguh indah pemandangan tersebut. sang empu-nya kursi mempersilahkan orang lain untuk duduk menggantikannya. Padahal, mungkin saja ia baru menikmati kesempatan duduk, setelah lama berdiri di deretan penumpang transJakarta busway. Namun dengan senang, ia rela memberikan kursinya bagi orang lain yang membutuhkan kursi itu. Bagi sebagian orang, fenomena ini mungkin tidak lah istimewa, bukankah mempersilahkan orang yang lebih tua untuk duduk adalah lumrah, terlebih dalam budaya Indonesia? Eits, jangan salah lho, banyak juga rakyat kita yang sudah kehilangan rasa kasihan dan simpati nya terhadap orang lain. Hilangnya rasa itu, bisa juga karena di picu oleh sikap pemerintah Indonesia yang tak kunjung mengasah dan mempertebal rasa simpatinya terhadap kondisi ekonomi, sosial dan politik warga negara nya. Akhirnya, penyakit ‘bebal’ pemerintah, tertular pada warganya.

Bagiku, fenomena mempersilahkan duduk penumpang transJakarta lain di atas kursi yang harusnya ia tempati, memiliki makna istimewa. Ibarat seorang pejabat yang memberikan kesempatan bagi orang lain untuk menempati ‘kursi’ kekuasaannya. Seperti pejabat yang tidak haus kekuasaan dan enggan melakukan re-generasi pada bidang yang ia kuasai. Nah, inilah makna peralihan kursi sesungguhnya. Nampaknya, profil penumpang di transJakarta busway yang rela berbagi kursi, meski tidak keseluruhan, lebih terhormat daripada mayoritas pejabat pemerintah Indonesia yang selalu haus kekuasaan. Bukan itu saja, bahkan selalu ingin menjabat lagi dan lagi pada tiap kesempatan Pemilu yang ada. Ternyata, beranjak bangun dari sebuah kursi itu memang sulit. Aku pernah merasakan berada pada posisi itu. Setelah berdiri sekian lama di dalam transJakarta busway, akhirnya aku memiliki kesempatan untuk duduk. Baru sekitar lima menit aku duduk, di pemberhentian berikutnya, masuklah seorang nenek tua yang sudah pasti membutuhkan kursi untuk duduk. Kebetulan kursi –ku lah yang paling dekat dengan posisi berdiri sang nenek. Jujur, ada rasa enggan untuk memberikan kursi yang baru lima menit ku duduki ini. Namun kita sebagai generasi bangsa yang mempunyai nilai sosial kemanusiaan dalam diri, adalah kewajiban kita untuk mempersilahkan orang tua duduk. Aku pun memutuskan untuk beranjak berdiri meninggalkan kursi itu.

Akhirnya aku merasakan bahwa ternyata kursi itu sungguh enak untuk ditempati. Apalagi ‘kursi’ kekuasaan para pejabat pemerintahan, yang bukan hanya menempati kursi secara nyata, tapi juga menikmati berbagai fasilitas mewah sebagai pejabat pemerintah. Wajar saja jika banyak orang berebut ‘kursi’ untuk menjadi anggota DPR/DPRD dan menteri (meskipun ditunjuk Presiden, namun mayoritas atas koalisi partai politik yang bergabung) juga jabatan strategis lainnya. Bahkan jika difikir secara nalar,sungguh pentingkah sebuah kursi sampai rela mengucurkan dana milyaran rupiah? Ternyata memang ‘kursi’ itu penting. Hal terpenting dari-nya adalah akses mereguk keuntungan dan tabungan kekayaan. Hal ini pula yang dikatakan oleh Lord Acton, bahwa ‘power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely’. Jika demikian, sungguh betapa hakikat ‘kursi’ yang membuat orang kian terlena itu besar dampaknya bagi masyarakat Indonesia. Kalaulah ‘kursi’ pejabat tersebut digunakan untuk hal baik, maka sungguh tatanan sistem pemerintah akan menjadi baik. Sebaliknya, jika ‘kursi’ kekuasaan itu kian dibanggakan, tidak rela untuk dilepas dengan alasan kekayaan, maka kekuasaan itu hanya menjadi alat yang memperalat diri sang pejabat untuk tidak mau bangun dari kursinya.

Bicara kekuasaan, memang sudah menjadi sifat dasar manusia, bahwa manusia senang untuk berkuasa. Sebagai makhluk ciptaan Allah yang diberikan keistimewaan dan kelebihan dari makhluk lainnya, jelas menunjukkan bahwa manusia itu mempunyai power dalam berbagai hal. Aku teringat pada bahasan mata kuliah pembangunan politik yang kupelajari bersama teman-teman di kampus. Salah satu kehadiran teori ketergantungan (dependensia) adalah mengenai perdebatan imperialisme dan kolonialisme. Bahwa menurut tiga kelompok teori tersebut, negeri Eropa melakukan ekspansi keluar dan menguasa bangsa lainnya, baik secara sosial, ekonomi dan politik, bisa dilihat atas tiga pandangan. Kelompok pertama menyatakan bahwa idealisme manusia dan keinginannya untuk menyebarkan ajara Tuhan, guna menciptakan kehidupan yang lebih baik. Kelompok kedua, menekankan kehausan manusia terhadap kekuasaan, untuk kebesaran pribadi ataupun masyarakat dan negaranya. Kelompok ketiga, menekankan pada keserakahan manusia, yang selalu mencari tambahan kekayaan, yang dikuasai oleh kepentingan ekonomi (Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, 2000).

Nah, paparan kelompok kedua dan ketiga menggiring kita untuk lebih memahami bahwa manusia itu memang mempunyai sifat haus kekuasaan, yang kemudian berujung pada keserakahan dan enggan lengser dari kursinya, untuk lebih lama dapat mengakses tambahan kekayaan. Nampaknya kita harus lebih sering belajar dari kehidupan sekitar dan merasakan hikmah yang hadir dari perenungan sederhana. Hakikat sebuah ‘kursi’, baik kursi secara umum yang kita duduki, maupun kursi kekuasaan yang diduduki segelintir orang, ternyata sama-sama memberikan rasa nyaman pada diri manusia. Akhirnya, tergantung sang empu-nya kursi, apakah rasa sosial dan bisikan malaikat yang mendominasi, sehingga sebuah ‘kursi’ bukan-lah tujuan utama dalam hidup. Atau sebaliknya, bisikan syaitan yang mendominasi, sehingga ‘kursi’ teramat berarti dan rela melakukan apa saja, asal ‘kursi’ nya tidak diambil orang?

Wallahu ‘alam bisshowaab..

Jakarta, 3 Mei 2012

Jumat, 13 April 2012

Antara dibutuhkan dan membutuhkan....

Perbincanganku dengan salah seorang kakak tingkat di perkuliahan dulu hari ini, membuatku merenung akan makna di butuhkan dan membutuhkan. Sebagai makhluk sosial, tentunya tak lepas dari konteks tersebut. Mana ada sih manusia yang tidak senang kala ia merasa dibutuhkan oleh banyak orang. Pernyataan sebaliknya pun berlaku, bahwa orang yang merasa senang dibutuhkan tersebut, juga membutuhkan seseorang atau bahkan banyak orang untuk ia bersenda gurau, bercerita dan juga bermanja. Akhirnya, dari makna kata dibutuhkan dan membutuhkan, perbincangan kita pun sampai pada titik pasangan hidup.

Sudah lumrah diketahui bahwa kata ‘butuh’ akan menjadi romantis ketika ditambah kata ‘saling’, sehingga menjadi ‘saling butuh/ saling membutuhkan’. Namun bukan itu saja yang akhirnya kami perbincangkan. Bagaimana pula jika ada pemisahan pada kata butuh? Bukan lagi saling butuh, namun di butuhkan dan membutuhkan. Dari paparan beliau diakhir pertemuanku dengannya, ia mengemukakan prinsipnya bahwa lebih enak menjadi orang yang dibutuhkan, daripada membutuhkan.

Namun menurutku, ketika kata di butuhkan menjadi rasa yang nyaman dan enak untuk dijalani, sehingga membuat orang tergantung dengan kita, bukankah diri kita akan merasa bahwa kita pun membutuhkan orang lain. Sehingga kata di butuhkan dan membutuhkan, tidak ada bedanya bagiku, sama-sama tidak dapat memberikan kesenangan nan utuh. Ada salah satu pepatah Arab yang mengatakan bahwa ‘khoirunnaasi anfa’uhum linnaas’, bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Pada konteks ini, bisa saja kita mengatakan bahwa ‘lho, bukannya ini berarti kita di butuhkan oleh orang lain?’. Iya memang, tapi apakah kita bisa berkontribusi dan menjadi sebaik-baik nya manusia, jika tidak ada manusia lain di sekitar kita? Tentu tidak. Akhirnya, kita pun membutuhkan manusia lain untuk kemudian bersama-sama mendapatkan manfaat kebaikan manusia.

Akhirnya, ‘kata saling membutuhkan’ rasanya lebih enak terdengar di telingaku dan batinku. Hingga aku berujar dalam hati, bahwa urusan asmara pun harus dilandasi oleh kata ‘saling membutuhkan’. Boleh saja kita merasa bahwa diri kita hebat. Namun harus diingat bahwa hidup tidak bisa lepas dari sebuah ketergantungan. Hampa rasanya jika hidup ini bukan di landasi oleh rasa saling membutuhkan. Ibarat bunga dan kumbang yang saling membutuhkan dalam pemenuhan hajatnya masing-masing, begitu juga-lah kita sebagai manusia. Sampai perenunganku berlanjut di malam ini dan juga sekaligus menjawab kegelisahanku, kata saling membutuhkan akan terus mempunyai makna tersendiri dalam angan masa depanku, dibanding pengutamaan kata dibutuhkan dan membutuhkan. Semoga kelak masa itu akan datang di waktu yang tepat menurut-Nya. Amin.

Jakarta, 14 Januari 2012 pukul 00.25 WIB.

Rabu, 28 Maret 2012

Tentang Rasa...

Tiba-tiba kata RASA menjadi perhatianku pagi ini. Bermula dari perjalananku hari ini menuju kantor, yang terletak di bilangan Pulo Asem, Jakarta Timur. Sebelum menggunakan sarana trans Jakarta busway, aku menelusuri jalan-jalan ‘tikus’ yang ada di daerah Jakarta Selatan, hingga sampai pada sebuah jalan raya. Ada sebuah sekolah Madrasah Ibtidaiyah yang selalu ramai tiap aku lewati. Ya, ternyata seluruh murid nya tengah menikmati jam istirahat mereka. Perhatianku pun tertuju pada seorang tukang es yang menjual aneka ragam minuman dengan porsi anak-anak tentunya. Saat aku melewatinya, ia tengah menuangkan salah satu merk minuman bersoda ke dalam plastik dan seketika berubah menjadi biru. Entahlah apa yang ia taruhkan sebelum minuman bersoda itu ia tuangkan. Yang jelas, aku melihat bahwa mendadak minuman di plastik itu berwarna biru. Disamping tukang es tersebut, jongkoklah seorang murid SD yang terlihat sedang menanti rampung nya racikan minuman tersebut dengan tidak sabar.

Bagi anak SD tersebut, tentu tidak penting apa yang dituangkan oleh tukang es bertopi tersebut. Hal yang penting bagi sang anak, hanyalah RASA es tersebut enak dan dingin serta menarik karena berwarna. Sudah bisa dipastikan, bahwa konsep RASA bagi anak kecil, banyak berkutat pada makanan dan minuman. Tidak heran banyak penjaja makanan dan minuman di sekolah-sekolah yang ‘memodifikasi’ bentuk jualannya menjadi warna warni atau bahkan berpengawet kadar tinggi dengan rasa yang penting enak dilidah. Konsep RASA menjadi sangat dilematis bagi mereka. Jika satu kali saja sang bocah mengatakan bahwa ‘ah, rasa makanan itu kan nggak enak, nggak menarik lagi, beli yang lain aja yuk’, maka sudah bisa dipastikan bahwa dagangan pedagang keliling tersebut tidak akan laku. Ya setidaknya jika ia kerap kali mangkal di satu sekolah yang sama. Namun sebaliknya, jika dagangan itu enak, murah dan berpenampilan menarik menurut anak-anak, maka sudah bisa dipastikan ia akan memanggil teman-temannya untuk membeli dan mencicipi makanan atau minuman tersebut.

Konsep RASA akan menjadi berbeda bagi kalangan remaja, yang tengah menikmati sejuta pengalaman mereka di umur yang belia dan mengasyikkan. Bagi banyak kalangan remaja, kata RASA kerap kali diidentikkan dengan curhat tentang cinta pertama, atau bahkan menemukan gebetan di lingkungan sekolah dan organisasi. Tak jarang musik tentang putih abu-abu didengungkan oleh beberapa penyanyi Indonesia. Sebut saja lagu Kisah Kasih di Sekolah yang dinyanyikan oleh Obbie Messakh, atau juga girl band masa kini yang menyanyikan lagu putih abu-abu sebagai hits andalannya. Jelas sekali bahwa konsep RASA bagi kalangan ini adalah tentang kasih, perhatian, cinta dan sejuta pengalaman lain di usia sebelum 17 tahun atau menginjak 17 tahun.

Selain kalangan anak-anak dan remaja, konsep RASA menjadi semakin berubah ke arah pematangan bahasa, ketika menyentuh kalangan dewasa. Kalangan ini sudah bisa melindungi dirinya dari konsep RASA mengenai makanan atau minuman, dan bahkan konsep RASA mengenai cinta. Bagi kebanyakan mereka, pendewasaan diri adalah dewasa juga dalam arti RASA yang sebenarnya. Karenanya, sering kita temukan bahwa kalangan dewasa sudah mulai berfikir akan pola hidup sehat dan juga ragam rencana masa depan yang matang. Meski demikian, sisi kekanak-kanakkan seseorang tentu tidak pernah berubah. Selalu saja ada RASA yang mendorong kita untuk sesekali bertingkah ‘aneh’ atau out of the box dari kebanyakan konsep hidup orang dewasa.

Tentang RASA mulai masuk pada masa masak, ibarat telor yang direbus, sudah masak jika sudah ada beberapa bagian kulit telurnya yang retak, adalah pada masa lepas dewasa. Seperti hal nya ketika sudah menjadi orang tua, atau bahkan manula. Ketika menjadi orang tua, maka RASA akan lebih bergeser pada konsep tentang kasih sayang sejati, penghidupan yang layak bagi keluarga, kebahagiaan seluruh anggota keluarga dan harmonisasi. Orang tua tidak akan rela membiarkan anak nya makan makanan yang tidak bersih dan higienis, karena takut sakit perut. Orang tua tidak akan rela melihat anaknya tidak dapat bersekolah dan mengakses fasilitas pendidikan yang layak, seperti mungkin pengalamannya ketika masa dulu. Orang tua akan mengusahakan apapun agar anaknya bisa mempunyai mainan yang bagus, seperti teman-teman nya yang lain. Bahkan, orang tua tak tega melihat anaknya hidup sengsara seperti yang dialaminya. Pasangan yang telah bercerai pun tak tega memperlihatkan kemarahan dan adu perbedaan mereka di depan anaknya, dengan alasan RASA sayang mereka pada buah hati. Itulah RASA kasih sayang sejati, yang bukan hanya diartikan sebagai kasih nya dua insan mencinta yang tengah mabuk asmara, namun lebih dari itu.

Akhirnya, tentang RASA membawaku pada sebuah perenungan, bahwa pada level apapun kita berdiri saat ini, entah anak kecil, remaja, dewasa atau bahkan sebagai orang tua, nikmatilah dengan sikap yang bijak. Bijak menempatkan RASA pada tatarannya masing-masing, tanpa menyalahgunakan RASA yang telah diberikan oleh Allah pada seluruh makhluk ciptaannya di dunia ini.

Wallahu a’lam bisshowab.
Jakarta, 28 Maret 2012

Minggu, 11 Maret 2012

Ego Diri, Kesenangan dan Sikap ‘Acuh’ Pemerintah

Jakarta pagi hari, layaknya kota-kota besar di berbagai penjuru dunia nan padat dengan arus mobilitas warganya. Beraktifitas di bilangan kota, membuatku kembali merasakan ritme moda transportasi yang cukup melelahkan, namun asyik untuk diperhatikan. Kenapa kembali? Ya, sebelumnya aktifitas pergi ke dan pulang dari arah kota telah menjadi bagian dari hidupku selama kurang lebih dua tahun belakangan, ketika memutuskan untuk meneruskan studi di bilangan Salemba. Beberapa bulan kosong dari aktifitas tersebut dan fokus dalam hal lain, membuatku perlu merasakan transisi atmosfer yang berbeda dalam menggunakan dan merasakan moda transportasi publik di ibukota ini. Banyak hal menarik untuk diceritakan selama dalam perjalanan. Perjalanan selalu menghadirkan ide segar, refleksi diri dan hikmah yang perlu diambil oleh tiap individu.
Pagi itu, seperti biasa, moda transportasi yang paling sering aku gunakan kini adalah transJakarta busway. Tak perlu di ragukan lagi mengenai jalur. Jika ingin melewati arah Mampang, kemudian Kuningan dan menuju kota melalui Dukuh Atas, tidak ada transportasi lain yang paling ‘memungkinkan’ cepat sampai, kecuali transJakarta. Yaa selain ojek tentunya ya. Meski demikian, waktu menunggu yang lama, serta potret berdesakan yang lumayan menjengkelkan, masih membuat banyak warga ibu kota yang enggan naik bus satu ini. Akhirnya, potret kemacetan ibu kota pun masih saja belum terselesaikan, meski banyak koridor telah di buka oleh pihak Pemda DKI Jakarta. Kejengkelan warga ibukota untuk menunggu kedatangan transJakarta sudah tiap hari kurasakan. Saking jengkelnya, akhirnya sikap diam sambil mengamati, adalah sikap yang ku pilih. Tulisanku kali ini adalah sedikit refleksi dari pengamatanku.

Hari itu, adalah pagi paling sibuk di ibukota. Ya, apalagi jika bukan Senin pagi? Meski baru melewati tiga halte, bus transJakarta sudah terisi penuh, hingga tak satu pun ruang bisa diisi oleh calon penumpang. Tiba di pemberhentian (halte) ke empat, setelah pintu bus terbuka, ada seorang perempuan yang memaksa masuk untuk bisa cepat sampai di kantornya. Terjadilah percakapan yang cukup seru antara dia dan petugas bus transJakarta. “Mba, udah nggak cukup, jangan dipaksa masuk”, ujarnya. Perempuan itu menjawab “Saya nggak mau tahu mas, saya mau masuk. Saya udah nunggu dari tadi ni”. Sang petugas pun berujar, “Nggak bisa mba, nanti kalau mba masuk, saya mau berdiri di mana?”, kilahnya. Tidak mau kalah dan tetap berpendirian keras untuk masuk, sang perempuan kembali berkata, “Ya saya nggak mau tahu mas. Mas kan bisa di mana kek, di depan sana atau di mana. Saya sudah nunggu dari tadi ni mas, lama banget”. Sang petugas pun diam karena kesal. “Ya sudah, silahkan mba masuk, tapi jangan salahkan saya, karena mba ingin masuk, maka bus nya nggak bisa jalan”, ucap sang petugas. Akhirnya, perempuan muda itu diam seraya menggumam dan menunjukkan sikap kesal nya. Aku yakin, penumpang di transJakarta pun akan menanggapi kejadian tersebut dengan pendapat yang berbeda-beda. Ada yang kesal melihat tingkah laku sang perempuan, karena telah memperlama laju perjalanan. Ada juga yang prihatin karena alasan dia yang telah menunggu lama untuk kedatangan bus, pernah di rasakan pula oleh banyak penumpang. Aku pribadi, sejujurnya memahami kondisi perempuan tersebut. Bagaimana rasanya ketika kita dikejar waktu untuk bisa sampai di kantor tepat waktu dan dengan menaiki transportasi yang nyaman tiap harinya. Wah, tentunya itu dambaan tiap warga Indonesia bukan? Termasuk juga perempuan muda tadi. Bisa jadi karena saking kesalnya tiap hari ia harus menunggu kedatangan transJakarta yang lama, kemudian bus datang satu per satu dengan kondisi padat penumpang, sehingga ia tidak bisa masuk, titik kekesalan ia pun sampai pada puncaknya.

Tidak heran, jika kemudian kita banyak melihat ‘penunjukkan’ ego diri di sekitar kita hadir. Ucapan perempuan muda di atas, yang tidak mempedulikan akan diletakkan di mana sang petugas transJakarta itu, secara tidak sadar, memperlihatkan kemunculan ego manusia, yang ingin kebutuhan dirinya sendiri terpenuhi, tanpa peduli dengan yang lain. Namun, ego seorang warga juga hadir karena sebab akibat, refleksi kekesalannya. Bayangkan jika tiap hari ia harus di sajikan dengan kondisi serupa, padahal ia telah taat mematuhi anjuran pemerintah untuk naik transportasi publik guna mengurai dan mengurangi kemacetan. Maka, wahai pemerintah, jangan salahkan warga jika jumlah motor yang ada di jalan-jalan Jakarta, ibarat lalat yang mengerumuni makanan. Tentu warga sudah jenuh dan kesal dengan kondisi kemacetan yang ada di ibukota. Naik transJakarta, harus menunggu lama dan selalu penuh di jam-jam sibuk. Naik taksi, sudah barang tentu mahal karena terjebak macet. Naik Kopaja atau Metro Mini, padat dan belum lagi hawa sesak yang hadir. Naik motor, hanya akan semakin memenuhi kota yang sudah penuh dengan polusi kendaraan ini. Pada akhirnya, keberadaan transJakarta busway sebetulnya adalah harapan (walau belum masuk pada tahap solusi) bagi warga ibukota untuk bisa merasakan transportasi yang bebas macet, ber AC dan terjangkau harganya. Sayangnya, pemerintah belum melihat itu sebagai upaya peningkatan rasa nyaman warga dalam menggunakan transportasi publik.

Perempuan muda yang bisa kukatakan sedang mengeluarkan ego diri nya itu, tengah merefleksikan bagaimana sebetulnya ia kesal dengan kondisi transportasi publik di Jakarta, yang belum bisa memberikan janji kenyamanan dan ketepatan waktu. Akhirnya, sudah pasti banyak kita jumpai orang-orang yang mudah tersulut emosi nya di Jakarta, karena ‘makanan’ tiap hari yang disediakan oleh Pemda, belum merefleksikan keberpihakan pada warga nya. Kemacetan dan rasa amarah yang gampang hadir ini mengingatkanku pada obrolan dengan dua teman baikku, yang kujumpai secara terpisah. Satu teman baikku yang berasal dari California, Amerika Serikat mengungkapkan rasa senangnya bisa merasakan hidup dan bekerja di Jakarta. Tugas kantornya yang memungkinkan dia untuk berkeliling daerah di Indonesia, membuatnya dapat menggambarkan argumen pribadinya padaku, antara tinggal di Jakarta dan luar Jakarta. Dalam aksen bahasa Indonesianya yang masih terbata-bata, ia mengatakan bahwa orang-orang di Jakarta memang mengasyikkan. Namun, orang-orang di daerah-daerah yang saya kunjungi lebih mengasyikkan, karena keramahan mereka. Berbeda dengan warga ibukota, ia berpendapat bahwa kadang warga ibukota itu tidak ramah, mementingkan diri sendiri dan hidup masing-masing. Yah, bisa dikatakan bahwa teman baikku ini menganggap bahwa warga ibukota itu selfish. Memang benar adanya. Psikologis warga negara ibukota jelas berbeda dengan warga di daerah. Bisa jadi ke-aku-an warga ibu kota itu, terjadi karena ‘bentukan’ sikap acuh pemerintah. Akumulasi kekesalan warga terefleksi dengan kekecewaan-kekecewaan mereka, seperti salah satunya masalah kemacetan yang di ceritakan juga oleh teman baikku lainnya, yang berasal dari Bangkok, Thailand.

Dengan sedikit senyum dan nada kecewa, ia ungkapkan bahwa kondisi kemacetan di Jakarta terasa lebih parah, dibanding dengan beberapa bulan lalu ketika ia mengunjungi Jakarta untuk menjadi pembicara di salah satu konferensi muslim internasional. Meski demikian, ia mengatakan bahwa Indonesia selalu membuatnya kangen, bahkan anak lelaki nya pun tak lelah untuk mengingatkan bapaknya, yang juga teman baikku ini, untuk membelikannya Indomie goreng rasa rendang di Jakarta. Tak tanggung-tanggung, sang bapak membelikannya dua kardus Indomie sekaligus untuknya. Yaaa, Indonesia, khususnya Jakarta, memang banyak menyimpan cerita dan kenangan. Meski capek menghadapi kemacetan yang tak kunjung terselesaikan di Jakarta, ada saja rasa kangen pada kota ini ketika pergi ke tempat yang berbeda.

Sikap kecewa warga akan rasa nyaman yang diberikan Pemda, nampaknya menggiring warga ibukota untuk mencari kesenangan ‘ala’ mereka pribadi. Persis seperti kejadian kemarin sore yang kualami di bilangan Kalibata, tepatnya di sekitar Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sore itu, setelah menyapa dan mengajar anak-anak nan lucu serta bersemangat di bilangan Rawajati-Ciliwung Kalibata, Jakarta Selatan, aku menaiki angkutan umum yang langsung menuju arah rumahku. Di perjalanan, kondisi sore akhir pekan sudah tentu menghadirkan kemacetan. Nah, di sela kemacetan itu aku mengamati sekian keluarga yang jumlahnya mencapai 10-15 keluarga, tengah memarkir motor mereka masing-masing di parkiran luar TMP Kalibata. Satu keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak mereka (ada yang masih berusia 2-3 tahun, bahkan ada juga yang sudah memasuki SD). Awalnya aku bertanya, mau apa mereka parkir di sekitar TMP ya? akhirnya, setelah kuamati, ternyata mereka membawa keluarga kecilnya ke sana untuk melihat rusa yang ada di lingkungan TMP Kalibata. Rusa-rusa itu nampak menggemaskan memang, layaknya rusa yang ada di DPR dan kebun raya Bogor. Tidak hanya melihat rusa, namun banyak nya pedagang yang berjualan di sekitar TMP pada akhir pekan (keramaiannya ibarat kebun binatang), memungkinkan para keluarga kecil itu untuk hanya sekedar bersenda gurau sambil melihat rusa, atau juga memang sebagai sarana hiburan akhir pekan. Ya, di banding pergi ke mall, tentu melihat rusa dengan keluarga lebih asyik. Sudah tidak keluar kocek mahal untuk makan yang biasanya kena pajak restoran, gratis pula melihat rusa-nya.

Tidak hanya pengunjung yang makan, namun rusa pun diberi makan oleh pengunjung, terutama anak-anak mereka yang sedang dalam masa emas dan tertarik segala sesuatu, termasuk memberi makan rusa. Akhirnya, warga sekitar yang entah dari mana asalnya, mengggunakan kesempatan itu untuk menjual wortel guna pakan sang rusa. Sejujurnya aku baru melihat rusa makan wortel. Aku pun tidak tahu, apakah sebenarnya wortel itu sehat bagi rusa-rusa itu? Yang penting bagi pengunjung adalah, toh rusa-nya senang di kasih makan wortel, dan di lahap juga olehnya. Lama kuamati dan kuberfikir, pencarian kesenangan ini tentu inisiatif mereka pribadi, di tengah maraknya pembangunan mall di Jakarta yang kian mengikis lahan kosong di DKI Jakarta. Pemerintah toh bukannya malah membangun kebun binatang lagi. Padahal, kebun binatang di Ragunan, Jakarta Selatan itu sudah penuh dan ibarat lautan manusia jika akhir pekan. Tentu pembuatan satu kebun binatang lagi akan sangat bermanfaat. Ke mana lagi warga ibukota mencari kesenagan? pergi ke taman, kita bisa lihat bagaimana bentuk Taman Menteng yang katanya menelan harga miliaran itu. Sungguh tidak bisa menyalurkan dan memberikan kesenangan bagi warga. Yang ada, taman itu hanya bagus untuk dilihat (meski menurutku tidak), daripada untuk dinikmati. Jika demikian, salahkah warga ibukota jika mereka akhirnya mencari kesenangan ‘ala’ mereka? Di satu sisi, aku mengkhawatirkan kondisi rusa-rusa itu yang diberi makan apapun dari pengunjung. Di satu sisi, warga ibu kota pun butuh fasilitas penyegaran dan hiburan alami, setelah lima hari berkutat dalam aktifitas kantor masing-masing yang memusingkan.

Semoga saja rasa ego diri dan pencarian kesenangan ‘ala’ pribadi ini bisa menggugah hati pejabat/ Pemda untuk kemudian LEBIH memikirkan kondisi warga nya, dibanding terus memberikan izin untuk pembangunan mall atau square-square lainnya, seperti yang ada di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan.

12 Maret 2012
Ana Sabhana Azmy

Kamis, 16 Februari 2012

Wajah Damai Para Penerus Bangsa

Dua hari belakangan ini aku memperhatikan dua buah kejadian yang menghampiri diriku. Kejadian pertama bisa dibilang sebagai hal yang mengecewakan. Bagaimana tidak? Keputusanku siang menjelang sore hari itu untuk naik bus trans Jakarta busway guna mengejar waktu tiba di kantor, pupus sudah. Meski jam kantor ku sangat fleksibel karena ditugasi deadline tulisan yang tak mewajibkanku berada di kantor seharian, namun sore itu aku mempunyai janji dengan salah seorang buruh migran perempuan. Sang buruh migran ingin menyampaikan sejumlah cerita hidupnya ketika menjadi PRT migran di China. Suara gaduh dan panik para penumpang trans Jakarta, membuyarkan lamunanku akan konsep cerita yang akan dipaparkan oleh PRT migran asli NTB tersebut. Jeritan para penumpang yang disebabkan oleh suara letupan gas di bagian pintu belakang trans Jakarta, membuatku ikut panik dan memutuskan untuk langsung loncat dari pintu bus yang telah terbuka.

Asap pun memenuhi ruangan dalam bus. Meski tidak terjadi kebakaran seperti yang dikhawatirkan oleh banyak pihak, namun tetap saja seluruh penumpang memutuskan untuk loncat. Kebayang kan, bagaimana jadinya untuk sebagian perempuan yang mungkin kala itu memakai sepatu hak tinggi atau selop, hadeuh..

Loncatan untuk sampai pada dasar tanah berpijak lumayan tinggi, terutama untuk seorang ibu-ibu yang aku prediksi berumur 50 tahun-nan itu. Ya, setelah sebagian dari kami di tolong untuk naik ke halte trans Jakarta, ada seorang ibu-ibu tua yang mengeluh kesakitan kakinya, setelah loncat dari badan dalam bus. Di samping ibu tua itu, nampak temannya dan seorang anak muda berseragam putih abu-abu. Dengan cekatan, sang pemuda yang sepertinya duduk di bangku kelas dua SMA itu, menanyakan kondisi kaki sang ibu serta menenangkan kepanikan sang ibu. Aku sendiri berdiri di hadapan mereka bertiga dan masih dengan kondisi kaki yang keram setelah meloncat karena panik.

Aku tidak habis fikir, mengapa pihak Pemda DKI Jakarta tidak pernah belajar dari kesalahan-kesalahan lalu mengenai keselamatan para penumpang trans Jakarta busway. Masih ingat kejadian terbakarnya bus trans Jakarta di bilangan Blok M? Kepanikan dan bayangan itulah yang bisa jadi menggelayuti segenap penumpang trans Jakarta busway hari itu. Semestinya, baik supir maupun petugas busway bisa menenangkan suasana di dalam bus. Lebih wajib lagi untuk pihak trans Jakarta mematuhi aturan yang mereka buat sendiri, yaitu memastikan bahwa bus layak jalan sebelum mengangkut penumpang. Terlebih, konsisten dengan asuransi yang telah mereka tulis di tiap karcis yang ada, bahwa ‘harga tiket trans Jakarta sudah termasuk asuransi Jasa Raharja’. Apa sang ibu mendapat asuransi karena kelalaian petugas yang tidak bisa melindungi penumpang bus? Lepas dari itu, perhatianku tertuju pada sang pemuda, anak SMA yang sama sekali beda dari mayoritas kebiasaan teman sebayanya. Banyak di kalangan anak SMA yang sudah tidak peduli lagi dengan keadaan sekitar. Tidak hanya anak SMA, namun seluruh generasi muda bangsa ini.

Setelah sang ibu meraung tanda kesakitan yang amat, kaki nya pun tidak bisa digerakkan. Bahkan untuk berjalan dan menapakkan kaki pun ia tidak bisa. Akhirnya sang pemuda tersebut menuntun sang ibu, berbarengan dengan satu teman dari ibu itu. Subhanallah, aku terharu akan kebaikan hati anak SMA itu. Jarang sekali aku melihat potret generasi muda seperti itu, terlebih di kota kosmopolitan seperti Jakarta. Sepintas aku lihat bahwa sang ibu sudah tidak kuasa lagi menahan rasa sakitnya dan memutuskan untuk tidak melanjutkan usaha nya berjalan. Pemuda tadi pun masih setia menunggui sang ibu seraya mengajaknya berbicara. Rasa bangga pun menyelimuti diri ini, melihat generasi muda bangsa yang mempunyai kepedulian dengan sesama.

Kejadian kedua yang kualami adalah di sore hari ini. Merupakan kebiasaanku untuk naik bemo sepulang dari perpustakaan Freedom Insitute di depan kawasan Tugu Proklamasi. Bagiku, banyak hal bisa kuamati ketika naik bemo. Susunan duduk yang berhadapan dan langsung melihat ke luar, semakin menjadikan perjalanan ini menyenangkan. Bayangkan, kita bisa mengamati kemacetan Jakarta di sore hari, lengkap dengan potret asap polusi kendaraan yang membuat hidung gatal juga menahan nafas. Hehe.

Kejadian yang kemudian juga menyedot perhatianku adalah, bahwa sang supir bemo merupakan pemuda berumur 19 tahun (setelah kutanyakan umurnya, seraya mengajak ngobrol). Dengan semangat 45, ia mengemudikan bemo itu, yang bisa saja kepunyaan bapak nya atau keluarganya. Parahnya lagi, di tengah suasana asyik menikmati Jakarta di sore hari menjelang maghrib, ternyata bemo yang kami tumpangi pun mogok. Setelah cukup lama sang pemuda mencoba men-starter mesin bemo nya dan tidak ada hasil, maka kami, seluruh penumpang nya memutuskan untuk turun dan menunggu bemo lainnya. Sebagian dari kami memutuskan untuk membayar ongkos naik pada sang pemuda, meski tujuan akhir belum di capai. Awalnya ia menolak bayaran dari kami, mungkin karena ia merasa bahwa tugasnya untuk mengantarkan penumpang sampai tujuan akhir nya masing-masing, belum tercapai. Namun, setelah dipaksa oleh penumpang, akhirnya ia pun mengambil uang yang kami sodorkan.

Ia membutuhkan waktu beberapa menit untuk memperbaiki mesin bemo nya sendirian. Akhirnya, mungkin kami (beberapa penumpangnya) masih berjodoh dengan bemo itu. Sang pemuda berhasil membetulkan bemo nya dan memanggil kami kembali untuk naik. Subhanallah... meski umurnya sudah mencapai 19 tahun, namun tetap saja, bagiku ia sudah berjuang untuk ikut memenuhi kebutuhan keluarganya. Tidak itu saja, ia bertanggung jawab pada penumpangnya dengan mengajak para penumpang kembali naik setelah mesin bemo nya menyala. Jarang lho ada supir bemo anak muda dan mempunyai sikap seperti itu, ya kan?

alih-alih penumpang diperbolehkan tidak membayar ongkos bemo karena mesin mogok, beberapa supir lain sore yang pernah kutemui malah meminta agar seluruh penumpang membayar ongkos bemo yang dinaiki.

Dua kejadian yang kualami itu, membawaku pada sebuah perenungan, alangkah indahnya jika generasi muda bangsa mempunyai sikap, semangat dan prilaku yang baik seperti dua pemuda yang ku temui. Meski arus globalisasi menjadikan tiada batas antara arus informasi, gempuran akan budaya barat dan berbagai gaya hidup keduniawian lainnya yang melanda generasi muda, namun karakter bangsa haruslah tetap di pertahankan. Semoga wajah damai itu tetap terjaga untuk seluruh generasi penerus bangsa.

Jakarta, 16 Februari 2012.

Minggu, 12 Februari 2012

PARTNER hidupmu adalah Cinta Sejatimu..

Rasanya tangan ini tidak sabar untuk menuliskan kejadian yang kualami dan kudengar sore ini. Minggu siang adalah hari yang paling indah bagiku. Bukan karena bertemu dengan sang pujaan hati seperti kebanyakan anak muda masa kini, namun tiap hari itulah aku bersama beberapa temanku mengikuti kursus politik. Setelah belajar selama beberapa jam, waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB. Beberapa temanku langsung berpamitan pada tutor kami yang sangat aktif di sebuah gerakan. Wajahnya yang ayu, semangat nya untuk terjun langsung menangani sejumlah problematika perempuan Indonesia serta tulisan-tulisannya yang tajam mengkritik kondisi bangsa ini, adalah atmosfer yang sangat kami sukai. Melalui pendekatan historisitas lah dia menunjukkan serangkaian sejarah awal mula gerakan perempuan dan perjuangan feminisme dalam kacamata politik dan perspektif lainnya.

Setelah beberapa teman berpamitan, tinggallah aku dan satu orang temanku yang ditugasi sebagai koordinator kursus politik ini. Temanku pun masih harus menindaklanjuti sejumlah referensi yang akan digunakan untuk kursus minggu depan, seraya memintaku untuk menunggunya. Sambil menunggu, aku memutuskan untuk shalat Ashar terlebih dahulu. Selesai shalat, aku berkaca dan melihat sejumlah koleksi foto-foto kenangan ia dan almarhum suaminya yang terpajang di atas sebuah meja nan tinggi. Dengan sedikit ragu karena takut membuka kesedihan masa lalu setelah ditinggalkan suaminya, aku pun memberanikan diri untuk menanyakan pengalamannya melalui sebuah fase kehidupan dengan sang suami. Keingintahuanku bukan tanpa alasan. Saat ia memberikan satu buku sebagai salah satu referensi kami, ia menekankan untuk menjaga buku tersebut dengan baik. Usut punya usut, ternyata dalam buku itu, terdapat beberapa artikel, yang diantaranya adalah tulisannya dan tulisan sang suami. Ragu yang sempat sedikit singgah dihatiku untuk bertanya, berubah menjadi tenang. Tanpa ku duga, wajahnya seakan sumringah dan riang ketika ku tanya mengenai almarhum suaminya yang meninggal di tahun 2006. Hal itu nampak jelas dari ekspresi wajah yang ia tunjukkan pada kami berdua.

Aku pun memutuskan untuk membuka pertanyaan ku dengan sebuah kalimat ‘mba, almarhum suamimu seorang aktifis ya?’. Ia pun menjawab ‘ia lebih dari sekedar seorang aktifis’. Sebuah jawaban yang sangat singkat dan sarat dengan unsur perasaan sayang terdalam. Tanpa ku keluarkan pertanyaan kedua, ia pun menceritakan kehidupan yang ia jalani selama kurang lebih 11 tahun dengan sang suami dengan sangat lancar. Jarak umur yang terbilang cukup jauh, ternyata tidak menjadi penghalang bagi sebuah keseimbangan dalam kehidupan rumah tangga. Ia sangat mengagumi sang suami yang merupakan aktifis di zaman orde baru, mantan tahanan politik, mempunyai pengalaman menjadi jurnalis di salah satu media nasional, pernah menjadi anggota DPR termuda dengan usia 26 tahun. Diantara semuanya, satu hal yang sangat ia banggakan akan figur suaminya, bahwa sang suami menganggap sang istri sebagai partner hidup, bukan seorang istri yang letaknya subordinatif di bawah suami, yang bisa disuruh dan di siksa serta di maki kapanpun, persis seperti banyaknya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terjadi di Indonesia.

Sikap sang suami yang sangat memahami semangat nya dalam memperjuangkan perempuan Indonesia dan kaum buruh, menjadi amunisi baginya dalam menjalani hidup. Ia berkata bahwa ia seakan tidak peduli dengan hidup mereka yang sederhana dan tidak bermewah-mewahan. Baginya, sebuah karunia Allah karena telah mempertemukannya dengan sang suami yang asli Jawa Timur itu, sudah lebih dari cukup. Bahkan, suami memberi dukungan penuh ketika sang istri menjadi ketua sebuah LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan dan perlindungan perempuan. Status sebagai aktifis dan mantan tahanan politik yang mempunyai konsep berfikir yang sangat baik dan dahsyat, membuat tutorku ini menyebutnya sebagai sang ensiklopedia. Hari-hari mereka berdua, dilalui dengan aktif menulis, bercengkerama tentang suatu hal yang serius dan bahkan tidak serius. Meski mempunyai lokus perjuangan yang berbeda, tutorku mengatakan bahwa mereka berdua sangat gemar menulis, bahkan mempunyai tempat masing-masing di rumah nya untuk menulis sejumlah tulisan kritis dan membangun.

Berdasarkan cerita sang istri, perlakuan lembutnya pada perempuan tunjukkan nya dengan menyalahkan beberapa teman sang suami yang mengatakan bahwa kepintaran isteri adalah bentukan dan tempaan dari suami. Dengan semangat 45, sang suami memaparkan pada teman-temannya bahwa si istri memang sudah sangat pintar dan mempunyai wawasan nan luas, jauh sebelum mereka berdua berkenalan. Anggapan sejumlah temannya bahwa perempuan tidak bisa apa-apa tanpa ‘bentukan’ sang suami, dipatahkan oleh sang suami sendiri, tanpa disuruh oleh tutorku ini. Bahkan, sang suami mendukung isterinya untuk terbiasa berdiskusi kritis dengan teman-teman seperjuangannya, yang kerap di sebut dengan panggilan generasi lama. Jangan salah lho ya, kita harus mengakui bahwa generasi lama Indonesia (baik yang hidup ketika orde lama, orde baru dan hingga reformasi baru bergulir di tahun 98) adalah generasi yang sangat berkualitas. Bersikap kritis dan pandai berdiskusi dengan baik serta menguasai konsep teori dengan utuh dan mendalam. Tidak bisa kita samakan dengan generasi baru saat ini, di era reformasi, yang kebanyakan tidak mempunyai kepedulian terhadap sesama dan kegemaran untuk berdiskusi. Mungkin kita pun dapat bertanya pada diri sendiri, termasuk tipe generasi yang manakah kita ini?

Cerita berlanjut pada bulan-bulan terakhir ia hidup dengan suaminya. Tutorku ini bercerita bahwa segala sesuatunya seakan sudah di atur oleh Tuhan menjelang kematiannya. Tiga bulan pertama, sang suami sedikit kesusahan untuk berbicara pada siapapun, termasuk sang istri. Meski keadaan hidup sangat sederhana, sang isteri tidak merasa kesusahan sedikitpun dan juga tidak merasa terbebani dengan keadaan suami yang sudah mengkhawatirkan. Namun, si isteri mengakui bahwa saat-saat itu adalah saat yang berat dalam hidupnya. Rasa keheningan pun ia alami. Hari yang biasa diisi dengan obrolan ringan, diskusi dan kebersamaan, seakan meredup baginya. Hingga dua minggu sebelum kematian sang suami, isteri menceritakan bahwa sikap suami sangatlah perhatian dan benar-benar menunjukkan kasih sayangnya. Suatu hari, ia menyatakan rasa cintanya pada sang isteri dengan bahasanya sendiri, bahwa isterinya lah satu-satunya perempuan yang ia cintai selama hidupnya.

Aku pun terus mendengarkan dengan seksama pada bagian-bagian tersulit dan ‘teraneh’ menurut tutorku ini. Ketika aku menengok temanku yang duduk di sampingku, air matanya mengalir tanpa terasa dan sedikit malu ketika kita menangkap basah dirinya tengah meneteskan air mata. Tibalah hari itu, hari di mana sang suami pergi meninggalkan isteri tercintanya untuk selama-lamanya. Hingga akhir hidup sang suami, si isteri tidak pernah merasa sedih karena segala kondisi kehidupan rumah tangga yang ia alami adalah memanusiakannya dan membahagiakannya. Sang suami benar-benar menganggapnya sebagai partner dan bukan pengasuh atau orang yang harus berada pada titik subordinasi kebanyakan laki-laki atas perempuan. sang tutor menceritakan bahwa almarhum suaminya meninggal di pangkuannya dan dimakamkan dengan cara sangat mengharukan, yaitu di kelilingi orang tersayang, teman-teman tahanan politik dan teman-teman organisasi yang pernah di pimpinnya. Lagu kebangsaan Indonesia Raya pun dinyanyikan oleh seluruh hadirin yang datang dan melepas kepergiannya ke liang kubur. Sampai akhir ceritanya, perempuan nan sangat menguasai sejumlah konsep teori ini tidak meneteskan air mata sedikitpun. Ia menganggap bahwa kebersamaannya yang terhitung singkat dengan suami, seluruhnya adalah kebahagiaan. Tiada hari tanpa kebahagiaan.

Menjelang pamitnya kami berdua, aku pun teringat pada angan dan cita serta doaku pada Allah sejak dulu, bahwa semoga kelak aku dipertemukan dengan PARTNER hidupku yang kemudian adalah cinta sejatiku di dunia dan akhirat. Amin..

12 Februari 2012.

Sabtu, 11 Februari 2012

Allah selalu memberi apa yang kita butuh, bukan yang kita inginkan..

Harus kita akui bahwa sebagai manusia, kita dianugerahi keinginan yang luar biasa banyak. Ingin menjadi sempurna, ingin sukses di usia muda, ingin bisa menjadi nomor satu diantara teman-teman lain, ingin mendapatkan kehidupan yang mapan dan bahkan ingin mempunyai suami atau istri sesuai dambaan kita. Tanpa kita sadari, ragam keinginan tersebut semakin menenggelamkan kita di tengah asyiknya sebuah harap dan usaha, tanpa melibatkan Allah, sang Maha Pencipta kehidupan. Akhirnya, kita cenderung menjadi manusia yang tidak pandai bersyukur karena tolak ukur kita adalah pencapaian sebuah keinginan duniawi. Padahal Allah pun berfirman dalam surat Ibrahim ayat 7 yang berbunyi: “Wa izd taazdzdzana rabbukum, lain syakartum laaziidannakum walain kafartum inna ‘azdaabii lasyadiid”. Artinya : Dan (Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan “Sungguh jika kamu bersyukurl, niscaya Aku aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti adzab-Ku sangat berat.”

Baru-baru ini seorang teman bercerita padaku bahwa dulu ia sangat menginginkan untuk segera mempunyai anak setelah menikah. Berbagai cara ia tempuh, hingga mengecek kesehatannya dan suaminya ke luar negeri. Waktu yang ia tunggu untuk segera menimang momongan pun tak kunjung tiba. Setahun dua tahun ia terus menunggu. Hingga suatu hari, ia tersadar bahwa dirinya semakin tenggelam dalam sebuah keinginan, tanpa menyertakan Allah dalam kehidupannya. Ia pun tersadar. Semenjak itu, ia selalu meminta keridhaan Allah untuk memberikan dirinya dan suaminya keputusan yang terbaik terkait momongan. Subhanallah, Maha Pemurah dan Pengasih nya Allah. Temanku pun menuturkan bahwa dalam tempo kurang dari enam bulan, ia menerima sebuah kabar gembira dari Allah. Dirinya dan suaminya dipercaya untuk menjadi sepasang orang tua. Subhanallah Alhamdulillah, ternyata Allah memang benar-benar memberikan apa yang kita butuhkan, bukan kita inginkan. Waktu dua tahun lebih yang diberikan Allah bagi temanku dan suaminya, bisa jadi adalah waktu untuk muhasabah diri beserta mempersiapkan kesiapan mental guna menjadi seorang ayah dan ibu.

Cerita lain datang dari salah seorang teman akrabku yang akan mencapai umur 29 tahun di 2012 ini. Pengalamannya dalam hidup, menjadikanku berfikir bahwa manusia memang sering terbawa emosi dan nafsu. Temanku yang mempunyai perawakan tinggi ini bercerita bahwa di umur nya yang mencapai 25 tahun ketika itu, ia sudah gelisah memikirkan sang pendamping hidup yang tak kunjung tiba. Memang, kala itu ia keluarganya tengah dirundung masalah. Ibunya sakit dan ayahnya pun sudah menua. Baginya, umur 25 tahun adalah umur yang pas untuk menikah. Pengkhianatan sejumlah lelaki yang datang, membuat ia berfikir bahwa ada ketidakadilan yang diberikan Allah padanya. Ia bertanya, ‘mengapa teman-temanku yang tak lebih pintar dan sukses dariku sudah menikah dan menemukan pasangannya. Sedangkan aku belum. Apakah aku memang tak layak untuk disenangi?’. Itulah pertanyaannya ketika itu. Setelah segala fikiran ketidakadilan yang ia alami dalam hidup berkecamuk di dirinya selama berbulan-bulan, akhirnya ia pun tersadar bahwa kala itu, ibunya lebih membutukan kehadirannya di sisinya, dibanding melihat sang anak cepat-cepat bersanding di kursi pelaminan.

Ia teringat bahwa ridho Allah terletak di dalam keridhoan orang tua dan marahnya Allah ada dalam kemarahan orang tua. Allah tentu lebih mengetahui waktu yang tepat untuk mempertemukan seseorang dengan pasangan sejati, dunia akhirat. Tak lama setelah sang ibu sembuh, Allah mempertemukan temanku dengan lelaki soleh yang sangat sayang pada orang tuanya dan dirinya di umurnya yang ke 27 tahun. Kini, ia merasa sangat bahagia dengan kehadiran sang suami dan anak nya yang sudah berumur satu tahun. Subhanallah... Allah lebih mengetahui apa yang kita butuhkan, dibanding apa yang kita inginkan. Nyatanya, masih saja kita egois, merasa bahwa keinginan kita lah yang lebih benar untuk kebahagiaan diri kita. MasyaAllah...

Pengalamanku akan sebuah keinginan, adalah di saat aku mencoba beberapa kali untuk bisa menembus beberapa beasiswa prestisius ke luar negeri di tahun 2008. Saat itu aku yang masih terkungkung dengan idealismeku berfikir bahwa aku harus meneruskan studi magisterku di luar negeri, tidak boleh tidak, apapun yang terjadi! MasyaAllah... saat aku tersadar, betapa egoisnya diriku. Mengira bahwa idealismeku adalah segalanya, bahkan kebahagiaanku dalam hidup. Ternyata, di tahun 2009 akhir, Allah mempunyai rencana lain. Setelah setahun lebih aku bekerja, Allah memberikanku kesempatan untuk mengenyam bangku kuliah kembali, melalui sentuhan tangan sayang orang tua ku. Alhamdulillah, di tahun 2011 aku selesai merampungkan studiku. Allah pun kembali memberikan karunianya yang Subhanallah luar biasa di tahun 2012 ini. Ya, IA memberikanku sebuah amanat untuk bisa mengamalkan ilmu yang ku dapat dengan mengajar di sejumlah kampus yang ada di Jakarta.

Ya Allah... rasanya tiada lagi kata yang bisa terucap, selain rasa syukurku. Beberapa waktu belakangan, ketika aku melamunkan masa lalu, aku sadari bahwa segala pilihan kita dalam hidup, adalah atas petunjuk dan keridhoanNya. Jika saja saat itu aku lolos mendapatkan beasiswa ke luar negeri, aku tidak bisa melakukan salah satu baktiku pada kedua orang tuaku, yang ternyata lebih menginginkanku untuk ada di Indonesia dan menjaga kedua adikku yang masih butuh perhatian. Jadwal penelitian dan mengajar yang cukup padat yang dialami oleh kedua orang tuaku, membuat keduanya mempercayaiku sebagai figur anak sulung, untuk memperhatikan kebutuhan kedua adikku.

Mungkin banyak diantara kita yang telah merasakan bahwa Allah memang lebih mengetahui apa yang kita butuhkan. Sehingga apapun yang tengah Allah berikan dalam indahnya perjalanan hidup kita, bukan karena itu adalah hal yang sangat kita inginkan, melainkan kita butuhkan. Bagaimana dengan pengalamanmu?

Jakarta, 11 Februari 2012.

Minggu, 05 Februari 2012

Benarkah Pemerintah Indonesia Sayang pada Rakyatnya?

Judul di atas tidak bermaksud untuk menghakimi atau bahkan menuduh sang penguasa daerah atau pusat yang tengah mabuk kepayang, menikmati manisnya kekuasaan. Jika kekuasaan sebuah pemerintah tidak boleh terpusat, harus terbagi-bagi seperti yang dipaparkan oleh Montesque, maka Indonesia pun mempunyai tiga kekuasaan dalam sistem pemerintahnnya. Kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tiap lembaga kekuasaan tersebut tentu mempunyai tugas dan fungsi masing-masing. Namun, kali ini kita akan bertanya lebih jauh, bahwa apakah kemudian tugas, tanggung jawab dan amanah yang diberikan oleh segenap rakyat Indonesia, telah mereka jalankan dengan baik?
Beberapa kejadian dalam keseharianku, bahkan mungkin kita semua, menjadikan banyak pertanyaan hadir dan berkecamuk dalam fikiranku. Akhirnya, semua pertanyaan itu bermuara pada satu titik pertanyaan inti. Apakah benar pemerintah Indonesia itu sayang pada rakyat yang dipimpin nya? Rakyat yang telah memilih nya sebagai penanggung jawab pemerintahan setempat. Salah satu hal yang sering membuatku bertanya adalah ketika melihat potret transportasi di Indonesia, khususnya Jakarta sebagai ibukota.

Hari itu, untuk kesekian kalinya setelah rehat sejenak dari aktifitas menunggu Trans Jakarta busway di halte busway selama kuliah di bilangan Salemba, aku pun kembali menekuni aktifitas itu. Yups, aktifitas apa lagi jika bukan MENUNGGU bus Trans Jakarta yang tidak kunjung datang. Bukan hanya 10 atau 15 menit, namun rasa kesabaranku untuk menunggu Trans Jakarta busway rupanya tengah diuji selama satu jam empat puluh menit. Bayangkan! Dalam kondisi antrian yang semakin menumpuk, armada Trans Jakarta busway pun sangat minim. Kondisi kedatangan Trans Jakarta busway yang lama, membuat beberapa orang calon penumpang yang telah membayar tiket masuk, memutuskan untuk keluar dari barisan dan memilih untuk naik angkutan umum lainnya. Satu orang di sampingku yang mempunyai perawakan sangat tinggi, bahkan sampai menelfon rekannya untuk membatalkan janji bertemu yang telah mereka sepakati sebelumnya. Bukankah ini potret nyata dan miris atas terlanggarnya hak-hak warga negara untuk mendapatkan layanan publik yang nyaman dan menguntungkan mereka? Baik dari segi manajemen waktu dan harga tiket yang bisa dijangkau oleh semua kalangan.

Tiap orang yang mengantri, nampak menampilkan wajah BT nya dan lelah nya. Bagaimana tidak? Bukankah niat mereka untuk naik Trans Jakarta busway adalah untuk mendapatkan kenyamanan setelah jam pulang kerja? Atau bahkan bisa merasakan lancarnya jalur Trans Jakarta, sehingga bisa sampai di rumah dengan tepat waktu? Nyatanya, satu jam empat puluh menit yang kami gunakan untuk menunggu kedatangan sang bus, tidak dapat memenuhi segala bentuk harapan yang ada pada sebuah transportasi publik bernama Trans Jakarta busway. Meski mungkin manajemen Trans Jakarta mempunyai alasan tersendiri, mengapa penumpang nya harus menunggu selama satu jam lebih, namun bukanlah labelling transportasi publik yang melekat pada sebuah Trans Jakarta busway, menjadikannya harus siap sedia memenuhi kebutuhan rakyat? Semangat inilah yang tidak dipunyai oleh pemerintah Indonesia, termasuk Pemda DKI Jakarta.

Jika kita melihat kondisi per-kereta api-an ekonomi di Jakarta , yang dibandrol dengan harga murah, yaitu hanya Rp.2000,- , dan di padati oleh potret kerumunan massa di atas kereta api, maka sebuah pertanyaan muncul. Sudahkah pemerintah Indonesia memikirkan solusi dari perilaku masyarakat tersebut?
Sebuah berita di salah satu media massa yang memberitakan bahwa PT KAI (Kereta Api Indonesia) berencana untuk menghilangkan kereta ekonomi, nampaknya bukan langkah yang tepat pula. Sebagai pemerintah, bukankah mudah untuk mengajukan saran dalam rencana kebijakan PT KAI ke depan? Nampaknya, penghilangan kereta ekonomi hanya akan menimbulkan masalah baru. Bukankah lapisan masyarakat Indonesia yang mayoritas berada pada level menengah ke bawah, menjadikan kereta ekonomi sebagai satu-satunya alat transportasi yang cepat dan murah. Bayangkan! Dengan hanya membayar RP.2000,- anda bisa melakukan perjalanan dari Jakarta-Bogor atau sebaliknya serta tujuan-tujuan lainnya. Bukanlah lebih baik jika malah armada kereta ekonomi diperbanyak atau opsi kedua adalah menggalakkan commuter line, namun dengan harga yang lebih terjangkau bagi siapapun. Misal, jika saat ini commuter line dibandrol dengan harga Rp.6.000- Rp.7.000,- , harus ada pengurangan nominal harga tiket, seperti halnya menjadi Rp.4.000,-. Bukankah kebijakan ini mencerminkan kepedulian pemerintah terhadap kondisi masyarakatnya? Jangan sampai kita mengatakan ‘ahhh... pemerintah dan penguasa mah nggak pernah merasakan susah. Tiap hari disediakan mobil dengan segala fasilitas mewah lainnya’, karena memang kenyataan yang ada adalah seperti itu.

Jika kualitas pelayanan dan manajemen Trans Jakarta busway serta kereta api sebagai roda penting dari sebuah aktifitas adalah jelek, lantas kepada siapa lagi rakyat berharap, jika bukan pada pemerintah? Nyatanya, pemerintah malah menunjukkan sikap arogansi dan ketidak sayangan nya dengan tidak pernah melibatkan masyarakat itu sendiri. Segala kebijakan yang keluar di Negara ini, mayorits adalah bukan atas hasil kesepakatan ataupun implementasi dari partisipasi politik warga. Namun, hanya menjadi sebuah penerapan aturan yang HARUS dipatuhi oleh semua warga Negara Indonesia. Nah, jika sudah begini, masihkah kita bisa mengatakan bahwa pemerintah Indonesia itu sayang pada rakyatnya? Mungkin terlalu dini untuk mengasumsikan ketidaksayangan pemerintah Indonesia pada rakyat Indonesia. Tapi juga perlu kita ingat, bahwa potret atas kondisi kualitas transportasi kita yang masih jauh tertinggal dari Negeri Jiran Malaysia ataupun Singapura dan Hongkong adalah benar adanya. Jika Malaysia, Singapura dan Hongkong sudah mempunyai Mass Rapid Transportation (MRT) dengan manajemen waktu yang mutlak datang per dua menit atau lebih (tapi tidak sampai berjam-jam lho ya), bagaimana dengan Indonesia?

Mengapa mayoritas anggota DPR sebagai bagian dari lembaga kekuasaan legislatif, malah lebih sibuk membicarakan anggaran untuk fasilitas mereka saja? Apakah kesejahteraan rakyat tidak lebih penting bagi para ‘wakil rakyat’ ini? atau bahkan budaya malu sudah hilang dari bumi Indonesia? Sehingga para pemerintah yang memimpin di bumi Indonesia ini, dengan wajah tanpa dosa, melakukan studi banding yang tidak penting. Atau kerjasama pemerintah daerah dengan pengusaha yang akan menanamkan investasi nya di daerah. Atau juga kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia yang secara terang-terangan lebih memperhatikan infrastruktur di beberapa titik yang dilalui oleh pengusaha. Tidak lain tidak bukan hanya dengan satu niat, yaitu ‘MEMUDAHKAN’ bisnis sang pengusaha, dibanding menengok kondisi pasar-pasar tradisional yang selalu diidentikkan dengan tempat yang bau dan becek.

Jika memang pemerintah Indonesia sayang pada rakyat Indonesia, buktikanlah bahwa mulai detik ini bahwa kepentingan rakyat ada di atas kepentingan lainnya, terutama kepentingan pribadi. Wahai pemimpin, berkacalah dari kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab yang tidak bisa tidur jika ada rakyat nya yang masih kelaparan. Seorang pemimpin yang mau terjun ke lapangan untuk melihat kondisi rakyatnya. Masihkah ada tipe pemimpin seperti Umar bin Khattab di bumi Indonesia ini? Aku fikir aku termasuk orang yang masih mempunyai rasa optimisme. Masih ada pemimpin yang benar-benar bekerja atas dasar melaksanakan amanah dari rakyat. Namun, berapa banyak pemimpin yang bersikap seperti itu??

Akhirnya kita harus menyadari bahwa kekuasaan yang mutlak memang cenderung untuk berprilaku korup. Seperti kata-kata yang sudah sangat sering kita dengar, yang di sadur dari pernyataan Lord Acton; “Powers tend to corrupt and absolut power corrupt absolutely”. Wewenang lembaga legislatif yang demikian kuat, layaknya kekuatan kekuasaan eksekutif dan kemudian yudikatif yang ada di Indonesia, membuat sang pemerintah tidak mau beranjak dari posisi nyaman nya, yaitu KEKUASAAN. Sang rakyat pun harus menanggung prilaku ‘KAGET’ sang pemerintah atas kekuasaan yang di dapat. Parahnya lagi, prilaku KAGET tersebut, membuat kita sebagai rakyat Indonesia makin menyadari dan bertanya ‘Bener nggak sih pemerintah Indonesia ini sayang sama rakyatnya?’. Coba kita jawab dan renungkan dalam-dalam.

5 Februari 2012.

Minggu, 29 Januari 2012

Sebuah Kehidupan

Kehidupan tidak pernah berdiri secara tunggal. Ia terdiri dari sebuah tahapan peristiwa yang akan menjadikan pribadimu lekat dengan berbagai label. Pribadi yang sukses, gagal, ceria, bersemangat, muram, dan sebagainya. Banyak diantara kita yang mungkin dalam sebuah perenungan di kala malam, bertanya-tanya, apa tujuan hidup yang hendak aku capai? Dan banyak juga pribadi yang kemudian hanya bisa menggelengkan kepala serta berfikir lama, ketika pertanyaan semacam itu tertuju pada diri kita.
Sejatinya, tujuan hidup hanya bisa direncanakan dan dibuat oleh diri sendiri, seraya meminta persetujuan dan ridho dari Allah SWT.

Lantas, sebuah pertanyaan hadir. Ketika kita telah merencanakan sebuah kehidupan yang kita inginkan, namun terjadi dengan kondisi yang tidak kita inginkan. Apa berarti rencana kehidupan tersebut tidak di ridhoi Allah? Atau perencanaan kita yang tidak benar?
Selalu ada jawaban dari kegelisahan-kegelisahan kita selama ini. Jika memang kehidupan yang kita jalani belum sesuai dengan apa yang kita impikan, tanyakanlah pada diri kita beberapa hal. Apakah perencanaan hidup yang kau buat lahir dari diri sendiri, atau karena sebuah keterpaksaan lingkungan sosial dan keluarga? Apakah kau menikmati perencanaan hidup yang kau buat? Apakah perencanaan hidupmu lahir dari kesukaanmu terhadap sesuatu, yang kelak akan mendatangkan kebahagiaan? Apakah kau menyertakan Allah dalam perencanaan kehidupanmu?

Jika kita telah menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas, mungkin hidup yang kita jalani adalah hidup yang damai. Hidup yang membawa kita pada sebuah kualitas diri yang baik dan mendatangkan kemampuan/kebisaan dan kemudian menghasilkan nilai bahagia non ekonomi dan ekonomi. Aku teringat salah satu paparan Pak Mario Teguh di salah satu stasiun televisi swasta tentang alat tukar uang. Inti dari ajakan beliau adalah, marilah kita sadar akan alat tukar uang yang ada di diri kita. Jadikan KEMAMPUAN/ KEBISAAN YANG KITA SENANGI sebagai tumpuan diri untuk sukses dan kemudian menjadi alat tukar uang guna membahagiakan kehidupan diri dan sesama. Nah, dari sini aku pun mulai berfikir, bukankah banyak diantara kita yang bekerja hanya berorientasi pada hasil (yaitu uang-nya), tidak peduli apapun pekerjaan yang akan digeluti, dan tidak menjadikan pekerjaan yang kita mampu/senangi sebagai alat tukar uang?

Hidup adalah Perjuangan. Rintangan, hambatan, peremehan dan cacian dari orang lain yang mungkin sedang kita alami saat ini, adalah sarana pendewasaan diri dan kesuksesan. Meski hidup kadang sulit untuk dipahami, meski hidup kadang membawa kita kepada keadaan yang tidak kita rencanakan, meski hidup kadang meminta kita untuk bersabar menemukan pelabuhan terakhir, namun tetaplah kita berada di jalan yang di ridhoi Allah SWT. Tetaplah kita menjadi manusia dengan golongan sebaik-baik manusia, yaitu yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Khoirunnaas anfa’uhum linnaas. Yakinlah bahwa kesulitan yang kau hadapi tidak akan lama. Perjuanganmu untuk menggapai kehidupan yang lebih baik bagi dirimu, keluargamu dan sesama, akan menemui jalan terang. Prinsipmu untuk mendahulukan cara-cara yang baik, akan menemui kesuksesannya kelak, sebagai bukti ridho Ilahi Rabbi. Amin.

Jakarta, 30 Januari 2012.


Senin, 23 Januari 2012

Belajar Jujur

Sore itu, aku memutuskan untuk belanja di sebuah supermarket di bilangan Pejaten. Hari libur Imlek yang jatuh di bulan Januari 2012 menghadirkan suasana yang sangat ramai dan cozy di supermarket tersebut. Rasa nyaman itu membuatku semakin betah untuk mengelilingi tiap sudut stand yang ada. Tak heran jika banyak pengunjung yang makin banyak berdatangan dan menghabiskan waktu nya untuk berlama-lama berbelanja di supermarket hingga membeli apapun yang sebetulnya tidak ada di daftar belanjaan mereka. Yaah, begitulah strategi sang supermarket untuk menjaring lebih banyak lagi pembeli dan menyingkirkan saingan nya, yaitu pasar tradisional. Ibuku sering berkata bahwa belanja di supermarket itu memang mengasyikkan hingga lupa waktu dan lupa diri. Berdasarkan pengakuannya, ada sensasi tersendiri ketika mengambil beberapa barang, baik makanan hingga belanjaan bulanan untuk kemudian meletakkannya di kereta dorong khas supermarket. Namun begitu tiba di kasir untuk kemudian dihitung harga total belanjaan, baru kesadaran untuk mengurangi beberapa belanjaan hadir. Terlebih ketika sang kasir menunjukkan total harga belanjaan yang harus dibayar, yang melebihi rencana awal ketika di rumah. Waaah,, sensasi nikmat yang beberapa jam lalu sebelum sampai di kasir, hilang seketika dan berganti menjadi sebuah kebingungan serta penyesalan, hehe.

Well, lagi-lagi, itulah strategi sebuah supermarket untuk menjaring konsumen nya. Belum lagi tawaran -tawaran kartu kredit yang semakin membuat konsumen terlena untuk berbelanja lebih dan lebih lagi dengan cukup menggesek si kartu. Hal ini tentu nya membutuhkan keberpihakan pemerintah setempat untuk lebih memperhatikan keberlangsungan pasar tradisional, yang sebetulnya jauh lebih mempunyai harga yang terjangkau dan miring untuk bisa dibeli oleh semua level masyarakat. Namun, kondisi yang becek dan kotor yang banyak ditemui di sejumlah pasar tradisional, menjadikan mayoritas masyarakat setempat di Indonesia lebih memilih untuk pergi ke supermarket atau hypermarket. Kali ini aku tidak akan membahas lebih jauh tentang keberadaan sang supermarket atau pasar tradisional, karena ada satu hal di senja hari itu yang membuatku tertarik untuk menuliskannya lebih lanjut.

Setelah selesai mengambil beberapa barang dan makanan yang ku butuhkan, aku pun meluncur ke salah satu garis antrian yang sangat ramai karena bertepatan dengan hari libur Nasional. Beberapa konsumen terlihat memenuhi kereta dorong nya dengan belanjaan yang super banyak hingga tidak ada ruang kosong lagi di kereta belanjaannya. Ada juga yang hanya membeli beberapa kebutuhan penting saja seperti aku.
Sejurus kemudian, sambil mengantri, perhatian ku tersedot ke suara dialog antara ibu dan anak yang tepat berada di samping line antrianku. Sang anak tengah jongkok dan memperhatikan sebuah permen yang terlihat seperti kapas dengan kemasan warna warni. Nampaknya sang ibu tidak ingin si buah hati mengambil dan kemudian menaruh permen itu di keranjang belanjaan. Entah kehabisan akal atau bagaimana, sang ibu kemudian mengatakan pada anak nya bahwa bungkusan itu bukan permen, melainkan kapas. 'Jangan diambil ya, itu kapas bukan makanan!', begitulah ujar sang ibu. Si anak kekeuh dan balik berujar 'Ini permen kok mah, bukan kapas!'. Terlihat tidak senang dengan tindakan anaknya yang penasaran dengen permen tersebut, ibu tersebut pun berujar kembali,' Itu kapas, bukan permen, coba deh kalau nggak percaya, tanya tuh sama abang yang jaga di situ', seraya meminta persetujuan dari penjaga kasir yang tengah merapihkan barang dan berada dekat dengan tempat anak kecil itu jongkok. Ternyata, sang anak juga sudah mengambil mainan robot-robotan dan pesawat terbang sebelumnya, yang terlihat lumayan mahal harga nya. Sang ibu pun lanjut mengancam anak untuk meletakkan kembali mainan nya, jika sang anak tetap ingin permen kapas yang dikatakan sebagai kapas oleh ibunya itu.

Akhirnya, sang anak merengek kepada ibu nya untuk tidak meletakkan kembali mainannya seraya menyerah dengan tidak jadi mengambil permen kapas itu. Kejadian ini membuatku berfikir. Berapa banyak ibu yang melakukan hal yang sama untuk mencegah anaknya membeli barang-barang atau makanan yang tidak baik bagi sang anak. Mungkin niat sang ibu benar, tapi cara yang digunakan kurang tepat.
Bukankah pengenalan untuk mengatakan sesuatu dengan jujur dan apa adanya, sesuai fakta, harus lah di mulai sejak dini? lantas, jika sang ibu tidak mengiyakan keyakinan anak yang benar, bahwa barang itu adalah permen kapas dan bukan kapas (barang), akan jadi apa sang anak ke depan?
Nampaknya akan lebih elok dan terdengar indah jika sang ibu mengucapkan kata-kata bijak yang membuat anak berfikir untuk akhirnya tidak mengambil permen kapas itu. Sebagai contoh, ibu bisa mengajak sang anak berdialog, 'Nak, iya bener itu permen kapas. Tapi, tadi kan sudah beli mainan pesawat dan robot-robotan yang bagus. Nah, beli permen kapas nya nanti lagi ya..?'. Bukankah jawaban itu lebih baik ketimbang mengatakan 'bukan' untuk sesuatu yang benar dari jawaban dan daya fikir anak?

Satu hal juga yang ku petik dari pelajaran sore hari itu. Bahwa menjadi seorang ibu memang tidak mudah. Ibu harus terus berfikir untuk merangsang daya fikir anak. Ibu harus mencari kata-kata yang baik untuk kemudian terekam dengan baik pula di benak sang anak. Serta masih banyak hal lainnya yang tentunya merupakan tugas berat dari seorang ibu. Subhanallah... tiba-tiba aku teringat pada ibuku yang hingga detik ini terus membimbingku untuk selalu berbicara jujur, apapun situasi yang terjadi. Dan aku yakini bahwa kejujuranku itu adalah kejujuran yang dimulai lebih dulu oleh ibuku kala mendidikku di masa kecil. Terimakasih ibu..
Terimakasih Allah.. untuk mengirimkan seorang ibu yang super hebat dalam hidupku.

23 Januari 2012.

Jumat, 20 Januari 2012

Sinetron ‘Lebay’

Tema tulisan kali ini tidak bermaksud untuk menggeneralisasikan semua judul dan jenis sinetron. Mungkin, ada ‘sebagian’ sinetron yang bermanfaat, meski terdengar sangaaaat jarang atau juga mustahil terjadi saat ini. Terdapat salah satu media massa televisi swasta, diantara televisi lainnya, yang menjadwalkan penayangan sinetron mulai dari sebelum waktu adzan maghrib berkumandang, hingga sekitar pukul 22.00 WIB. Waw, kebayang nggak sih durasi nan panjang bagai ular itu, harus di isi dengan tayangan sinetron? Parahnya lagi, banyak dari kita yang akhirnya terlena juga melihat tiga judul sinetron yang ditayangkan dengan alasan tidak ada acara yang lebih menarik dibanding sinetron, hehe.

Hari itu, sambil menunggu adzan maghrib, aku pun menyalakan televisi. Sampailah di salah satu tayangan sinetron yang mengkisahkan perjuangan percintaan dua insani antara orang yang bernama Dewa (perempuan) dan Sakti (laki-lak)i. Dengan alasan serupa di atas, bahwa tidak ada lagi tayangan yang menarik kala itu, aku pun melihat beberapa adegan yang ditayangan dalam sinetron tersebut. Episode kali itu bercerita tentang ketidakikhlasan sang perempuan yang melihat kekasih nya di penjara. Sang perempuan pun berfikir bagaimana caranya agar sang kekasih dapat keluar dari penjara. Ide untuk membawa kabur sang pujaan hati pun muncul. Singkat cerita, kaburlah sang kekasih hati dengan mengendarakan sepeda motor. Sebelum berpamitan, sang kekasih mengucapkan ‘Apapun yang terjadi nanti, aku ingin kamu tahu, bahwa aku menyayangimu’, waw kalau kata sebagian remaja kita ni, ‘so sweeet... ‘, hehehe. Nah, entah di ridhoi oleh Allah atau nggak ya kaburnya sang lelaki pujaan Dewa ini, ditengah perjalanan, ia mengalami kecelakaan yang menyebabkannya koma. Di sinilah ‘ke-lebay-an’ itu bermula.

‘Lebay’, ‘Alay’ atau apapun itu namanya, nampak nya sudah menjadi suatu bahasa gaul yang dipopulerkan pertama kali entah oleh siapa. Tiba-tiba aku pun mendengar bahasa itu terlontar dari beberapa teman adikku yang bertandang ke rumah. Lebay mungkin dapat diartikan ‘berlebihan’, ya berlebihan dalam segala hal, seperti berlebihan dalam bertingkah, bergaul, berinteraksi dengan orang atau juga salah satunya ya tampilan adegan sinetron tentang dua insani di atas. Bahkan, menurutku, kejadian setelah koma-nya sang lelaki pujaan, cenderung mengesampingkan nilai-nilai religius yang ada.

Setelah keadaan koma mendera kekasih hati, sang perempuan pun terus menangis dan menunggui-nya di rumah sakit. Entah dari mana sebuah ide tercetus, dalam keadaan koma, roh sang lelaki bangun dan pisah dari jasadnya. Ketika bangun, ia melihat kekasih hati menangis dan terus memanggilnya sambil mengingatkan untuk tidak menangis karena ia ada di samping nya. Namun, tentu saja sang perempuan tidak dapat mendengarnya karena toh itu adalah roh yang terpisah dari jasad. Akhirnya, dengan akting yang terbilang cukup menjanjikan, sang lelaki terus bertanya dan selalu berulang, ‘sebenarnya ada apa ini, mengapa semua orang tidak bisa melihatku?’. Weleh-weleh mas, ya coba deh di cari jawabannya sendiri ya kenapa dirimu ndak bisa dilihat orang sekitar??
Tidak cukup di situ, ketika sang perempuan ditangkap polisi dengan tuduhan membawa kabur tahanan penjara, maka sang kekasih yang roh nya terpisah dari jasadnya mencoba menolong kekasihnya, meski tentu saja tidak bisa. Kejadian berlanjut hingga ikut-nya sang roh ke peradilan kekasih perempuan sambil terus mengucapkan ‘Meski kamu tidak bisa melihatku, kamu tahu kan aku nggak pernah meninggalkanmu. Aku selalu ada di sampingmu’, waw, mungkin episode kali ini berniat membawa pemirsa dalam kesedihan yang mendalam hingga menangis berember-ember.

Kejadian selanjutnya, sang roh laki-laki ini putus asa memikirkan bagaimana caranya agar tiap orang, terutama kekasihnya dapat melihatnya kembali. Dalam keadaan putus asa, hadirlah seorang perempuan yang berperan sebagai ‘madam’ dan mempunyai ‘keistimewaan’ untuk melihat hal ghaib. Otomatis sang roh pun terlihat olehnya. Roh laki-laki digambarkan senang bukan main ketika tahu ada orang yang bisa melihatnya. Akhirnya ia pun meminta bantuan dan saran padanya bagaimana agar ia bisa kembali ke jasadnya. Hmm, kebayang nggak sih ada cerita seperti itu dalam kondisi nyata? Belum lagi ketika sang madam menyarankan roh lelaki ini untuk membantu orang yang akan meninggal dulu sebagai bentuk kebaikannya dan kelak ia bisa kembali ke jasadnya. Nah, akhirnya ia menemukan orang yang juga korban kecelakaan, di mana ternyata orang itu adalah teman kekasih nya. Korban tersebut dinyatakan oleh dokter tidak bisa tertolong lagi. Akhirnya sang roh terus menyemangati korban yang ‘nampaknya’ akan segera meninggal (begitulah kondisi korban dilukiskan) dan mengingatkan bahwa ia harus bertahan hidup demi sang kekasih korban yang tengah menangis tersedu-sedu di sampingnya. Nah lho, bertahan hidup bukan demi kehidupan orang tua, anak atau istri ke depannya gitu ya, tapi demi kekasih. Bukan itu saja, semangat yang ditampilkan oleh tayangan sinetron dalam episode kala itu bukanlah semangat pemasrahan diri kepada Allah, tapi lebih pada menjalankan saran sang madam, yang tidak lain agar diri sang roh dapat kembali dilihat oleh kekasih hatinya. Ya ampuuun,, lebay banget nggak sih, hahahahaha.

Ya, itulah sekilas tentang pengalamanku melihat sebuah kualitas tayangan sinetron di senja hari itu. Ironisnya, potret sinetron yang seperti itu, yang jalan ceritanya hanya berkutat di masalah percintaan, perkelahian, bentrok pembagian harta waris dan sebagainya sudah masssif terpotret di hampir seluruh sinteron yang ditayangkan. Apakah banyak sinetron yang menampilkan perjuangan seorang anak kecil untuk membantu kebutuhan keluarganya dan juga membiayai dirinya agar bisa bersekolah dengan ia menjadi loper koran misalnya? Atau seorang mahasiswa rantau yang harus memutar otak untuk membiayai kebutuhan hidupnya dan kuliahnya karena ingin mencoba belajar mandiri dan tidak merepotkan kedua orang tuanya? Nampaknya jarang sekali kita temukan ya. Tentunya kita rindu akan potret sinetron seperti ‘Keluarga Cemara’ yang menampilkan potret perjuangan sang ayah dan ibu yang harus menghidupi beberapa anaknya agar bisa terus sekolah.

Sebuah media massa bernama televisi mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan masyarakat. Bagi anak kecil, apapun tayangan yang ditampilkan oleh televisi, akan dengan mudah di cerna, baik perkataan maupun adegan yang ada. Bagi kalangan remaja, apa yang ditayangkan oleh televisi, termasuk sinetron ibarat ‘kiblat’ nya dalam bersikap. Karena itu, tidak aneh jika kemudian kita lihat banyak remaja berdandan, bertingkah laku dan berkata persis seperti apa yang ditayangkan oleh sinetron atau program lainnya. Bagi orang dewasa yang berniat untuk menghilangkan penat setelah kerja, sinetron adalah hiburan yang cukup menghibur. Nah, apa jadinya jika tayangan sinetron tersebut ternyata hanya menghibur tanpa bisa mendidik juga mencerdaskan pemirsa nya? Mau jadi apa kelak generasi-generasi muda kita ke depan? Pembentukan akhlak dan mental spiritual terkait hubungan ke Sang Maha Pencipta, seharusnya bisa juga disosialisasikan oleh sebuah tayangan sinetron. Jika kita, masyarakat Indonesia masih terkungkung dalam tayangan ‘lebay’, maka bagaimana kehidupan masyarakat kita ke depan sebagai bagian dari Negara sebesar Indonesia?

Perlu sinergi pemerintah pusat, daerah (untuk tv lokal) dan juga para pebisnis media untuk bisa menyepakati tayangan-tayangan yang tidak menghilangkan kesan hiburan, tapi juga bisa mencerdaskan dan tidak ‘alay’, ‘lebay’, bahkan cenderung ke ‘pembodohan’. Bisa dimaklumi ketika pebisnis media saling bersaing dan memperhitungkan rating. Namun, tentu ada tanggung jawab moril yang harusnya juga dikedepankan. Jika tanggung jawab moril pun hilang dan hanya berorientasi meraup keuntungan, apa kata dunia??

Jakarta, 21 Januari 2012.










Rabu, 18 Januari 2012

Rasa Ujub

Kata Ujub bisa diartikan sebagai rasa membanggakan diri sendiri. Salah satu situs yang saya baca belakangan ini mengenai pengertian dan ulasan mengenai Ujub sangatlah menarik, yaitu umum.kompasiana.com. Mengutip bahasan atau ulasan yang ada di situ, Ujub berasal dari bahasa Arab, di mana selain sikap membanggakan sendiri, Ujub juga berarti merasa heran terhadap diri sendiri sebab adanya satu hal dan hal lain. Mungkin sebagian kita pernah melihat sikap orang yang sedang Ujub. Atau, bisa saja kita pun pernah bersikap Ujub, Na’udzubillah min dzaalik. Tulisan ini tidak bermaksud menyinggung siapapun yang membaca-nya, hanya sekedar berbagi tentang kejadian hari ini yang sempat membuat saya tersenyum sendiri.

Alhamdulillah hari ini saya berkesempatan menghadiri sebuah workshop tentang akses pengembangan kesehatan masyarakat, terutama bagi perempuan di DKI Jakarta. Ketika tiba di tempat pada pukul 09.00 WIB, ruangan masih terlihat kosong, hanya ada 6 orang siswa/i Aliyah. Padahal, sang panitia menginformasikan bahwa acara akan dimulai pukul 09.00 WIB. Workshop ini mengundang beberapa kalangan dari berbagai kelompok, yaitu kelompok ibu-ibu pengajian, kelompok sebuah Ormas, kelompok Ormas pemuda dan juga anak-anak sekolah, yang belakangan berbaju putih abu-abu dan putih biru. Selang 30 menit kemudian, beberapa anggota dari beberapa kalangan kelompok pun hadir.

Nah, kejadian lucu dan menggelikan itu terjadi ketika salah seorang dari kelompok pengajian ibu-ibu datang dan menyalami siswa/i satu persatu. Ibu tersebut mulai menyalami ke enam anak yang sudah hadir lebih dulu, yaitu sebelum pukul 09.00 WIB. Ketika bersalaman, sang ibu pun menyodorkan punggung telapak tangannya untuk dicium oleh beberapa siswa/i yang ada. Setelah terlewati tiga siswi, beralih-lah ia ke siswi ke empat. Nah, siswi ke empat ini sudah melihat sikap sang ibu tadi pada teman-teman nya dan nampaknya ia kurang suka. Akhirnya, ketika sang ibu menyodorkan punggung telapak tangannya, sang siswi tidak mencium nya, hanya menyalami nya. Sambil sang ibu berlalu, siswi itu pun ‘ngedumel’ dan menunjukkan ekspresi ketidaksukaannya pada tingkah laku salah satu ibu di kelompok pengajian itu. Suasana workshop yang santai, yaitu lesehan di sebuah gedung Yayasan, membuatku leluasa untuk melihat sekitar. Bisa jadi, sikap sang ibu yang ‘minta’ untuk dihormati oleh para anak-anak dengan menyodorkan tangannya adalah kejadian yang sering kita temui. Padahal, rasa hormat tidaklah hadir dari sebuah keterpaksaan. Rasa itu hadir dari sebuah kepedulian dan tenggang rasa juga sikap bersahabat dengan sesama, termasuk juga dengan generasi muda bangsa. Aku pun tersenyum melihat tingkah sang siswi yang menampakkan ketidaksukaannya dengan jelas. Setelah workshop berakhir, aku mendatangi ke enam siswa/i tersebut. Ternyata, ketika aku dekati dan menanyakan lebih lanjut aktifitas mereka, sikap kekawanan mereka pun hadir. Mereka bisa dengan leluasa membicarakan keadaan Pondok mereka dan lokasi pastinya, guna menawarkanku datang ke sebuah Pondok yang berada dekat dengan Pasar Klender. Selain itu, ketika kuajukan pertanyaan tentang pelajaran bahasa Inggris, salah satu dari mereka pun menjawab bahwa ia ingin sekali bisa berbahasa Inggris, namun ada saja kendalanya.

Lepas dari obrolanku dengan para siswi, aku mengambil sebuah pelajaran hari ini, bahwa rasa hormat dari seseorang atas seseorang bukanlah hadir dari perbedaan umur, pendidikan, status sosial ataupun jenis kelamin. Lebih dari itu, rasa hormat hadir kala kita bisa mendengarkan seseorang, siapapun itu, dengan tulus. Rasa hormat hadir ketika diri kita bisa menghargai orang lain, apapun profesi dan latar belakang hidupnya. Rasa hormat hadir ketika kita bisa berbagi, entah ilmu, pengalaman atau juga materi yang berlebih. Semoga saja kita selalu belajar dari kesalahan dan terhindar dari rasa Ujub yang sangat halus dibisikkan oleh musuh utama manusia, yaitu Syaitan. Amin.

Jakarta, Januari 2012.