Kamis, 16 Februari 2012

Wajah Damai Para Penerus Bangsa

Dua hari belakangan ini aku memperhatikan dua buah kejadian yang menghampiri diriku. Kejadian pertama bisa dibilang sebagai hal yang mengecewakan. Bagaimana tidak? Keputusanku siang menjelang sore hari itu untuk naik bus trans Jakarta busway guna mengejar waktu tiba di kantor, pupus sudah. Meski jam kantor ku sangat fleksibel karena ditugasi deadline tulisan yang tak mewajibkanku berada di kantor seharian, namun sore itu aku mempunyai janji dengan salah seorang buruh migran perempuan. Sang buruh migran ingin menyampaikan sejumlah cerita hidupnya ketika menjadi PRT migran di China. Suara gaduh dan panik para penumpang trans Jakarta, membuyarkan lamunanku akan konsep cerita yang akan dipaparkan oleh PRT migran asli NTB tersebut. Jeritan para penumpang yang disebabkan oleh suara letupan gas di bagian pintu belakang trans Jakarta, membuatku ikut panik dan memutuskan untuk langsung loncat dari pintu bus yang telah terbuka.

Asap pun memenuhi ruangan dalam bus. Meski tidak terjadi kebakaran seperti yang dikhawatirkan oleh banyak pihak, namun tetap saja seluruh penumpang memutuskan untuk loncat. Kebayang kan, bagaimana jadinya untuk sebagian perempuan yang mungkin kala itu memakai sepatu hak tinggi atau selop, hadeuh..

Loncatan untuk sampai pada dasar tanah berpijak lumayan tinggi, terutama untuk seorang ibu-ibu yang aku prediksi berumur 50 tahun-nan itu. Ya, setelah sebagian dari kami di tolong untuk naik ke halte trans Jakarta, ada seorang ibu-ibu tua yang mengeluh kesakitan kakinya, setelah loncat dari badan dalam bus. Di samping ibu tua itu, nampak temannya dan seorang anak muda berseragam putih abu-abu. Dengan cekatan, sang pemuda yang sepertinya duduk di bangku kelas dua SMA itu, menanyakan kondisi kaki sang ibu serta menenangkan kepanikan sang ibu. Aku sendiri berdiri di hadapan mereka bertiga dan masih dengan kondisi kaki yang keram setelah meloncat karena panik.

Aku tidak habis fikir, mengapa pihak Pemda DKI Jakarta tidak pernah belajar dari kesalahan-kesalahan lalu mengenai keselamatan para penumpang trans Jakarta busway. Masih ingat kejadian terbakarnya bus trans Jakarta di bilangan Blok M? Kepanikan dan bayangan itulah yang bisa jadi menggelayuti segenap penumpang trans Jakarta busway hari itu. Semestinya, baik supir maupun petugas busway bisa menenangkan suasana di dalam bus. Lebih wajib lagi untuk pihak trans Jakarta mematuhi aturan yang mereka buat sendiri, yaitu memastikan bahwa bus layak jalan sebelum mengangkut penumpang. Terlebih, konsisten dengan asuransi yang telah mereka tulis di tiap karcis yang ada, bahwa ‘harga tiket trans Jakarta sudah termasuk asuransi Jasa Raharja’. Apa sang ibu mendapat asuransi karena kelalaian petugas yang tidak bisa melindungi penumpang bus? Lepas dari itu, perhatianku tertuju pada sang pemuda, anak SMA yang sama sekali beda dari mayoritas kebiasaan teman sebayanya. Banyak di kalangan anak SMA yang sudah tidak peduli lagi dengan keadaan sekitar. Tidak hanya anak SMA, namun seluruh generasi muda bangsa ini.

Setelah sang ibu meraung tanda kesakitan yang amat, kaki nya pun tidak bisa digerakkan. Bahkan untuk berjalan dan menapakkan kaki pun ia tidak bisa. Akhirnya sang pemuda tersebut menuntun sang ibu, berbarengan dengan satu teman dari ibu itu. Subhanallah, aku terharu akan kebaikan hati anak SMA itu. Jarang sekali aku melihat potret generasi muda seperti itu, terlebih di kota kosmopolitan seperti Jakarta. Sepintas aku lihat bahwa sang ibu sudah tidak kuasa lagi menahan rasa sakitnya dan memutuskan untuk tidak melanjutkan usaha nya berjalan. Pemuda tadi pun masih setia menunggui sang ibu seraya mengajaknya berbicara. Rasa bangga pun menyelimuti diri ini, melihat generasi muda bangsa yang mempunyai kepedulian dengan sesama.

Kejadian kedua yang kualami adalah di sore hari ini. Merupakan kebiasaanku untuk naik bemo sepulang dari perpustakaan Freedom Insitute di depan kawasan Tugu Proklamasi. Bagiku, banyak hal bisa kuamati ketika naik bemo. Susunan duduk yang berhadapan dan langsung melihat ke luar, semakin menjadikan perjalanan ini menyenangkan. Bayangkan, kita bisa mengamati kemacetan Jakarta di sore hari, lengkap dengan potret asap polusi kendaraan yang membuat hidung gatal juga menahan nafas. Hehe.

Kejadian yang kemudian juga menyedot perhatianku adalah, bahwa sang supir bemo merupakan pemuda berumur 19 tahun (setelah kutanyakan umurnya, seraya mengajak ngobrol). Dengan semangat 45, ia mengemudikan bemo itu, yang bisa saja kepunyaan bapak nya atau keluarganya. Parahnya lagi, di tengah suasana asyik menikmati Jakarta di sore hari menjelang maghrib, ternyata bemo yang kami tumpangi pun mogok. Setelah cukup lama sang pemuda mencoba men-starter mesin bemo nya dan tidak ada hasil, maka kami, seluruh penumpang nya memutuskan untuk turun dan menunggu bemo lainnya. Sebagian dari kami memutuskan untuk membayar ongkos naik pada sang pemuda, meski tujuan akhir belum di capai. Awalnya ia menolak bayaran dari kami, mungkin karena ia merasa bahwa tugasnya untuk mengantarkan penumpang sampai tujuan akhir nya masing-masing, belum tercapai. Namun, setelah dipaksa oleh penumpang, akhirnya ia pun mengambil uang yang kami sodorkan.

Ia membutuhkan waktu beberapa menit untuk memperbaiki mesin bemo nya sendirian. Akhirnya, mungkin kami (beberapa penumpangnya) masih berjodoh dengan bemo itu. Sang pemuda berhasil membetulkan bemo nya dan memanggil kami kembali untuk naik. Subhanallah... meski umurnya sudah mencapai 19 tahun, namun tetap saja, bagiku ia sudah berjuang untuk ikut memenuhi kebutuhan keluarganya. Tidak itu saja, ia bertanggung jawab pada penumpangnya dengan mengajak para penumpang kembali naik setelah mesin bemo nya menyala. Jarang lho ada supir bemo anak muda dan mempunyai sikap seperti itu, ya kan?

alih-alih penumpang diperbolehkan tidak membayar ongkos bemo karena mesin mogok, beberapa supir lain sore yang pernah kutemui malah meminta agar seluruh penumpang membayar ongkos bemo yang dinaiki.

Dua kejadian yang kualami itu, membawaku pada sebuah perenungan, alangkah indahnya jika generasi muda bangsa mempunyai sikap, semangat dan prilaku yang baik seperti dua pemuda yang ku temui. Meski arus globalisasi menjadikan tiada batas antara arus informasi, gempuran akan budaya barat dan berbagai gaya hidup keduniawian lainnya yang melanda generasi muda, namun karakter bangsa haruslah tetap di pertahankan. Semoga wajah damai itu tetap terjaga untuk seluruh generasi penerus bangsa.

Jakarta, 16 Februari 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar