Kamis, 11 Juni 2020

Iam Back!

Hai Guys! Semoga selalu sehat semua ya.. mumpung masih suasana Idul Fitri, saya mau mengucapkan mohon maaf lahir dan batin ya. Mohon maaf atas segala salah selama ini.

Saya Ana, saya termasuk orang yang mempercayai bahwa segala sesuatu terjadi bukan atas dasar kebetulan. Yups, sama seperti malam ini. Setelah kurang lebih 6 tahun dari postingan terakhir saya di tahun 2014, Iam Back! Ya, saya kembali lagi mengisi blog saya ini.
Kehidupan setelah 6 tahun tentu tidak sama lagi. Alhamdulillah saat ini saya sudah mempunyai belahan jiwa yang Allah kirimkan untuk saya, saya sudah memiliki beberapa tambahan karya tulis, saya mendapatkan kesempatan untuk ikut program pendek ke Wina Austria, Jepang, serta melakukan ibadah umroh bersama 'imam' ku. Alhamdulillah saya, orang tua, suami, kakak-kakak dan adik-adik serta keluarga besar saya dalam keadaan sehat, dan Alhamdulillah saat ini saya sudah duduk kembali menjadi seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Depok atas dukungan suami dan juga keluarga tercinta.

Life is beautiful! itu hal yang harus selalu kita syukuri. Meski masih merasa bodoh, masih banyak hal yang belum bisa di raih dalam hidup, meski kadang merasa melewatkan hal-hal penting yang sebetulnya bisa digapai tapi ada hal utama lainnya, belum memiliki 'amanah' dari Allah, tapi hidup selalu indah dan akan selalu begitu. 

Malam ini juga malam yang istimewa buatku. Selama beberapa hari terakhir aku selalu memimpikan pondok Darussalam Gontor Puteri. Dan ternyata, tabir mimpi itu adalah aku 'bertemu' kembali dengan  keluarga tercintaku, Za Green 2003. Kawan-kawan angkatanku memulai kembali kegiatan-kegiatan yang akan mewarnai kegiatan kami ke depannya sebagai alumni pondok angkatan 62003 Za Green. Itu hal istimewa buatku, karena dengan kegiatan yang tengah kami rancang, maka silaturahmi antar kami akan tetap hidup. Bukankah itu yang diajarkan oleh nilai-nilai Islam? Untuk mempererat silaturahmi.

Jadi, postingan ini menandakan bahwa insyaAllah untuk hari-hari ke depan, aku akan menuliskan berbagai kejadian unik dan cerita seru dalam blog ku. See u guys!


Rabu, 25 Juni 2014

My Everything…

Vaghwa Hasib Nata Praja. Nama unik yang sangat kusukai ini adalah belahan jiwaku, suami yang sangat kuhormati dan ku sayangi..

Rasanya ribuan kalimat dan ucap syukur belum cukup untuk menggambarkan betapa aku sangat berterimakasih padaNya, karena telah mengirimkan seorang Vaghwa untuk menjadi imam dalam hidupku. Perjumpaan kami di bulan Januari 2014, membawaku pada sebuah rasa yakin, bahwa dia adalah orang yang kucari selama ini. Ikrar suci yang terucap ketika akad nikah kami di bulan Mei 2014, adalah sebuah anugerah terindah yang ada dalam hidupku.

Rabb.. aku mohon padaMu untuk selalu menjaganya.. menjaga kami berdua, agar terus berada dalam ridhoMu, dalam kasih sayangMu dan bisa bersama-sama menjaga tali kasih yang kau titipkan pada kami berdua.

Wajah teduh nya yang selalu kupandangi tiap malam ketika ia terlelap, membuatku semakin bersemangat untuk bisa menjadi istri dan partner hidup yang baik untuknya. Kerikil dan batu sandungan yang ada, semoga bisa menjadi penguat tali cinta yang ada antara kami.

Rasanya.. tiap hari aku selalu jatuh cinta pada suami tercinta ku itu. Sikap sabarnya, ucapan nya yang santun, senyumnya, wajah imut nya, semangatnya.. selalu membuatku tambah sayang padanya.

Rabb.. ingin ku tidak banyak.. hanya ingin bisa terus kau jaga suami hambaMu yang serba kekurangan ini.. hanya ingin bisa terus kau berikan amanat pada hamba untuk bisa selalu mendampingi seorang Vaghwa hingga akhir hayat nanti.

Aamiin Ya Rabbal ‘aalamiin…

Ana Sabhana Azmy
Juni 2014


Words of Wedding..

Bismillaahirrahmaanirrahiim…

Ribuan kata syukur rasanya belum cukup untuk melukiskan betapa kami berdua sangat berterimakasih pada-Mu ya Rabb… Semoga rasa cinta kami berdua pada-Mu, dapat terus dan selalu kami jadikan sandaran dalam membangun kehidupan rumah tangga kami kelak, Amin..
Januari 2014 menjadi bulan dan tahun yang sangat manis, yang tak akan pernah terlupakan bagi seorang Ana dan Vaghwa. Pada bulan itu, atas rahmat-Mu, karunia-Mu dan kasih sayang-Mu, Engkau izinkan kami berdua untuk bertemu..

Sungguh, kami tak menyangka bahwa pertemuan kala itu adalah awal dari sebuah keseriusan yang terpatri dalam hati masing-masing. Keseriusan untuk merangkai niat kami berdua, beribadah pada-Mu, untuk-Mu, di jalan-Mu, membangun keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.

Perkenalan yang sangat singkat, kami yakini bukan sebagai batu sandungan dalam menetapkan keputusan besar dalam hidup. Sebaliknya, kami yakini sebagai anugerah-Mu yang memberi sebuah rasa yakin dalam diri.

Rabb.. nikmat yang Engkau berikan sungguh besar, tak terhitung banyaknya. Namun, sebagai hamba-Mu yang lemah, izinkan kami berdua untuk menengadahkan tangan, memohon ridho-Mu dalam perjalanan kehidupan rumah tangga kami kelak..
Iringilah niat suci kami berdua.. karuniakanlah pada kami berdua hati yang selalu bersyukur pada-Mu, selalu mengingat-Mu, baik dalam suka dan duka.

Rabb..bolehkah kami meminta satu hal lagi dalam rasa syukur kami yang tak terlukiskan? Izinkanlah kami berdua untuk menjadi pasangan hidup yang saling melengkapi.. saling mendukung dalam kebaikan dan saling mengingatkan ketika salah. Izinkan pula kami menjadi pasangan hidup di dunia, dan kelak di akhirat nanti ya Rabb.. Amin.

Jakarta, Mei 2014
Ana & Vaghwa

Rabu, 10 Juli 2013

Kembali (lagi) ke Yogya…

Seperti judul di atas, diri ini kembali menginjakkan kaki di tanah Yogyakarta, setelah Januari 2013 lalu mengunjungi kota yang dikenal dengan bakpia pathok nya ini. Bagiku, Yogya selalu menarik, berkesan, menyimpan sejuta kenangan dan kota yang akan selalu menjadi magnet buatku. Bukan hanya karena pesona keramahan penduduknya, becak, andong, ojek sampai taksi yang wara wiri, tetapi juga karena banyak memori diri yang tertoreh di sana.
Aku memang tidak sempat mengenyam pendidikan di tanah Yogya, layaknya puluhan kawanku, bahkan ratusan jika ditambah dengan seniorku saat di Gontor Puteri. Tapi, kapanpun aku tengah menyiapkan liburan diri dari penatnya rutinitas ibukota, Yogya selalu masuk dalam daftar kota wisata yang aku tuju.

Awal perkenalanku dengan kota ini sudah cukup lama, yaitu sejak aku duduk di bangku kelas 3 Tsanawiyah Pondok Pesantren Gontor Puteri, Mantingan Ngawi Jawa Timur. Kala itu, aku memutuskan untuk ikut dengan salah satu sahabat terbaikku, berlibur ke rumahnya di Klaten. Liburan selama sepuluh hari terasa sangat berkesan, karena udara Klaten kala itu masih sangat alami, tidak banyak bangunan rumah warga dan lampu jalan pun belum terlihat di banyak sudut jalanan yang kami lalui. Jelas, ini sangat kontras dengan suasana lingkungan tempat tinggalku di Jakarta. Hampir tiap pagi kami berboncengan sepeda dan menapaki jalan-jalan yang lengang, sambil menikmati pesona candi Plaosan sampai Prambanan. Sejak itu, diri ini selalu merasa kangen pada kota Yogyakarta.

Setelah menamatkan pendidikan di Gontor Puteri, maka aku pun memutuskan untuk kuliah di kampus UIN Jakarta. Sebenarnya ingin sekali mencoba kuliah di luar kota, namun kondisi saat itu tidak memungkinkan diri ini untuk hengkang dari ibukota Jakarta. Selama tiga setengah tahun menimba ilmu di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta, beberapa kali aku mengunjungi kawan-kawan baik ku yang kuliah di Yogya saat libur semester tiba. Ahh,, kangen itu semakin terobati. Aku berjelajah kampus, baik UGM maupun UII, yang semakin menambah rasa sayangku pada Yogya. Sempat terbersit rasa ingin pindah kampus saja dari Jakarta, saking inginnya merasakan atmosfer belajar di tanah Yogya. Kehidupan kampus di Jakarta pun memasuki semester tujuh, aktifitas Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang waktu itu ku jalani, membuat diri ini sempat lupa akan pesona Yogya dan lebih merindukan kemacetan Jakarta.

Seiring kelulusanku di tahun 2008, maka kawan-kawanku di Yogya pun berkurang. Ada yang pulang kampong setelah lulus S1 dan ada pula yang melanjutkan studinya di program master UGM. Untuk yang satu ini, aku sangat bersyukur, karena masih mempunyai alasan terbaik untuk sering mengunjungi Yogya, yaitu silaturahmi dengan kawan-kawan baikku. Saking seringnya kota Yogya masuk dalam daftar kunjungan wisataku, kawan dekatku pernah bertanya, apakah aku mempunyai rumah atau saudara di Yogya, yang membuat aku sering bertandang ke sana. Aku pun hanya bisa tersenyum dan berkata bahwa aku akan selalu mengunjungi kota ini, meski kawan-kawan ku sudah tidak lagi studi atau tinggal di Yogya. Mendengar jawabanku, kawanku pun hanya tersenyum simpul sambil geleng-geleng kepala.

Rasa kangenku pada kota yang sempat bersitegang dengan pemerintah pusat akibat konsep Penetapan atau Pemilihan Gubernurnya ini, bahkan kualami juga saat masa tenang setelah sukses ujian proposal tesis. Segera satu hari setelah ujian proposal tesis ku terlaksana, aku langsung memutuskan untuk berangkat ke Semarang dan kemudian Yogyakarta, berlibur bersama kawan baikku yang saat ini tengah melanjutkan studi magister nya di Universitas Muhammadiyah Solo. Kenyang lima hari berlibur, maka aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta, bergumul dengan tesis ku yang fokus pada bahasan tentang Negara dan Buruh Migran Perempuan. Uniknya, bukan hanya kisah wisata yang aku alami tiap ke tanah Yogya, namun tiap fase kehidupan yang aku jalani, baik sedih dan duka, jatuh bangun, selalu rasa yang hadir ingin segera kembali ke tanah Yogya, untuk sekedar mengusir penat dan rileks sesaat.

Entahlah, rasanya selalu ada energi positif dalam diriku sekembalinya dari Yogya, baik karena bisa silaturahmi dengan kawan-kawanku yang menetap di kota ini, juga ketika aku bisa leluasa berjalan-jalan ke tempat-tempat menarik di Yogya. Juli 2013 ini, ketika aku kembali menikmati Yogya, aku pun bisa merasakan nikmatnya angkringan lagi, lengkap dengan kopi joss nya dekat stasiun tugu, Cagar Budaya Taman Sari yang merupakan tempat pemandian Raja dan selir serta anak-anak nya, Suasana pagi dan malam di Malioboro, Wisata tempat batik, dagadu juga oleh-oleh Bakpia Pathok, Jalan kaki di Kaliurang, hingga menikmati segelas susu green tea yang sangat enak di Kali Milk. Tak ketinggalan pula, bisa silaturahmi dengan kawan-kawan organisasiku, Ikatan Pelajar Puteri NU (IPPNU).

Ah, diri ini spontan teringat akan firman Allah dalam Surah Ar-Rahman, “Maka Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan”? Terimakasih Allah, untuk semua hal yang ada dalam hidupku.

Jakarta, 11 Juli 2013

Rabu, 20 Maret 2013

Sebuah rasa bernama damai

Dulu ketika aku masih mondok di salah satu pesantren favoritku yaitu Gontor Puteri, mataku tertuju pada sebuah papan yang bertuliskan "Darussalam" atau kampung damai. Saat itu aku tidak begitu memikirkan kata itu, hanya sempat hadir dalam fikiranku, apa yang dimaksud dengan kampung damai?
Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa sudah enam setengah tahun aku bersekolah di Pondok tercinta, sebuah kampung nan damai. Dalam interaksi ku dengan kawan-kawan dari seantero Indonesia, aku merasa banyak hal yang kudapat. Baik pergumulanku dengan berbagai macam disiplin ilmu dan pada ilmu mana akhirnya aku menjatuhkan hati/pilihan, interaksi pertemanan yang seru dan kadang diwarnai dengan canda tawa serta air mata, pembelajaran menjadi penanggung jawab dalam tiap organisasi yang kita pilih, serta kepanitiaan yang ada, sejak kelas satu hingga enam. Meski alat komunikasi berupa handphone tidak diperbolehkan, namun aku merasa bahwa dunia di pondok telah membawaku pada bentuk komunikasi yang aktif dan selalu menekankan two way communication, dengan arti bahwa kita harus menghormati lawan bicara kita, siapapun itu dengan tidak memandang siapa dan dari mana dia.

Pada akhirnya, aku merasakan kedamaian yang dimaksud di kampung damai ini, Gontor Puteri Darussalam. Beberapa kali aku memang kena sanksi dari bagian bahasa dan keamanan, namun sanksi yang aku jalani tidak pernah membuatku merasa terbebani, mungkin karena memang itulah konsekuensi yang harus aku jalani dari sebuah pelanggaran yang aku lakukan.
Sesekali otakku berusaha untuk mengatakan pada diri ini, bisa jadi kedamaian yang kau rasakan adalah karena kehidupanmu di pondok, belum lah menjadi kehidupan yang sebenarnya, masih kehidupan surga, kehidupan penuh damai yang jauh dari hingar bingar kepentingan politik, kepentingan beberapa pihak dan juga belum terasanya apa yang dikatakan oleh Thomas Hobbes "Homo Homini Lupus" (Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya). Namun, rasanya kehidupan yang aku rasakan di sana, meski jauh dari keluarga adalah kehidupan yang mendamaikan diri. Bukan karena aku merasa senang berada jauh dari keluarga, namun karena aku bisa dengan bebas menyatakan apa yang aku mau, bergerak sesuai inginku, mempunyai aktifitas yang aku sukai, tak peduli apakah dampak dari semuanya itu akan merugikanku atau bahkan menguntungkanku. Tidak selalu tentang perhitungan seperti para politis, yang berfikir untung atau rugi ketika dekat dengan seseorang, atau melakukan suatu hal.

Tak terasa aku sudah hengkang dari pondok selama kurang lebih sembilan tahun. Rasanya saat ini kedamaian itu semakin sulit aku cari. Diri ini terlalu sibuk memikirkan apa kata orang nanti, terlalu takut mengambil resiko yang ada, terlalu banyak keinginan tanpa tahu akan fokus di mana, ah masih banyak terlalu terlalu dan terlalu lainnya. Aku merasa seperti diri yang terlalu mem-push diriku untuk seperti ini dan itu. Akhirnya, aku tidak merasakan lagi arti sebuah kedamaian. Tibalah pada keinginan diri untuk hengkang, meninggalkan hingar bingar ibukota yang sudah semakin tidak memberikan rasa damai. Ah, atau mungkin batin ini saja yang haus akan rasa damai? sehingga bisa jadi bukan karena di mana aku tinggal, tapi karena aku belum menemukan arti damai yang sesungguhnya selepas meninggalkan pondok tercinta.


Jakarta, 20 Maret 2013

Kamis, 15 November 2012

Sebuah Ibukota bernama Washington DC

Ini adalah kali pertama aku menginjakkan kaki di ibukota Negara Amerika Serikat. Negara yang terkenal dengan label demokratisasi nya di dunia, Negara yang terkenal dengan adi daya nya dan juga Negara yang dulu hanya bisa kubayangkan seluk beluk nya lewat pelajaran bahasa Inggris ketika mondok di Pondok tercinta, Gontor Puteri. Subhanallah.. rasanya seperti mimpi ketika Allah menganugerahiku dengan kesempatan mengikuti International Visitors Leadership Program (IVLP) selama tiga minggu di AS untuk memantau jalannya Pemilu dan politik AS , itupun dengan mengelilingi tujuh Negara bagian yang mempunyai keunikan masing-masing.

Dengan dukungan berbagai pihak, terutama Dekan FISIP UIN Jakarta, tempatku mengabdi, aku pun bertekad untuk juga mendalami isu peran agama dalam politik/ Pemilu AS serta partisipasi perempuan dalam kancah politik di sana, sebagai bidang konsentrasiku selama ini. Tak terasa, perjalanan selama dua hari satu malam membawaku pada kota tujuan pertama dari rangkaian program ini, Washington DC.

Kota ini sungguh nyaman dan kondusif sebagai ibukota Negara. Gedung-gedung tinggi memang sering kita temui, layaknya Jakarta. Namun, satu hal yang sangat kusukai adalah tata kota nya yang asri dan nyaman. Di tiap sudut kota, kita bisa sangat mudah menemui berbagai taman kota, lengkap dengan pohon nan rindang, patung para pahlawan mereka, sejumlah kursi taman juga kicauan burung yang indah. Ditambah lagi dengan absennya asap kendaraan sebagai polusi udara yang sangat mudah kita temui di ibukota Jakarta, menjadikan kota ini sangat nyaman untuk ditempati, bahkan menjadi tujuan wisata para turis asing. Baru kuketahui bahwa DC itu adalah kepanjangan dari District of Columbus. Sehingga nama Washington DC diambil dari George Washington dan Christopher Columbus.

Washington DC terletak diantara Negara bagian Maryland dan Virginia. Ibukota ini tidak termasuk bagian dari Negara bagian manapun, sehingga tidak bisa mengajukan pilihannya untuk perwakilan senat, juga representatif di parlemen. Sebagai ibukota, urusan utama Washington DC adalah pada politik nasional dan internasional. Industri privat mereka adalah turisme, dengan angka sekitar 14-15 juta pengunjung yang datang ke kota ini tiap tahunnya. Sedangkan di bidang pendidikan, ibukota ini mempunyai 22 sekolah, ragam universitas dan juga berbagai museum, perpustakaan serta ragam masyarakat nya.

Salah satu tempat yang ku kunjungi sebagai langkah utama guna mengetahui historisitas mereka adalah National Mall. Ketika mendengar kata mall, sepintas aku membayangkan banyak nya mall-mall besar yang menjamur di ibukota, tanyaku pun hadir, apakah sama wajah nya dengan mall yang di maksud di Jakarta? Ternyata tidak. National Mall adalah sebuah area yang terletak diantara jalan ‘Constitution dan Independence’, membentuk tata kota, dengan hadirnya bangunan utama US di sebelah timur dan Lincoln Memorial di sebelah barat. Selain itu, masih banyak tempat wisata sejarah yang berlokasi ataupun dekat dengan National Mall. Ada gedung putih, monumen Washington, Galeri seni nasional, gedung Capitol AS (tempat kongres AS bersidang), Vietnam memorial (tempat untuk memperingati orang-orang Amerika yang gugur atau hilang ketika perang Vietnam), museum memorial Holocaust US dan juga memorial Thomas Jefferson (sumber dokumen IVLP).
Di ibukota Negara inilah rangkaian perjalanan kami, 16 partisipan dari Asia-Fasifik dimulai. Hari pertama diisi dengan pengenalan terhadap struktur pemerintahan US, desentralisasi nya dan pembagian kekuasaan, menjadi kekuasaan federal, negara bagian dan pemerintahan lokal di US yang diisi oleh Charles Spencer PhD, dosen bidang federalisme.

UUD yang diadopsi tahun 1787 memberikan kekuasaan eksekutif kepada Presiden yang masih bertahan hingga kini. UUD mengharuskan jabatan Presiden diisi oleh warga negara kelahiran Amerika yang minimal berusia 35 tahun. Pilpres diadakan tiap empat tahun sekali dan hanya boleh dua kali masa kerja sesuai amanat ke 21 yang diratifikasi tahun 1951. Gagasan pembagian kekuasaan serta keseimbangan lahir dari the federalist, yang merupakan karya penting mengenai filsafat politik dan pemerintahan yang pernah ditulis di AS. The federalist papers jugalah yang memberikan gagasan mengenai apa yang dikenal dengan check and balances. Anggota house of representatives hasil pilihan publik akan diawasi dan diimbangi oleh sebuah senat yang ditentukan oleh legislatif negara bagian (Amandemen UU yang ke 17 pada tahun 1913 mengubah aturan ini dengan menetapkan adanya pemilu bagi calon senator). Hal ini dibangun dengan argumen dari Alexander Hamilton, salah satu pemikir selain James Madison yang mempunyai buah fikiran akan sistem pemerintahan AS, bahwa “sebuah majelis yang demokratis harus diawasi oleh senat yang yang demokratis dan keduanya oleh Presiden yang demokratis pula).

Sedangkan gagasan pemisahan kekuasaan antara lembaga adalah sebagai upaya menghindari tirani dari kekuasaan yang terpusat. Namun federalist paper juga melihat bahwa ada kebajikan lain, yaitu meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemerintahan. Karena terpisah, maka mereka akan mengembangkan keahlian dan peran masing-masing, hal yang nampak mustahil jika lembaga tersebut digabung (diambil dari buku Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat, Deplu AS). Charles pun melontarkan pertanyaan, dalam demokrasi modern, lantas bagaimana pemerintahan nasional memberikan kepercayaan pada semua negara bagian untuk mengatur tiap permasalahan? Jawabnya adalah bahwa mereka mengupayakan standarisasi nasional. Misal dalam kesehatan publik, pendidikan dan juga keamanan, maka ada standarisasi bersama. Tiap negara bagian boleh memiliki aturan masing-masing, namun ada standarisasi nasional yang diamini bersama. Hanya kongres yang bisa membuat pola pemerintahan baru dan juga mempunyai kekuatan untuk mendeklarasikan perang dibawah payung konstitusi.

Pada pola judicial, terdapat district court di tiap negara bagian, agar tiap negara bagian bisa menyelesaikan permasalahan hukum dan juga tidak segala urusan diselesaikan di pusat. Seorang hakim hanya bisa berhenti dari posisi nya karena kematian atau pengajuan pengunduran diri serta pensiun. Mahkamah Agung adalah pengadilan tertinggi di AS dan satu-satunya yang dibentuk oleh Konstitusi. MA mempunyai hak yuridis asli hanya dalam dua macam kasus: yang melibatkan orang-orang penting asing dan yang melibatkan negara bagian. Sedangkan kasus lain, bisa sampai ke meja MA karena banding dari pengadilan yang lebih rendah. Mekanisme pembagian kekuasaan ini mengingatkanku pada pola pemerintahan yang kita anut. Meski demikian, sistem multipartai yang kita anut, jelas berbeda dengan sistem dua partai di Amerika Serikat, walau banyak juga beberapa pihak di AS mempertanyakan sistem dua partai yang tidak mencerminkan keberpihakan atas ragam aspirasi yang ada.

Sekilas pengetahuan tentang pemerintahan AS hari itu, membawaku untuk menyimak dan melihat kembali perbandingan yang ada dari dua Negara, yaitu Indonesia dan AS. Lebih penting lagi adalah mekanisme Pemilu di dua Negara yang katanya mempraktekkan demokratisasi. Ah, Washington DC semakin menarik menjelang siang. Tiba waktunya untuk berkeliling, menikmati kudapan makan siang, serta menjelajahi sudut lain dari ibukota negara ini.

Ana Sabhana Azmy
Oktober 2012.


Rabu, 15 Agustus 2012

IBU....

Jakarta, kota metropolitan ini memang tidak pernah sepi dari hingar bingar mobilitas kehidupan. Rasanya, tidak pernah ada kata istirahat bagi kota yang baru saja berulang tahun ke 484 ini. Menapaki jalan-jalan di kota Jakarta pada siang hari, seperti dua sisi yang saling tarik menarik. Setidaknya bagiku, menyenangkan karena bisa mengamati kehidupan sekitar warga Jakarta. Menjadi tidak menyenangkan karena terik matahari yang hadir di kota Jakarta lumayan menguji kadar kesabaran.
Salah satu hal yang kuamati di siang hari itu adalah seorang ibu dengan tiga anaknya yang masih kecil. Antrian transJakarta busway yang sudah menjadi ‘makananku’ setiap hari, selalu mengundang hal menarik untuk diamati. Siang itu, sang ibu tengah mengantri di antrian bus transJakarta busway arah Blok M. Anak paling kecil dengan umur sekitar 2 tahun tengah digendongnya. Anak pertamanya adalah perempuan yang kutaksir berumur 7 tahun. Sedangkan anak keduanya adalah laki-laki yang kutaksir berumur sekitar 5 tahun. Sepintas tidak ada yang salah dengan kondisi itu. Ada seorang ibu tengah membawa tiga orang anaknya untuk naik transJakarta busway.

Namun pengamatanku dimulai saat bus transJakarta tak kunjung datang alias ‘ngaret’ dan anak laki-laki keduanya mulai resah, seraya merengek untuk minta digendong. Dengan kondisi bingung, sang ibu pun mulai mengiyakan rengekan anak laki-lakinya. Ia melepaskan anak ketiganya dari gendongan dan kemudian menitipkannya pada anak pertamanya. Anak keduanya pun senang dan tersenyum, begitupun dengan sang bungsu yang memberikan senyuman termanisnya untuk sang kakak, tanpa sedikitpun terlihat kecewa. Tak berapa lama, bus transJakarta pun datang. Kondisi bus yang sudah sesak dengan lautan manusia pun membuat ibu tersebut urung masuk. Seraya menunggu kehadiran bus berikutnya, ia meminta pada anak perempuannya untuk melepaskan gendongan sang bungsu dan menurunkan kembali anak keduanya setelah puas digendong oleh sang ibu. Setelah itu, ibu yang tak pernah menunjukkan muka lelahnya ini kembali menggendong anak bungsunya dan merangkul kedua anaknya. Ternyata, bus transJakarta berikutnya kembali datang. Kali ini ia bisa masuk atau bahkan terkesan memaksa masuk meski kondisi bus lumayan padat.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kemudian kondisi sang ibu dan tiga anak nya tersebut di dalam bus transJakarta yang mana kondisi sebagian armadanya sudah tidak nyaman lagi, terutama bus transJakarta lama dengan warna kuning. Meski kemudian sang ibu masuk pada bagian “khusus area wanita” di dalam transJakarta busway, bagaimana dengan kedua anaknya yang juga masih kecil? Aku membayangkan perjuangan tak kenal lelah dari seorang ibu dalam membesarkan, melindungi dan mengayomi anak-anaknya. Tak berapa lama ibu tiga anak tersebut berlalu dari hadapanku yang masih ada di urutan antrian ke sekian, datang kembali seorang ibu dengan paras cantiknya, tengah menggandeng dua buah hatinya yang juga masih kecil. Seraya terus menggandeng mereka, ibu paruh baya tersebut berujar, “ nanti di bus jangan jauh dari mama ya nak”. Subhanallah, betapa kasih sayang ibu memang tak pernah habis sepanjang masa. Terdetik dalam benakku, sudahkah kita membalas kasih sayang mereka dalam usia kita yang beranjak dewasa?

Sontak rasa kangen luar biasa hadir dalam hati dan tak sabar untuk bertemu dengan ibu tersayang di rumah. Ibu.. begitu mulia perjuanganmu, tak kenal lelah mengayomi, mendidik dan memberikan seluruh kasih sayangmu pada buah hati. Semoga perjuangan para ibu nan hebat, berbuah doa bagi anak-anaknya sebagai generasi muda ke depan, untuk meraih kesuksesan hakiki dunia dan akhirat. Amin.

Jakarta, 16 Agustus 2012