Minggu, 05 Februari 2012

Benarkah Pemerintah Indonesia Sayang pada Rakyatnya?

Judul di atas tidak bermaksud untuk menghakimi atau bahkan menuduh sang penguasa daerah atau pusat yang tengah mabuk kepayang, menikmati manisnya kekuasaan. Jika kekuasaan sebuah pemerintah tidak boleh terpusat, harus terbagi-bagi seperti yang dipaparkan oleh Montesque, maka Indonesia pun mempunyai tiga kekuasaan dalam sistem pemerintahnnya. Kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tiap lembaga kekuasaan tersebut tentu mempunyai tugas dan fungsi masing-masing. Namun, kali ini kita akan bertanya lebih jauh, bahwa apakah kemudian tugas, tanggung jawab dan amanah yang diberikan oleh segenap rakyat Indonesia, telah mereka jalankan dengan baik?
Beberapa kejadian dalam keseharianku, bahkan mungkin kita semua, menjadikan banyak pertanyaan hadir dan berkecamuk dalam fikiranku. Akhirnya, semua pertanyaan itu bermuara pada satu titik pertanyaan inti. Apakah benar pemerintah Indonesia itu sayang pada rakyat yang dipimpin nya? Rakyat yang telah memilih nya sebagai penanggung jawab pemerintahan setempat. Salah satu hal yang sering membuatku bertanya adalah ketika melihat potret transportasi di Indonesia, khususnya Jakarta sebagai ibukota.

Hari itu, untuk kesekian kalinya setelah rehat sejenak dari aktifitas menunggu Trans Jakarta busway di halte busway selama kuliah di bilangan Salemba, aku pun kembali menekuni aktifitas itu. Yups, aktifitas apa lagi jika bukan MENUNGGU bus Trans Jakarta yang tidak kunjung datang. Bukan hanya 10 atau 15 menit, namun rasa kesabaranku untuk menunggu Trans Jakarta busway rupanya tengah diuji selama satu jam empat puluh menit. Bayangkan! Dalam kondisi antrian yang semakin menumpuk, armada Trans Jakarta busway pun sangat minim. Kondisi kedatangan Trans Jakarta busway yang lama, membuat beberapa orang calon penumpang yang telah membayar tiket masuk, memutuskan untuk keluar dari barisan dan memilih untuk naik angkutan umum lainnya. Satu orang di sampingku yang mempunyai perawakan sangat tinggi, bahkan sampai menelfon rekannya untuk membatalkan janji bertemu yang telah mereka sepakati sebelumnya. Bukankah ini potret nyata dan miris atas terlanggarnya hak-hak warga negara untuk mendapatkan layanan publik yang nyaman dan menguntungkan mereka? Baik dari segi manajemen waktu dan harga tiket yang bisa dijangkau oleh semua kalangan.

Tiap orang yang mengantri, nampak menampilkan wajah BT nya dan lelah nya. Bagaimana tidak? Bukankah niat mereka untuk naik Trans Jakarta busway adalah untuk mendapatkan kenyamanan setelah jam pulang kerja? Atau bahkan bisa merasakan lancarnya jalur Trans Jakarta, sehingga bisa sampai di rumah dengan tepat waktu? Nyatanya, satu jam empat puluh menit yang kami gunakan untuk menunggu kedatangan sang bus, tidak dapat memenuhi segala bentuk harapan yang ada pada sebuah transportasi publik bernama Trans Jakarta busway. Meski mungkin manajemen Trans Jakarta mempunyai alasan tersendiri, mengapa penumpang nya harus menunggu selama satu jam lebih, namun bukanlah labelling transportasi publik yang melekat pada sebuah Trans Jakarta busway, menjadikannya harus siap sedia memenuhi kebutuhan rakyat? Semangat inilah yang tidak dipunyai oleh pemerintah Indonesia, termasuk Pemda DKI Jakarta.

Jika kita melihat kondisi per-kereta api-an ekonomi di Jakarta , yang dibandrol dengan harga murah, yaitu hanya Rp.2000,- , dan di padati oleh potret kerumunan massa di atas kereta api, maka sebuah pertanyaan muncul. Sudahkah pemerintah Indonesia memikirkan solusi dari perilaku masyarakat tersebut?
Sebuah berita di salah satu media massa yang memberitakan bahwa PT KAI (Kereta Api Indonesia) berencana untuk menghilangkan kereta ekonomi, nampaknya bukan langkah yang tepat pula. Sebagai pemerintah, bukankah mudah untuk mengajukan saran dalam rencana kebijakan PT KAI ke depan? Nampaknya, penghilangan kereta ekonomi hanya akan menimbulkan masalah baru. Bukankah lapisan masyarakat Indonesia yang mayoritas berada pada level menengah ke bawah, menjadikan kereta ekonomi sebagai satu-satunya alat transportasi yang cepat dan murah. Bayangkan! Dengan hanya membayar RP.2000,- anda bisa melakukan perjalanan dari Jakarta-Bogor atau sebaliknya serta tujuan-tujuan lainnya. Bukanlah lebih baik jika malah armada kereta ekonomi diperbanyak atau opsi kedua adalah menggalakkan commuter line, namun dengan harga yang lebih terjangkau bagi siapapun. Misal, jika saat ini commuter line dibandrol dengan harga Rp.6.000- Rp.7.000,- , harus ada pengurangan nominal harga tiket, seperti halnya menjadi Rp.4.000,-. Bukankah kebijakan ini mencerminkan kepedulian pemerintah terhadap kondisi masyarakatnya? Jangan sampai kita mengatakan ‘ahhh... pemerintah dan penguasa mah nggak pernah merasakan susah. Tiap hari disediakan mobil dengan segala fasilitas mewah lainnya’, karena memang kenyataan yang ada adalah seperti itu.

Jika kualitas pelayanan dan manajemen Trans Jakarta busway serta kereta api sebagai roda penting dari sebuah aktifitas adalah jelek, lantas kepada siapa lagi rakyat berharap, jika bukan pada pemerintah? Nyatanya, pemerintah malah menunjukkan sikap arogansi dan ketidak sayangan nya dengan tidak pernah melibatkan masyarakat itu sendiri. Segala kebijakan yang keluar di Negara ini, mayorits adalah bukan atas hasil kesepakatan ataupun implementasi dari partisipasi politik warga. Namun, hanya menjadi sebuah penerapan aturan yang HARUS dipatuhi oleh semua warga Negara Indonesia. Nah, jika sudah begini, masihkah kita bisa mengatakan bahwa pemerintah Indonesia itu sayang pada rakyatnya? Mungkin terlalu dini untuk mengasumsikan ketidaksayangan pemerintah Indonesia pada rakyat Indonesia. Tapi juga perlu kita ingat, bahwa potret atas kondisi kualitas transportasi kita yang masih jauh tertinggal dari Negeri Jiran Malaysia ataupun Singapura dan Hongkong adalah benar adanya. Jika Malaysia, Singapura dan Hongkong sudah mempunyai Mass Rapid Transportation (MRT) dengan manajemen waktu yang mutlak datang per dua menit atau lebih (tapi tidak sampai berjam-jam lho ya), bagaimana dengan Indonesia?

Mengapa mayoritas anggota DPR sebagai bagian dari lembaga kekuasaan legislatif, malah lebih sibuk membicarakan anggaran untuk fasilitas mereka saja? Apakah kesejahteraan rakyat tidak lebih penting bagi para ‘wakil rakyat’ ini? atau bahkan budaya malu sudah hilang dari bumi Indonesia? Sehingga para pemerintah yang memimpin di bumi Indonesia ini, dengan wajah tanpa dosa, melakukan studi banding yang tidak penting. Atau kerjasama pemerintah daerah dengan pengusaha yang akan menanamkan investasi nya di daerah. Atau juga kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia yang secara terang-terangan lebih memperhatikan infrastruktur di beberapa titik yang dilalui oleh pengusaha. Tidak lain tidak bukan hanya dengan satu niat, yaitu ‘MEMUDAHKAN’ bisnis sang pengusaha, dibanding menengok kondisi pasar-pasar tradisional yang selalu diidentikkan dengan tempat yang bau dan becek.

Jika memang pemerintah Indonesia sayang pada rakyat Indonesia, buktikanlah bahwa mulai detik ini bahwa kepentingan rakyat ada di atas kepentingan lainnya, terutama kepentingan pribadi. Wahai pemimpin, berkacalah dari kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab yang tidak bisa tidur jika ada rakyat nya yang masih kelaparan. Seorang pemimpin yang mau terjun ke lapangan untuk melihat kondisi rakyatnya. Masihkah ada tipe pemimpin seperti Umar bin Khattab di bumi Indonesia ini? Aku fikir aku termasuk orang yang masih mempunyai rasa optimisme. Masih ada pemimpin yang benar-benar bekerja atas dasar melaksanakan amanah dari rakyat. Namun, berapa banyak pemimpin yang bersikap seperti itu??

Akhirnya kita harus menyadari bahwa kekuasaan yang mutlak memang cenderung untuk berprilaku korup. Seperti kata-kata yang sudah sangat sering kita dengar, yang di sadur dari pernyataan Lord Acton; “Powers tend to corrupt and absolut power corrupt absolutely”. Wewenang lembaga legislatif yang demikian kuat, layaknya kekuatan kekuasaan eksekutif dan kemudian yudikatif yang ada di Indonesia, membuat sang pemerintah tidak mau beranjak dari posisi nyaman nya, yaitu KEKUASAAN. Sang rakyat pun harus menanggung prilaku ‘KAGET’ sang pemerintah atas kekuasaan yang di dapat. Parahnya lagi, prilaku KAGET tersebut, membuat kita sebagai rakyat Indonesia makin menyadari dan bertanya ‘Bener nggak sih pemerintah Indonesia ini sayang sama rakyatnya?’. Coba kita jawab dan renungkan dalam-dalam.

5 Februari 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar