Kamis, 16 Februari 2012

Wajah Damai Para Penerus Bangsa

Dua hari belakangan ini aku memperhatikan dua buah kejadian yang menghampiri diriku. Kejadian pertama bisa dibilang sebagai hal yang mengecewakan. Bagaimana tidak? Keputusanku siang menjelang sore hari itu untuk naik bus trans Jakarta busway guna mengejar waktu tiba di kantor, pupus sudah. Meski jam kantor ku sangat fleksibel karena ditugasi deadline tulisan yang tak mewajibkanku berada di kantor seharian, namun sore itu aku mempunyai janji dengan salah seorang buruh migran perempuan. Sang buruh migran ingin menyampaikan sejumlah cerita hidupnya ketika menjadi PRT migran di China. Suara gaduh dan panik para penumpang trans Jakarta, membuyarkan lamunanku akan konsep cerita yang akan dipaparkan oleh PRT migran asli NTB tersebut. Jeritan para penumpang yang disebabkan oleh suara letupan gas di bagian pintu belakang trans Jakarta, membuatku ikut panik dan memutuskan untuk langsung loncat dari pintu bus yang telah terbuka.

Asap pun memenuhi ruangan dalam bus. Meski tidak terjadi kebakaran seperti yang dikhawatirkan oleh banyak pihak, namun tetap saja seluruh penumpang memutuskan untuk loncat. Kebayang kan, bagaimana jadinya untuk sebagian perempuan yang mungkin kala itu memakai sepatu hak tinggi atau selop, hadeuh..

Loncatan untuk sampai pada dasar tanah berpijak lumayan tinggi, terutama untuk seorang ibu-ibu yang aku prediksi berumur 50 tahun-nan itu. Ya, setelah sebagian dari kami di tolong untuk naik ke halte trans Jakarta, ada seorang ibu-ibu tua yang mengeluh kesakitan kakinya, setelah loncat dari badan dalam bus. Di samping ibu tua itu, nampak temannya dan seorang anak muda berseragam putih abu-abu. Dengan cekatan, sang pemuda yang sepertinya duduk di bangku kelas dua SMA itu, menanyakan kondisi kaki sang ibu serta menenangkan kepanikan sang ibu. Aku sendiri berdiri di hadapan mereka bertiga dan masih dengan kondisi kaki yang keram setelah meloncat karena panik.

Aku tidak habis fikir, mengapa pihak Pemda DKI Jakarta tidak pernah belajar dari kesalahan-kesalahan lalu mengenai keselamatan para penumpang trans Jakarta busway. Masih ingat kejadian terbakarnya bus trans Jakarta di bilangan Blok M? Kepanikan dan bayangan itulah yang bisa jadi menggelayuti segenap penumpang trans Jakarta busway hari itu. Semestinya, baik supir maupun petugas busway bisa menenangkan suasana di dalam bus. Lebih wajib lagi untuk pihak trans Jakarta mematuhi aturan yang mereka buat sendiri, yaitu memastikan bahwa bus layak jalan sebelum mengangkut penumpang. Terlebih, konsisten dengan asuransi yang telah mereka tulis di tiap karcis yang ada, bahwa ‘harga tiket trans Jakarta sudah termasuk asuransi Jasa Raharja’. Apa sang ibu mendapat asuransi karena kelalaian petugas yang tidak bisa melindungi penumpang bus? Lepas dari itu, perhatianku tertuju pada sang pemuda, anak SMA yang sama sekali beda dari mayoritas kebiasaan teman sebayanya. Banyak di kalangan anak SMA yang sudah tidak peduli lagi dengan keadaan sekitar. Tidak hanya anak SMA, namun seluruh generasi muda bangsa ini.

Setelah sang ibu meraung tanda kesakitan yang amat, kaki nya pun tidak bisa digerakkan. Bahkan untuk berjalan dan menapakkan kaki pun ia tidak bisa. Akhirnya sang pemuda tersebut menuntun sang ibu, berbarengan dengan satu teman dari ibu itu. Subhanallah, aku terharu akan kebaikan hati anak SMA itu. Jarang sekali aku melihat potret generasi muda seperti itu, terlebih di kota kosmopolitan seperti Jakarta. Sepintas aku lihat bahwa sang ibu sudah tidak kuasa lagi menahan rasa sakitnya dan memutuskan untuk tidak melanjutkan usaha nya berjalan. Pemuda tadi pun masih setia menunggui sang ibu seraya mengajaknya berbicara. Rasa bangga pun menyelimuti diri ini, melihat generasi muda bangsa yang mempunyai kepedulian dengan sesama.

Kejadian kedua yang kualami adalah di sore hari ini. Merupakan kebiasaanku untuk naik bemo sepulang dari perpustakaan Freedom Insitute di depan kawasan Tugu Proklamasi. Bagiku, banyak hal bisa kuamati ketika naik bemo. Susunan duduk yang berhadapan dan langsung melihat ke luar, semakin menjadikan perjalanan ini menyenangkan. Bayangkan, kita bisa mengamati kemacetan Jakarta di sore hari, lengkap dengan potret asap polusi kendaraan yang membuat hidung gatal juga menahan nafas. Hehe.

Kejadian yang kemudian juga menyedot perhatianku adalah, bahwa sang supir bemo merupakan pemuda berumur 19 tahun (setelah kutanyakan umurnya, seraya mengajak ngobrol). Dengan semangat 45, ia mengemudikan bemo itu, yang bisa saja kepunyaan bapak nya atau keluarganya. Parahnya lagi, di tengah suasana asyik menikmati Jakarta di sore hari menjelang maghrib, ternyata bemo yang kami tumpangi pun mogok. Setelah cukup lama sang pemuda mencoba men-starter mesin bemo nya dan tidak ada hasil, maka kami, seluruh penumpang nya memutuskan untuk turun dan menunggu bemo lainnya. Sebagian dari kami memutuskan untuk membayar ongkos naik pada sang pemuda, meski tujuan akhir belum di capai. Awalnya ia menolak bayaran dari kami, mungkin karena ia merasa bahwa tugasnya untuk mengantarkan penumpang sampai tujuan akhir nya masing-masing, belum tercapai. Namun, setelah dipaksa oleh penumpang, akhirnya ia pun mengambil uang yang kami sodorkan.

Ia membutuhkan waktu beberapa menit untuk memperbaiki mesin bemo nya sendirian. Akhirnya, mungkin kami (beberapa penumpangnya) masih berjodoh dengan bemo itu. Sang pemuda berhasil membetulkan bemo nya dan memanggil kami kembali untuk naik. Subhanallah... meski umurnya sudah mencapai 19 tahun, namun tetap saja, bagiku ia sudah berjuang untuk ikut memenuhi kebutuhan keluarganya. Tidak itu saja, ia bertanggung jawab pada penumpangnya dengan mengajak para penumpang kembali naik setelah mesin bemo nya menyala. Jarang lho ada supir bemo anak muda dan mempunyai sikap seperti itu, ya kan?

alih-alih penumpang diperbolehkan tidak membayar ongkos bemo karena mesin mogok, beberapa supir lain sore yang pernah kutemui malah meminta agar seluruh penumpang membayar ongkos bemo yang dinaiki.

Dua kejadian yang kualami itu, membawaku pada sebuah perenungan, alangkah indahnya jika generasi muda bangsa mempunyai sikap, semangat dan prilaku yang baik seperti dua pemuda yang ku temui. Meski arus globalisasi menjadikan tiada batas antara arus informasi, gempuran akan budaya barat dan berbagai gaya hidup keduniawian lainnya yang melanda generasi muda, namun karakter bangsa haruslah tetap di pertahankan. Semoga wajah damai itu tetap terjaga untuk seluruh generasi penerus bangsa.

Jakarta, 16 Februari 2012.

Minggu, 12 Februari 2012

PARTNER hidupmu adalah Cinta Sejatimu..

Rasanya tangan ini tidak sabar untuk menuliskan kejadian yang kualami dan kudengar sore ini. Minggu siang adalah hari yang paling indah bagiku. Bukan karena bertemu dengan sang pujaan hati seperti kebanyakan anak muda masa kini, namun tiap hari itulah aku bersama beberapa temanku mengikuti kursus politik. Setelah belajar selama beberapa jam, waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB. Beberapa temanku langsung berpamitan pada tutor kami yang sangat aktif di sebuah gerakan. Wajahnya yang ayu, semangat nya untuk terjun langsung menangani sejumlah problematika perempuan Indonesia serta tulisan-tulisannya yang tajam mengkritik kondisi bangsa ini, adalah atmosfer yang sangat kami sukai. Melalui pendekatan historisitas lah dia menunjukkan serangkaian sejarah awal mula gerakan perempuan dan perjuangan feminisme dalam kacamata politik dan perspektif lainnya.

Setelah beberapa teman berpamitan, tinggallah aku dan satu orang temanku yang ditugasi sebagai koordinator kursus politik ini. Temanku pun masih harus menindaklanjuti sejumlah referensi yang akan digunakan untuk kursus minggu depan, seraya memintaku untuk menunggunya. Sambil menunggu, aku memutuskan untuk shalat Ashar terlebih dahulu. Selesai shalat, aku berkaca dan melihat sejumlah koleksi foto-foto kenangan ia dan almarhum suaminya yang terpajang di atas sebuah meja nan tinggi. Dengan sedikit ragu karena takut membuka kesedihan masa lalu setelah ditinggalkan suaminya, aku pun memberanikan diri untuk menanyakan pengalamannya melalui sebuah fase kehidupan dengan sang suami. Keingintahuanku bukan tanpa alasan. Saat ia memberikan satu buku sebagai salah satu referensi kami, ia menekankan untuk menjaga buku tersebut dengan baik. Usut punya usut, ternyata dalam buku itu, terdapat beberapa artikel, yang diantaranya adalah tulisannya dan tulisan sang suami. Ragu yang sempat sedikit singgah dihatiku untuk bertanya, berubah menjadi tenang. Tanpa ku duga, wajahnya seakan sumringah dan riang ketika ku tanya mengenai almarhum suaminya yang meninggal di tahun 2006. Hal itu nampak jelas dari ekspresi wajah yang ia tunjukkan pada kami berdua.

Aku pun memutuskan untuk membuka pertanyaan ku dengan sebuah kalimat ‘mba, almarhum suamimu seorang aktifis ya?’. Ia pun menjawab ‘ia lebih dari sekedar seorang aktifis’. Sebuah jawaban yang sangat singkat dan sarat dengan unsur perasaan sayang terdalam. Tanpa ku keluarkan pertanyaan kedua, ia pun menceritakan kehidupan yang ia jalani selama kurang lebih 11 tahun dengan sang suami dengan sangat lancar. Jarak umur yang terbilang cukup jauh, ternyata tidak menjadi penghalang bagi sebuah keseimbangan dalam kehidupan rumah tangga. Ia sangat mengagumi sang suami yang merupakan aktifis di zaman orde baru, mantan tahanan politik, mempunyai pengalaman menjadi jurnalis di salah satu media nasional, pernah menjadi anggota DPR termuda dengan usia 26 tahun. Diantara semuanya, satu hal yang sangat ia banggakan akan figur suaminya, bahwa sang suami menganggap sang istri sebagai partner hidup, bukan seorang istri yang letaknya subordinatif di bawah suami, yang bisa disuruh dan di siksa serta di maki kapanpun, persis seperti banyaknya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terjadi di Indonesia.

Sikap sang suami yang sangat memahami semangat nya dalam memperjuangkan perempuan Indonesia dan kaum buruh, menjadi amunisi baginya dalam menjalani hidup. Ia berkata bahwa ia seakan tidak peduli dengan hidup mereka yang sederhana dan tidak bermewah-mewahan. Baginya, sebuah karunia Allah karena telah mempertemukannya dengan sang suami yang asli Jawa Timur itu, sudah lebih dari cukup. Bahkan, suami memberi dukungan penuh ketika sang istri menjadi ketua sebuah LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan dan perlindungan perempuan. Status sebagai aktifis dan mantan tahanan politik yang mempunyai konsep berfikir yang sangat baik dan dahsyat, membuat tutorku ini menyebutnya sebagai sang ensiklopedia. Hari-hari mereka berdua, dilalui dengan aktif menulis, bercengkerama tentang suatu hal yang serius dan bahkan tidak serius. Meski mempunyai lokus perjuangan yang berbeda, tutorku mengatakan bahwa mereka berdua sangat gemar menulis, bahkan mempunyai tempat masing-masing di rumah nya untuk menulis sejumlah tulisan kritis dan membangun.

Berdasarkan cerita sang istri, perlakuan lembutnya pada perempuan tunjukkan nya dengan menyalahkan beberapa teman sang suami yang mengatakan bahwa kepintaran isteri adalah bentukan dan tempaan dari suami. Dengan semangat 45, sang suami memaparkan pada teman-temannya bahwa si istri memang sudah sangat pintar dan mempunyai wawasan nan luas, jauh sebelum mereka berdua berkenalan. Anggapan sejumlah temannya bahwa perempuan tidak bisa apa-apa tanpa ‘bentukan’ sang suami, dipatahkan oleh sang suami sendiri, tanpa disuruh oleh tutorku ini. Bahkan, sang suami mendukung isterinya untuk terbiasa berdiskusi kritis dengan teman-teman seperjuangannya, yang kerap di sebut dengan panggilan generasi lama. Jangan salah lho ya, kita harus mengakui bahwa generasi lama Indonesia (baik yang hidup ketika orde lama, orde baru dan hingga reformasi baru bergulir di tahun 98) adalah generasi yang sangat berkualitas. Bersikap kritis dan pandai berdiskusi dengan baik serta menguasai konsep teori dengan utuh dan mendalam. Tidak bisa kita samakan dengan generasi baru saat ini, di era reformasi, yang kebanyakan tidak mempunyai kepedulian terhadap sesama dan kegemaran untuk berdiskusi. Mungkin kita pun dapat bertanya pada diri sendiri, termasuk tipe generasi yang manakah kita ini?

Cerita berlanjut pada bulan-bulan terakhir ia hidup dengan suaminya. Tutorku ini bercerita bahwa segala sesuatunya seakan sudah di atur oleh Tuhan menjelang kematiannya. Tiga bulan pertama, sang suami sedikit kesusahan untuk berbicara pada siapapun, termasuk sang istri. Meski keadaan hidup sangat sederhana, sang isteri tidak merasa kesusahan sedikitpun dan juga tidak merasa terbebani dengan keadaan suami yang sudah mengkhawatirkan. Namun, si isteri mengakui bahwa saat-saat itu adalah saat yang berat dalam hidupnya. Rasa keheningan pun ia alami. Hari yang biasa diisi dengan obrolan ringan, diskusi dan kebersamaan, seakan meredup baginya. Hingga dua minggu sebelum kematian sang suami, isteri menceritakan bahwa sikap suami sangatlah perhatian dan benar-benar menunjukkan kasih sayangnya. Suatu hari, ia menyatakan rasa cintanya pada sang isteri dengan bahasanya sendiri, bahwa isterinya lah satu-satunya perempuan yang ia cintai selama hidupnya.

Aku pun terus mendengarkan dengan seksama pada bagian-bagian tersulit dan ‘teraneh’ menurut tutorku ini. Ketika aku menengok temanku yang duduk di sampingku, air matanya mengalir tanpa terasa dan sedikit malu ketika kita menangkap basah dirinya tengah meneteskan air mata. Tibalah hari itu, hari di mana sang suami pergi meninggalkan isteri tercintanya untuk selama-lamanya. Hingga akhir hidup sang suami, si isteri tidak pernah merasa sedih karena segala kondisi kehidupan rumah tangga yang ia alami adalah memanusiakannya dan membahagiakannya. Sang suami benar-benar menganggapnya sebagai partner dan bukan pengasuh atau orang yang harus berada pada titik subordinasi kebanyakan laki-laki atas perempuan. sang tutor menceritakan bahwa almarhum suaminya meninggal di pangkuannya dan dimakamkan dengan cara sangat mengharukan, yaitu di kelilingi orang tersayang, teman-teman tahanan politik dan teman-teman organisasi yang pernah di pimpinnya. Lagu kebangsaan Indonesia Raya pun dinyanyikan oleh seluruh hadirin yang datang dan melepas kepergiannya ke liang kubur. Sampai akhir ceritanya, perempuan nan sangat menguasai sejumlah konsep teori ini tidak meneteskan air mata sedikitpun. Ia menganggap bahwa kebersamaannya yang terhitung singkat dengan suami, seluruhnya adalah kebahagiaan. Tiada hari tanpa kebahagiaan.

Menjelang pamitnya kami berdua, aku pun teringat pada angan dan cita serta doaku pada Allah sejak dulu, bahwa semoga kelak aku dipertemukan dengan PARTNER hidupku yang kemudian adalah cinta sejatiku di dunia dan akhirat. Amin..

12 Februari 2012.

Sabtu, 11 Februari 2012

Allah selalu memberi apa yang kita butuh, bukan yang kita inginkan..

Harus kita akui bahwa sebagai manusia, kita dianugerahi keinginan yang luar biasa banyak. Ingin menjadi sempurna, ingin sukses di usia muda, ingin bisa menjadi nomor satu diantara teman-teman lain, ingin mendapatkan kehidupan yang mapan dan bahkan ingin mempunyai suami atau istri sesuai dambaan kita. Tanpa kita sadari, ragam keinginan tersebut semakin menenggelamkan kita di tengah asyiknya sebuah harap dan usaha, tanpa melibatkan Allah, sang Maha Pencipta kehidupan. Akhirnya, kita cenderung menjadi manusia yang tidak pandai bersyukur karena tolak ukur kita adalah pencapaian sebuah keinginan duniawi. Padahal Allah pun berfirman dalam surat Ibrahim ayat 7 yang berbunyi: “Wa izd taazdzdzana rabbukum, lain syakartum laaziidannakum walain kafartum inna ‘azdaabii lasyadiid”. Artinya : Dan (Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan “Sungguh jika kamu bersyukurl, niscaya Aku aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti adzab-Ku sangat berat.”

Baru-baru ini seorang teman bercerita padaku bahwa dulu ia sangat menginginkan untuk segera mempunyai anak setelah menikah. Berbagai cara ia tempuh, hingga mengecek kesehatannya dan suaminya ke luar negeri. Waktu yang ia tunggu untuk segera menimang momongan pun tak kunjung tiba. Setahun dua tahun ia terus menunggu. Hingga suatu hari, ia tersadar bahwa dirinya semakin tenggelam dalam sebuah keinginan, tanpa menyertakan Allah dalam kehidupannya. Ia pun tersadar. Semenjak itu, ia selalu meminta keridhaan Allah untuk memberikan dirinya dan suaminya keputusan yang terbaik terkait momongan. Subhanallah, Maha Pemurah dan Pengasih nya Allah. Temanku pun menuturkan bahwa dalam tempo kurang dari enam bulan, ia menerima sebuah kabar gembira dari Allah. Dirinya dan suaminya dipercaya untuk menjadi sepasang orang tua. Subhanallah Alhamdulillah, ternyata Allah memang benar-benar memberikan apa yang kita butuhkan, bukan kita inginkan. Waktu dua tahun lebih yang diberikan Allah bagi temanku dan suaminya, bisa jadi adalah waktu untuk muhasabah diri beserta mempersiapkan kesiapan mental guna menjadi seorang ayah dan ibu.

Cerita lain datang dari salah seorang teman akrabku yang akan mencapai umur 29 tahun di 2012 ini. Pengalamannya dalam hidup, menjadikanku berfikir bahwa manusia memang sering terbawa emosi dan nafsu. Temanku yang mempunyai perawakan tinggi ini bercerita bahwa di umur nya yang mencapai 25 tahun ketika itu, ia sudah gelisah memikirkan sang pendamping hidup yang tak kunjung tiba. Memang, kala itu ia keluarganya tengah dirundung masalah. Ibunya sakit dan ayahnya pun sudah menua. Baginya, umur 25 tahun adalah umur yang pas untuk menikah. Pengkhianatan sejumlah lelaki yang datang, membuat ia berfikir bahwa ada ketidakadilan yang diberikan Allah padanya. Ia bertanya, ‘mengapa teman-temanku yang tak lebih pintar dan sukses dariku sudah menikah dan menemukan pasangannya. Sedangkan aku belum. Apakah aku memang tak layak untuk disenangi?’. Itulah pertanyaannya ketika itu. Setelah segala fikiran ketidakadilan yang ia alami dalam hidup berkecamuk di dirinya selama berbulan-bulan, akhirnya ia pun tersadar bahwa kala itu, ibunya lebih membutukan kehadirannya di sisinya, dibanding melihat sang anak cepat-cepat bersanding di kursi pelaminan.

Ia teringat bahwa ridho Allah terletak di dalam keridhoan orang tua dan marahnya Allah ada dalam kemarahan orang tua. Allah tentu lebih mengetahui waktu yang tepat untuk mempertemukan seseorang dengan pasangan sejati, dunia akhirat. Tak lama setelah sang ibu sembuh, Allah mempertemukan temanku dengan lelaki soleh yang sangat sayang pada orang tuanya dan dirinya di umurnya yang ke 27 tahun. Kini, ia merasa sangat bahagia dengan kehadiran sang suami dan anak nya yang sudah berumur satu tahun. Subhanallah... Allah lebih mengetahui apa yang kita butuhkan, dibanding apa yang kita inginkan. Nyatanya, masih saja kita egois, merasa bahwa keinginan kita lah yang lebih benar untuk kebahagiaan diri kita. MasyaAllah...

Pengalamanku akan sebuah keinginan, adalah di saat aku mencoba beberapa kali untuk bisa menembus beberapa beasiswa prestisius ke luar negeri di tahun 2008. Saat itu aku yang masih terkungkung dengan idealismeku berfikir bahwa aku harus meneruskan studi magisterku di luar negeri, tidak boleh tidak, apapun yang terjadi! MasyaAllah... saat aku tersadar, betapa egoisnya diriku. Mengira bahwa idealismeku adalah segalanya, bahkan kebahagiaanku dalam hidup. Ternyata, di tahun 2009 akhir, Allah mempunyai rencana lain. Setelah setahun lebih aku bekerja, Allah memberikanku kesempatan untuk mengenyam bangku kuliah kembali, melalui sentuhan tangan sayang orang tua ku. Alhamdulillah, di tahun 2011 aku selesai merampungkan studiku. Allah pun kembali memberikan karunianya yang Subhanallah luar biasa di tahun 2012 ini. Ya, IA memberikanku sebuah amanat untuk bisa mengamalkan ilmu yang ku dapat dengan mengajar di sejumlah kampus yang ada di Jakarta.

Ya Allah... rasanya tiada lagi kata yang bisa terucap, selain rasa syukurku. Beberapa waktu belakangan, ketika aku melamunkan masa lalu, aku sadari bahwa segala pilihan kita dalam hidup, adalah atas petunjuk dan keridhoanNya. Jika saja saat itu aku lolos mendapatkan beasiswa ke luar negeri, aku tidak bisa melakukan salah satu baktiku pada kedua orang tuaku, yang ternyata lebih menginginkanku untuk ada di Indonesia dan menjaga kedua adikku yang masih butuh perhatian. Jadwal penelitian dan mengajar yang cukup padat yang dialami oleh kedua orang tuaku, membuat keduanya mempercayaiku sebagai figur anak sulung, untuk memperhatikan kebutuhan kedua adikku.

Mungkin banyak diantara kita yang telah merasakan bahwa Allah memang lebih mengetahui apa yang kita butuhkan. Sehingga apapun yang tengah Allah berikan dalam indahnya perjalanan hidup kita, bukan karena itu adalah hal yang sangat kita inginkan, melainkan kita butuhkan. Bagaimana dengan pengalamanmu?

Jakarta, 11 Februari 2012.

Minggu, 05 Februari 2012

Benarkah Pemerintah Indonesia Sayang pada Rakyatnya?

Judul di atas tidak bermaksud untuk menghakimi atau bahkan menuduh sang penguasa daerah atau pusat yang tengah mabuk kepayang, menikmati manisnya kekuasaan. Jika kekuasaan sebuah pemerintah tidak boleh terpusat, harus terbagi-bagi seperti yang dipaparkan oleh Montesque, maka Indonesia pun mempunyai tiga kekuasaan dalam sistem pemerintahnnya. Kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tiap lembaga kekuasaan tersebut tentu mempunyai tugas dan fungsi masing-masing. Namun, kali ini kita akan bertanya lebih jauh, bahwa apakah kemudian tugas, tanggung jawab dan amanah yang diberikan oleh segenap rakyat Indonesia, telah mereka jalankan dengan baik?
Beberapa kejadian dalam keseharianku, bahkan mungkin kita semua, menjadikan banyak pertanyaan hadir dan berkecamuk dalam fikiranku. Akhirnya, semua pertanyaan itu bermuara pada satu titik pertanyaan inti. Apakah benar pemerintah Indonesia itu sayang pada rakyat yang dipimpin nya? Rakyat yang telah memilih nya sebagai penanggung jawab pemerintahan setempat. Salah satu hal yang sering membuatku bertanya adalah ketika melihat potret transportasi di Indonesia, khususnya Jakarta sebagai ibukota.

Hari itu, untuk kesekian kalinya setelah rehat sejenak dari aktifitas menunggu Trans Jakarta busway di halte busway selama kuliah di bilangan Salemba, aku pun kembali menekuni aktifitas itu. Yups, aktifitas apa lagi jika bukan MENUNGGU bus Trans Jakarta yang tidak kunjung datang. Bukan hanya 10 atau 15 menit, namun rasa kesabaranku untuk menunggu Trans Jakarta busway rupanya tengah diuji selama satu jam empat puluh menit. Bayangkan! Dalam kondisi antrian yang semakin menumpuk, armada Trans Jakarta busway pun sangat minim. Kondisi kedatangan Trans Jakarta busway yang lama, membuat beberapa orang calon penumpang yang telah membayar tiket masuk, memutuskan untuk keluar dari barisan dan memilih untuk naik angkutan umum lainnya. Satu orang di sampingku yang mempunyai perawakan sangat tinggi, bahkan sampai menelfon rekannya untuk membatalkan janji bertemu yang telah mereka sepakati sebelumnya. Bukankah ini potret nyata dan miris atas terlanggarnya hak-hak warga negara untuk mendapatkan layanan publik yang nyaman dan menguntungkan mereka? Baik dari segi manajemen waktu dan harga tiket yang bisa dijangkau oleh semua kalangan.

Tiap orang yang mengantri, nampak menampilkan wajah BT nya dan lelah nya. Bagaimana tidak? Bukankah niat mereka untuk naik Trans Jakarta busway adalah untuk mendapatkan kenyamanan setelah jam pulang kerja? Atau bahkan bisa merasakan lancarnya jalur Trans Jakarta, sehingga bisa sampai di rumah dengan tepat waktu? Nyatanya, satu jam empat puluh menit yang kami gunakan untuk menunggu kedatangan sang bus, tidak dapat memenuhi segala bentuk harapan yang ada pada sebuah transportasi publik bernama Trans Jakarta busway. Meski mungkin manajemen Trans Jakarta mempunyai alasan tersendiri, mengapa penumpang nya harus menunggu selama satu jam lebih, namun bukanlah labelling transportasi publik yang melekat pada sebuah Trans Jakarta busway, menjadikannya harus siap sedia memenuhi kebutuhan rakyat? Semangat inilah yang tidak dipunyai oleh pemerintah Indonesia, termasuk Pemda DKI Jakarta.

Jika kita melihat kondisi per-kereta api-an ekonomi di Jakarta , yang dibandrol dengan harga murah, yaitu hanya Rp.2000,- , dan di padati oleh potret kerumunan massa di atas kereta api, maka sebuah pertanyaan muncul. Sudahkah pemerintah Indonesia memikirkan solusi dari perilaku masyarakat tersebut?
Sebuah berita di salah satu media massa yang memberitakan bahwa PT KAI (Kereta Api Indonesia) berencana untuk menghilangkan kereta ekonomi, nampaknya bukan langkah yang tepat pula. Sebagai pemerintah, bukankah mudah untuk mengajukan saran dalam rencana kebijakan PT KAI ke depan? Nampaknya, penghilangan kereta ekonomi hanya akan menimbulkan masalah baru. Bukankah lapisan masyarakat Indonesia yang mayoritas berada pada level menengah ke bawah, menjadikan kereta ekonomi sebagai satu-satunya alat transportasi yang cepat dan murah. Bayangkan! Dengan hanya membayar RP.2000,- anda bisa melakukan perjalanan dari Jakarta-Bogor atau sebaliknya serta tujuan-tujuan lainnya. Bukanlah lebih baik jika malah armada kereta ekonomi diperbanyak atau opsi kedua adalah menggalakkan commuter line, namun dengan harga yang lebih terjangkau bagi siapapun. Misal, jika saat ini commuter line dibandrol dengan harga Rp.6.000- Rp.7.000,- , harus ada pengurangan nominal harga tiket, seperti halnya menjadi Rp.4.000,-. Bukankah kebijakan ini mencerminkan kepedulian pemerintah terhadap kondisi masyarakatnya? Jangan sampai kita mengatakan ‘ahhh... pemerintah dan penguasa mah nggak pernah merasakan susah. Tiap hari disediakan mobil dengan segala fasilitas mewah lainnya’, karena memang kenyataan yang ada adalah seperti itu.

Jika kualitas pelayanan dan manajemen Trans Jakarta busway serta kereta api sebagai roda penting dari sebuah aktifitas adalah jelek, lantas kepada siapa lagi rakyat berharap, jika bukan pada pemerintah? Nyatanya, pemerintah malah menunjukkan sikap arogansi dan ketidak sayangan nya dengan tidak pernah melibatkan masyarakat itu sendiri. Segala kebijakan yang keluar di Negara ini, mayorits adalah bukan atas hasil kesepakatan ataupun implementasi dari partisipasi politik warga. Namun, hanya menjadi sebuah penerapan aturan yang HARUS dipatuhi oleh semua warga Negara Indonesia. Nah, jika sudah begini, masihkah kita bisa mengatakan bahwa pemerintah Indonesia itu sayang pada rakyatnya? Mungkin terlalu dini untuk mengasumsikan ketidaksayangan pemerintah Indonesia pada rakyat Indonesia. Tapi juga perlu kita ingat, bahwa potret atas kondisi kualitas transportasi kita yang masih jauh tertinggal dari Negeri Jiran Malaysia ataupun Singapura dan Hongkong adalah benar adanya. Jika Malaysia, Singapura dan Hongkong sudah mempunyai Mass Rapid Transportation (MRT) dengan manajemen waktu yang mutlak datang per dua menit atau lebih (tapi tidak sampai berjam-jam lho ya), bagaimana dengan Indonesia?

Mengapa mayoritas anggota DPR sebagai bagian dari lembaga kekuasaan legislatif, malah lebih sibuk membicarakan anggaran untuk fasilitas mereka saja? Apakah kesejahteraan rakyat tidak lebih penting bagi para ‘wakil rakyat’ ini? atau bahkan budaya malu sudah hilang dari bumi Indonesia? Sehingga para pemerintah yang memimpin di bumi Indonesia ini, dengan wajah tanpa dosa, melakukan studi banding yang tidak penting. Atau kerjasama pemerintah daerah dengan pengusaha yang akan menanamkan investasi nya di daerah. Atau juga kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia yang secara terang-terangan lebih memperhatikan infrastruktur di beberapa titik yang dilalui oleh pengusaha. Tidak lain tidak bukan hanya dengan satu niat, yaitu ‘MEMUDAHKAN’ bisnis sang pengusaha, dibanding menengok kondisi pasar-pasar tradisional yang selalu diidentikkan dengan tempat yang bau dan becek.

Jika memang pemerintah Indonesia sayang pada rakyat Indonesia, buktikanlah bahwa mulai detik ini bahwa kepentingan rakyat ada di atas kepentingan lainnya, terutama kepentingan pribadi. Wahai pemimpin, berkacalah dari kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab yang tidak bisa tidur jika ada rakyat nya yang masih kelaparan. Seorang pemimpin yang mau terjun ke lapangan untuk melihat kondisi rakyatnya. Masihkah ada tipe pemimpin seperti Umar bin Khattab di bumi Indonesia ini? Aku fikir aku termasuk orang yang masih mempunyai rasa optimisme. Masih ada pemimpin yang benar-benar bekerja atas dasar melaksanakan amanah dari rakyat. Namun, berapa banyak pemimpin yang bersikap seperti itu??

Akhirnya kita harus menyadari bahwa kekuasaan yang mutlak memang cenderung untuk berprilaku korup. Seperti kata-kata yang sudah sangat sering kita dengar, yang di sadur dari pernyataan Lord Acton; “Powers tend to corrupt and absolut power corrupt absolutely”. Wewenang lembaga legislatif yang demikian kuat, layaknya kekuatan kekuasaan eksekutif dan kemudian yudikatif yang ada di Indonesia, membuat sang pemerintah tidak mau beranjak dari posisi nyaman nya, yaitu KEKUASAAN. Sang rakyat pun harus menanggung prilaku ‘KAGET’ sang pemerintah atas kekuasaan yang di dapat. Parahnya lagi, prilaku KAGET tersebut, membuat kita sebagai rakyat Indonesia makin menyadari dan bertanya ‘Bener nggak sih pemerintah Indonesia ini sayang sama rakyatnya?’. Coba kita jawab dan renungkan dalam-dalam.

5 Februari 2012.