Rabu, 20 Maret 2013

Sebuah rasa bernama damai

Dulu ketika aku masih mondok di salah satu pesantren favoritku yaitu Gontor Puteri, mataku tertuju pada sebuah papan yang bertuliskan "Darussalam" atau kampung damai. Saat itu aku tidak begitu memikirkan kata itu, hanya sempat hadir dalam fikiranku, apa yang dimaksud dengan kampung damai?
Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa sudah enam setengah tahun aku bersekolah di Pondok tercinta, sebuah kampung nan damai. Dalam interaksi ku dengan kawan-kawan dari seantero Indonesia, aku merasa banyak hal yang kudapat. Baik pergumulanku dengan berbagai macam disiplin ilmu dan pada ilmu mana akhirnya aku menjatuhkan hati/pilihan, interaksi pertemanan yang seru dan kadang diwarnai dengan canda tawa serta air mata, pembelajaran menjadi penanggung jawab dalam tiap organisasi yang kita pilih, serta kepanitiaan yang ada, sejak kelas satu hingga enam. Meski alat komunikasi berupa handphone tidak diperbolehkan, namun aku merasa bahwa dunia di pondok telah membawaku pada bentuk komunikasi yang aktif dan selalu menekankan two way communication, dengan arti bahwa kita harus menghormati lawan bicara kita, siapapun itu dengan tidak memandang siapa dan dari mana dia.

Pada akhirnya, aku merasakan kedamaian yang dimaksud di kampung damai ini, Gontor Puteri Darussalam. Beberapa kali aku memang kena sanksi dari bagian bahasa dan keamanan, namun sanksi yang aku jalani tidak pernah membuatku merasa terbebani, mungkin karena memang itulah konsekuensi yang harus aku jalani dari sebuah pelanggaran yang aku lakukan.
Sesekali otakku berusaha untuk mengatakan pada diri ini, bisa jadi kedamaian yang kau rasakan adalah karena kehidupanmu di pondok, belum lah menjadi kehidupan yang sebenarnya, masih kehidupan surga, kehidupan penuh damai yang jauh dari hingar bingar kepentingan politik, kepentingan beberapa pihak dan juga belum terasanya apa yang dikatakan oleh Thomas Hobbes "Homo Homini Lupus" (Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya). Namun, rasanya kehidupan yang aku rasakan di sana, meski jauh dari keluarga adalah kehidupan yang mendamaikan diri. Bukan karena aku merasa senang berada jauh dari keluarga, namun karena aku bisa dengan bebas menyatakan apa yang aku mau, bergerak sesuai inginku, mempunyai aktifitas yang aku sukai, tak peduli apakah dampak dari semuanya itu akan merugikanku atau bahkan menguntungkanku. Tidak selalu tentang perhitungan seperti para politis, yang berfikir untung atau rugi ketika dekat dengan seseorang, atau melakukan suatu hal.

Tak terasa aku sudah hengkang dari pondok selama kurang lebih sembilan tahun. Rasanya saat ini kedamaian itu semakin sulit aku cari. Diri ini terlalu sibuk memikirkan apa kata orang nanti, terlalu takut mengambil resiko yang ada, terlalu banyak keinginan tanpa tahu akan fokus di mana, ah masih banyak terlalu terlalu dan terlalu lainnya. Aku merasa seperti diri yang terlalu mem-push diriku untuk seperti ini dan itu. Akhirnya, aku tidak merasakan lagi arti sebuah kedamaian. Tibalah pada keinginan diri untuk hengkang, meninggalkan hingar bingar ibukota yang sudah semakin tidak memberikan rasa damai. Ah, atau mungkin batin ini saja yang haus akan rasa damai? sehingga bisa jadi bukan karena di mana aku tinggal, tapi karena aku belum menemukan arti damai yang sesungguhnya selepas meninggalkan pondok tercinta.


Jakarta, 20 Maret 2013