Rabu, 10 Juli 2013

Kembali (lagi) ke Yogya…

Seperti judul di atas, diri ini kembali menginjakkan kaki di tanah Yogyakarta, setelah Januari 2013 lalu mengunjungi kota yang dikenal dengan bakpia pathok nya ini. Bagiku, Yogya selalu menarik, berkesan, menyimpan sejuta kenangan dan kota yang akan selalu menjadi magnet buatku. Bukan hanya karena pesona keramahan penduduknya, becak, andong, ojek sampai taksi yang wara wiri, tetapi juga karena banyak memori diri yang tertoreh di sana.
Aku memang tidak sempat mengenyam pendidikan di tanah Yogya, layaknya puluhan kawanku, bahkan ratusan jika ditambah dengan seniorku saat di Gontor Puteri. Tapi, kapanpun aku tengah menyiapkan liburan diri dari penatnya rutinitas ibukota, Yogya selalu masuk dalam daftar kota wisata yang aku tuju.

Awal perkenalanku dengan kota ini sudah cukup lama, yaitu sejak aku duduk di bangku kelas 3 Tsanawiyah Pondok Pesantren Gontor Puteri, Mantingan Ngawi Jawa Timur. Kala itu, aku memutuskan untuk ikut dengan salah satu sahabat terbaikku, berlibur ke rumahnya di Klaten. Liburan selama sepuluh hari terasa sangat berkesan, karena udara Klaten kala itu masih sangat alami, tidak banyak bangunan rumah warga dan lampu jalan pun belum terlihat di banyak sudut jalanan yang kami lalui. Jelas, ini sangat kontras dengan suasana lingkungan tempat tinggalku di Jakarta. Hampir tiap pagi kami berboncengan sepeda dan menapaki jalan-jalan yang lengang, sambil menikmati pesona candi Plaosan sampai Prambanan. Sejak itu, diri ini selalu merasa kangen pada kota Yogyakarta.

Setelah menamatkan pendidikan di Gontor Puteri, maka aku pun memutuskan untuk kuliah di kampus UIN Jakarta. Sebenarnya ingin sekali mencoba kuliah di luar kota, namun kondisi saat itu tidak memungkinkan diri ini untuk hengkang dari ibukota Jakarta. Selama tiga setengah tahun menimba ilmu di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta, beberapa kali aku mengunjungi kawan-kawan baik ku yang kuliah di Yogya saat libur semester tiba. Ahh,, kangen itu semakin terobati. Aku berjelajah kampus, baik UGM maupun UII, yang semakin menambah rasa sayangku pada Yogya. Sempat terbersit rasa ingin pindah kampus saja dari Jakarta, saking inginnya merasakan atmosfer belajar di tanah Yogya. Kehidupan kampus di Jakarta pun memasuki semester tujuh, aktifitas Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang waktu itu ku jalani, membuat diri ini sempat lupa akan pesona Yogya dan lebih merindukan kemacetan Jakarta.

Seiring kelulusanku di tahun 2008, maka kawan-kawanku di Yogya pun berkurang. Ada yang pulang kampong setelah lulus S1 dan ada pula yang melanjutkan studinya di program master UGM. Untuk yang satu ini, aku sangat bersyukur, karena masih mempunyai alasan terbaik untuk sering mengunjungi Yogya, yaitu silaturahmi dengan kawan-kawan baikku. Saking seringnya kota Yogya masuk dalam daftar kunjungan wisataku, kawan dekatku pernah bertanya, apakah aku mempunyai rumah atau saudara di Yogya, yang membuat aku sering bertandang ke sana. Aku pun hanya bisa tersenyum dan berkata bahwa aku akan selalu mengunjungi kota ini, meski kawan-kawan ku sudah tidak lagi studi atau tinggal di Yogya. Mendengar jawabanku, kawanku pun hanya tersenyum simpul sambil geleng-geleng kepala.

Rasa kangenku pada kota yang sempat bersitegang dengan pemerintah pusat akibat konsep Penetapan atau Pemilihan Gubernurnya ini, bahkan kualami juga saat masa tenang setelah sukses ujian proposal tesis. Segera satu hari setelah ujian proposal tesis ku terlaksana, aku langsung memutuskan untuk berangkat ke Semarang dan kemudian Yogyakarta, berlibur bersama kawan baikku yang saat ini tengah melanjutkan studi magister nya di Universitas Muhammadiyah Solo. Kenyang lima hari berlibur, maka aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta, bergumul dengan tesis ku yang fokus pada bahasan tentang Negara dan Buruh Migran Perempuan. Uniknya, bukan hanya kisah wisata yang aku alami tiap ke tanah Yogya, namun tiap fase kehidupan yang aku jalani, baik sedih dan duka, jatuh bangun, selalu rasa yang hadir ingin segera kembali ke tanah Yogya, untuk sekedar mengusir penat dan rileks sesaat.

Entahlah, rasanya selalu ada energi positif dalam diriku sekembalinya dari Yogya, baik karena bisa silaturahmi dengan kawan-kawanku yang menetap di kota ini, juga ketika aku bisa leluasa berjalan-jalan ke tempat-tempat menarik di Yogya. Juli 2013 ini, ketika aku kembali menikmati Yogya, aku pun bisa merasakan nikmatnya angkringan lagi, lengkap dengan kopi joss nya dekat stasiun tugu, Cagar Budaya Taman Sari yang merupakan tempat pemandian Raja dan selir serta anak-anak nya, Suasana pagi dan malam di Malioboro, Wisata tempat batik, dagadu juga oleh-oleh Bakpia Pathok, Jalan kaki di Kaliurang, hingga menikmati segelas susu green tea yang sangat enak di Kali Milk. Tak ketinggalan pula, bisa silaturahmi dengan kawan-kawan organisasiku, Ikatan Pelajar Puteri NU (IPPNU).

Ah, diri ini spontan teringat akan firman Allah dalam Surah Ar-Rahman, “Maka Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan”? Terimakasih Allah, untuk semua hal yang ada dalam hidupku.

Jakarta, 11 Juli 2013

Rabu, 20 Maret 2013

Sebuah rasa bernama damai

Dulu ketika aku masih mondok di salah satu pesantren favoritku yaitu Gontor Puteri, mataku tertuju pada sebuah papan yang bertuliskan "Darussalam" atau kampung damai. Saat itu aku tidak begitu memikirkan kata itu, hanya sempat hadir dalam fikiranku, apa yang dimaksud dengan kampung damai?
Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa sudah enam setengah tahun aku bersekolah di Pondok tercinta, sebuah kampung nan damai. Dalam interaksi ku dengan kawan-kawan dari seantero Indonesia, aku merasa banyak hal yang kudapat. Baik pergumulanku dengan berbagai macam disiplin ilmu dan pada ilmu mana akhirnya aku menjatuhkan hati/pilihan, interaksi pertemanan yang seru dan kadang diwarnai dengan canda tawa serta air mata, pembelajaran menjadi penanggung jawab dalam tiap organisasi yang kita pilih, serta kepanitiaan yang ada, sejak kelas satu hingga enam. Meski alat komunikasi berupa handphone tidak diperbolehkan, namun aku merasa bahwa dunia di pondok telah membawaku pada bentuk komunikasi yang aktif dan selalu menekankan two way communication, dengan arti bahwa kita harus menghormati lawan bicara kita, siapapun itu dengan tidak memandang siapa dan dari mana dia.

Pada akhirnya, aku merasakan kedamaian yang dimaksud di kampung damai ini, Gontor Puteri Darussalam. Beberapa kali aku memang kena sanksi dari bagian bahasa dan keamanan, namun sanksi yang aku jalani tidak pernah membuatku merasa terbebani, mungkin karena memang itulah konsekuensi yang harus aku jalani dari sebuah pelanggaran yang aku lakukan.
Sesekali otakku berusaha untuk mengatakan pada diri ini, bisa jadi kedamaian yang kau rasakan adalah karena kehidupanmu di pondok, belum lah menjadi kehidupan yang sebenarnya, masih kehidupan surga, kehidupan penuh damai yang jauh dari hingar bingar kepentingan politik, kepentingan beberapa pihak dan juga belum terasanya apa yang dikatakan oleh Thomas Hobbes "Homo Homini Lupus" (Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya). Namun, rasanya kehidupan yang aku rasakan di sana, meski jauh dari keluarga adalah kehidupan yang mendamaikan diri. Bukan karena aku merasa senang berada jauh dari keluarga, namun karena aku bisa dengan bebas menyatakan apa yang aku mau, bergerak sesuai inginku, mempunyai aktifitas yang aku sukai, tak peduli apakah dampak dari semuanya itu akan merugikanku atau bahkan menguntungkanku. Tidak selalu tentang perhitungan seperti para politis, yang berfikir untung atau rugi ketika dekat dengan seseorang, atau melakukan suatu hal.

Tak terasa aku sudah hengkang dari pondok selama kurang lebih sembilan tahun. Rasanya saat ini kedamaian itu semakin sulit aku cari. Diri ini terlalu sibuk memikirkan apa kata orang nanti, terlalu takut mengambil resiko yang ada, terlalu banyak keinginan tanpa tahu akan fokus di mana, ah masih banyak terlalu terlalu dan terlalu lainnya. Aku merasa seperti diri yang terlalu mem-push diriku untuk seperti ini dan itu. Akhirnya, aku tidak merasakan lagi arti sebuah kedamaian. Tibalah pada keinginan diri untuk hengkang, meninggalkan hingar bingar ibukota yang sudah semakin tidak memberikan rasa damai. Ah, atau mungkin batin ini saja yang haus akan rasa damai? sehingga bisa jadi bukan karena di mana aku tinggal, tapi karena aku belum menemukan arti damai yang sesungguhnya selepas meninggalkan pondok tercinta.


Jakarta, 20 Maret 2013