Minggu, 12 Februari 2012

PARTNER hidupmu adalah Cinta Sejatimu..

Rasanya tangan ini tidak sabar untuk menuliskan kejadian yang kualami dan kudengar sore ini. Minggu siang adalah hari yang paling indah bagiku. Bukan karena bertemu dengan sang pujaan hati seperti kebanyakan anak muda masa kini, namun tiap hari itulah aku bersama beberapa temanku mengikuti kursus politik. Setelah belajar selama beberapa jam, waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB. Beberapa temanku langsung berpamitan pada tutor kami yang sangat aktif di sebuah gerakan. Wajahnya yang ayu, semangat nya untuk terjun langsung menangani sejumlah problematika perempuan Indonesia serta tulisan-tulisannya yang tajam mengkritik kondisi bangsa ini, adalah atmosfer yang sangat kami sukai. Melalui pendekatan historisitas lah dia menunjukkan serangkaian sejarah awal mula gerakan perempuan dan perjuangan feminisme dalam kacamata politik dan perspektif lainnya.

Setelah beberapa teman berpamitan, tinggallah aku dan satu orang temanku yang ditugasi sebagai koordinator kursus politik ini. Temanku pun masih harus menindaklanjuti sejumlah referensi yang akan digunakan untuk kursus minggu depan, seraya memintaku untuk menunggunya. Sambil menunggu, aku memutuskan untuk shalat Ashar terlebih dahulu. Selesai shalat, aku berkaca dan melihat sejumlah koleksi foto-foto kenangan ia dan almarhum suaminya yang terpajang di atas sebuah meja nan tinggi. Dengan sedikit ragu karena takut membuka kesedihan masa lalu setelah ditinggalkan suaminya, aku pun memberanikan diri untuk menanyakan pengalamannya melalui sebuah fase kehidupan dengan sang suami. Keingintahuanku bukan tanpa alasan. Saat ia memberikan satu buku sebagai salah satu referensi kami, ia menekankan untuk menjaga buku tersebut dengan baik. Usut punya usut, ternyata dalam buku itu, terdapat beberapa artikel, yang diantaranya adalah tulisannya dan tulisan sang suami. Ragu yang sempat sedikit singgah dihatiku untuk bertanya, berubah menjadi tenang. Tanpa ku duga, wajahnya seakan sumringah dan riang ketika ku tanya mengenai almarhum suaminya yang meninggal di tahun 2006. Hal itu nampak jelas dari ekspresi wajah yang ia tunjukkan pada kami berdua.

Aku pun memutuskan untuk membuka pertanyaan ku dengan sebuah kalimat ‘mba, almarhum suamimu seorang aktifis ya?’. Ia pun menjawab ‘ia lebih dari sekedar seorang aktifis’. Sebuah jawaban yang sangat singkat dan sarat dengan unsur perasaan sayang terdalam. Tanpa ku keluarkan pertanyaan kedua, ia pun menceritakan kehidupan yang ia jalani selama kurang lebih 11 tahun dengan sang suami dengan sangat lancar. Jarak umur yang terbilang cukup jauh, ternyata tidak menjadi penghalang bagi sebuah keseimbangan dalam kehidupan rumah tangga. Ia sangat mengagumi sang suami yang merupakan aktifis di zaman orde baru, mantan tahanan politik, mempunyai pengalaman menjadi jurnalis di salah satu media nasional, pernah menjadi anggota DPR termuda dengan usia 26 tahun. Diantara semuanya, satu hal yang sangat ia banggakan akan figur suaminya, bahwa sang suami menganggap sang istri sebagai partner hidup, bukan seorang istri yang letaknya subordinatif di bawah suami, yang bisa disuruh dan di siksa serta di maki kapanpun, persis seperti banyaknya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terjadi di Indonesia.

Sikap sang suami yang sangat memahami semangat nya dalam memperjuangkan perempuan Indonesia dan kaum buruh, menjadi amunisi baginya dalam menjalani hidup. Ia berkata bahwa ia seakan tidak peduli dengan hidup mereka yang sederhana dan tidak bermewah-mewahan. Baginya, sebuah karunia Allah karena telah mempertemukannya dengan sang suami yang asli Jawa Timur itu, sudah lebih dari cukup. Bahkan, suami memberi dukungan penuh ketika sang istri menjadi ketua sebuah LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan dan perlindungan perempuan. Status sebagai aktifis dan mantan tahanan politik yang mempunyai konsep berfikir yang sangat baik dan dahsyat, membuat tutorku ini menyebutnya sebagai sang ensiklopedia. Hari-hari mereka berdua, dilalui dengan aktif menulis, bercengkerama tentang suatu hal yang serius dan bahkan tidak serius. Meski mempunyai lokus perjuangan yang berbeda, tutorku mengatakan bahwa mereka berdua sangat gemar menulis, bahkan mempunyai tempat masing-masing di rumah nya untuk menulis sejumlah tulisan kritis dan membangun.

Berdasarkan cerita sang istri, perlakuan lembutnya pada perempuan tunjukkan nya dengan menyalahkan beberapa teman sang suami yang mengatakan bahwa kepintaran isteri adalah bentukan dan tempaan dari suami. Dengan semangat 45, sang suami memaparkan pada teman-temannya bahwa si istri memang sudah sangat pintar dan mempunyai wawasan nan luas, jauh sebelum mereka berdua berkenalan. Anggapan sejumlah temannya bahwa perempuan tidak bisa apa-apa tanpa ‘bentukan’ sang suami, dipatahkan oleh sang suami sendiri, tanpa disuruh oleh tutorku ini. Bahkan, sang suami mendukung isterinya untuk terbiasa berdiskusi kritis dengan teman-teman seperjuangannya, yang kerap di sebut dengan panggilan generasi lama. Jangan salah lho ya, kita harus mengakui bahwa generasi lama Indonesia (baik yang hidup ketika orde lama, orde baru dan hingga reformasi baru bergulir di tahun 98) adalah generasi yang sangat berkualitas. Bersikap kritis dan pandai berdiskusi dengan baik serta menguasai konsep teori dengan utuh dan mendalam. Tidak bisa kita samakan dengan generasi baru saat ini, di era reformasi, yang kebanyakan tidak mempunyai kepedulian terhadap sesama dan kegemaran untuk berdiskusi. Mungkin kita pun dapat bertanya pada diri sendiri, termasuk tipe generasi yang manakah kita ini?

Cerita berlanjut pada bulan-bulan terakhir ia hidup dengan suaminya. Tutorku ini bercerita bahwa segala sesuatunya seakan sudah di atur oleh Tuhan menjelang kematiannya. Tiga bulan pertama, sang suami sedikit kesusahan untuk berbicara pada siapapun, termasuk sang istri. Meski keadaan hidup sangat sederhana, sang isteri tidak merasa kesusahan sedikitpun dan juga tidak merasa terbebani dengan keadaan suami yang sudah mengkhawatirkan. Namun, si isteri mengakui bahwa saat-saat itu adalah saat yang berat dalam hidupnya. Rasa keheningan pun ia alami. Hari yang biasa diisi dengan obrolan ringan, diskusi dan kebersamaan, seakan meredup baginya. Hingga dua minggu sebelum kematian sang suami, isteri menceritakan bahwa sikap suami sangatlah perhatian dan benar-benar menunjukkan kasih sayangnya. Suatu hari, ia menyatakan rasa cintanya pada sang isteri dengan bahasanya sendiri, bahwa isterinya lah satu-satunya perempuan yang ia cintai selama hidupnya.

Aku pun terus mendengarkan dengan seksama pada bagian-bagian tersulit dan ‘teraneh’ menurut tutorku ini. Ketika aku menengok temanku yang duduk di sampingku, air matanya mengalir tanpa terasa dan sedikit malu ketika kita menangkap basah dirinya tengah meneteskan air mata. Tibalah hari itu, hari di mana sang suami pergi meninggalkan isteri tercintanya untuk selama-lamanya. Hingga akhir hidup sang suami, si isteri tidak pernah merasa sedih karena segala kondisi kehidupan rumah tangga yang ia alami adalah memanusiakannya dan membahagiakannya. Sang suami benar-benar menganggapnya sebagai partner dan bukan pengasuh atau orang yang harus berada pada titik subordinasi kebanyakan laki-laki atas perempuan. sang tutor menceritakan bahwa almarhum suaminya meninggal di pangkuannya dan dimakamkan dengan cara sangat mengharukan, yaitu di kelilingi orang tersayang, teman-teman tahanan politik dan teman-teman organisasi yang pernah di pimpinnya. Lagu kebangsaan Indonesia Raya pun dinyanyikan oleh seluruh hadirin yang datang dan melepas kepergiannya ke liang kubur. Sampai akhir ceritanya, perempuan nan sangat menguasai sejumlah konsep teori ini tidak meneteskan air mata sedikitpun. Ia menganggap bahwa kebersamaannya yang terhitung singkat dengan suami, seluruhnya adalah kebahagiaan. Tiada hari tanpa kebahagiaan.

Menjelang pamitnya kami berdua, aku pun teringat pada angan dan cita serta doaku pada Allah sejak dulu, bahwa semoga kelak aku dipertemukan dengan PARTNER hidupku yang kemudian adalah cinta sejatiku di dunia dan akhirat. Amin..

12 Februari 2012.

2 komentar:

  1. Amiin...
    Amiin y Robbal 'alamiin..

    mudah2n cepet ketemu partnernya yah Jeung.. :p

    BalasHapus
  2. Amiin.. makasih ya jeng Amel,, :) you too jeng ^^

    BalasHapus