Minggu, 11 Maret 2012

Ego Diri, Kesenangan dan Sikap ‘Acuh’ Pemerintah

Jakarta pagi hari, layaknya kota-kota besar di berbagai penjuru dunia nan padat dengan arus mobilitas warganya. Beraktifitas di bilangan kota, membuatku kembali merasakan ritme moda transportasi yang cukup melelahkan, namun asyik untuk diperhatikan. Kenapa kembali? Ya, sebelumnya aktifitas pergi ke dan pulang dari arah kota telah menjadi bagian dari hidupku selama kurang lebih dua tahun belakangan, ketika memutuskan untuk meneruskan studi di bilangan Salemba. Beberapa bulan kosong dari aktifitas tersebut dan fokus dalam hal lain, membuatku perlu merasakan transisi atmosfer yang berbeda dalam menggunakan dan merasakan moda transportasi publik di ibukota ini. Banyak hal menarik untuk diceritakan selama dalam perjalanan. Perjalanan selalu menghadirkan ide segar, refleksi diri dan hikmah yang perlu diambil oleh tiap individu.
Pagi itu, seperti biasa, moda transportasi yang paling sering aku gunakan kini adalah transJakarta busway. Tak perlu di ragukan lagi mengenai jalur. Jika ingin melewati arah Mampang, kemudian Kuningan dan menuju kota melalui Dukuh Atas, tidak ada transportasi lain yang paling ‘memungkinkan’ cepat sampai, kecuali transJakarta. Yaa selain ojek tentunya ya. Meski demikian, waktu menunggu yang lama, serta potret berdesakan yang lumayan menjengkelkan, masih membuat banyak warga ibu kota yang enggan naik bus satu ini. Akhirnya, potret kemacetan ibu kota pun masih saja belum terselesaikan, meski banyak koridor telah di buka oleh pihak Pemda DKI Jakarta. Kejengkelan warga ibukota untuk menunggu kedatangan transJakarta sudah tiap hari kurasakan. Saking jengkelnya, akhirnya sikap diam sambil mengamati, adalah sikap yang ku pilih. Tulisanku kali ini adalah sedikit refleksi dari pengamatanku.

Hari itu, adalah pagi paling sibuk di ibukota. Ya, apalagi jika bukan Senin pagi? Meski baru melewati tiga halte, bus transJakarta sudah terisi penuh, hingga tak satu pun ruang bisa diisi oleh calon penumpang. Tiba di pemberhentian (halte) ke empat, setelah pintu bus terbuka, ada seorang perempuan yang memaksa masuk untuk bisa cepat sampai di kantornya. Terjadilah percakapan yang cukup seru antara dia dan petugas bus transJakarta. “Mba, udah nggak cukup, jangan dipaksa masuk”, ujarnya. Perempuan itu menjawab “Saya nggak mau tahu mas, saya mau masuk. Saya udah nunggu dari tadi ni”. Sang petugas pun berujar, “Nggak bisa mba, nanti kalau mba masuk, saya mau berdiri di mana?”, kilahnya. Tidak mau kalah dan tetap berpendirian keras untuk masuk, sang perempuan kembali berkata, “Ya saya nggak mau tahu mas. Mas kan bisa di mana kek, di depan sana atau di mana. Saya sudah nunggu dari tadi ni mas, lama banget”. Sang petugas pun diam karena kesal. “Ya sudah, silahkan mba masuk, tapi jangan salahkan saya, karena mba ingin masuk, maka bus nya nggak bisa jalan”, ucap sang petugas. Akhirnya, perempuan muda itu diam seraya menggumam dan menunjukkan sikap kesal nya. Aku yakin, penumpang di transJakarta pun akan menanggapi kejadian tersebut dengan pendapat yang berbeda-beda. Ada yang kesal melihat tingkah laku sang perempuan, karena telah memperlama laju perjalanan. Ada juga yang prihatin karena alasan dia yang telah menunggu lama untuk kedatangan bus, pernah di rasakan pula oleh banyak penumpang. Aku pribadi, sejujurnya memahami kondisi perempuan tersebut. Bagaimana rasanya ketika kita dikejar waktu untuk bisa sampai di kantor tepat waktu dan dengan menaiki transportasi yang nyaman tiap harinya. Wah, tentunya itu dambaan tiap warga Indonesia bukan? Termasuk juga perempuan muda tadi. Bisa jadi karena saking kesalnya tiap hari ia harus menunggu kedatangan transJakarta yang lama, kemudian bus datang satu per satu dengan kondisi padat penumpang, sehingga ia tidak bisa masuk, titik kekesalan ia pun sampai pada puncaknya.

Tidak heran, jika kemudian kita banyak melihat ‘penunjukkan’ ego diri di sekitar kita hadir. Ucapan perempuan muda di atas, yang tidak mempedulikan akan diletakkan di mana sang petugas transJakarta itu, secara tidak sadar, memperlihatkan kemunculan ego manusia, yang ingin kebutuhan dirinya sendiri terpenuhi, tanpa peduli dengan yang lain. Namun, ego seorang warga juga hadir karena sebab akibat, refleksi kekesalannya. Bayangkan jika tiap hari ia harus di sajikan dengan kondisi serupa, padahal ia telah taat mematuhi anjuran pemerintah untuk naik transportasi publik guna mengurai dan mengurangi kemacetan. Maka, wahai pemerintah, jangan salahkan warga jika jumlah motor yang ada di jalan-jalan Jakarta, ibarat lalat yang mengerumuni makanan. Tentu warga sudah jenuh dan kesal dengan kondisi kemacetan yang ada di ibukota. Naik transJakarta, harus menunggu lama dan selalu penuh di jam-jam sibuk. Naik taksi, sudah barang tentu mahal karena terjebak macet. Naik Kopaja atau Metro Mini, padat dan belum lagi hawa sesak yang hadir. Naik motor, hanya akan semakin memenuhi kota yang sudah penuh dengan polusi kendaraan ini. Pada akhirnya, keberadaan transJakarta busway sebetulnya adalah harapan (walau belum masuk pada tahap solusi) bagi warga ibukota untuk bisa merasakan transportasi yang bebas macet, ber AC dan terjangkau harganya. Sayangnya, pemerintah belum melihat itu sebagai upaya peningkatan rasa nyaman warga dalam menggunakan transportasi publik.

Perempuan muda yang bisa kukatakan sedang mengeluarkan ego diri nya itu, tengah merefleksikan bagaimana sebetulnya ia kesal dengan kondisi transportasi publik di Jakarta, yang belum bisa memberikan janji kenyamanan dan ketepatan waktu. Akhirnya, sudah pasti banyak kita jumpai orang-orang yang mudah tersulut emosi nya di Jakarta, karena ‘makanan’ tiap hari yang disediakan oleh Pemda, belum merefleksikan keberpihakan pada warga nya. Kemacetan dan rasa amarah yang gampang hadir ini mengingatkanku pada obrolan dengan dua teman baikku, yang kujumpai secara terpisah. Satu teman baikku yang berasal dari California, Amerika Serikat mengungkapkan rasa senangnya bisa merasakan hidup dan bekerja di Jakarta. Tugas kantornya yang memungkinkan dia untuk berkeliling daerah di Indonesia, membuatnya dapat menggambarkan argumen pribadinya padaku, antara tinggal di Jakarta dan luar Jakarta. Dalam aksen bahasa Indonesianya yang masih terbata-bata, ia mengatakan bahwa orang-orang di Jakarta memang mengasyikkan. Namun, orang-orang di daerah-daerah yang saya kunjungi lebih mengasyikkan, karena keramahan mereka. Berbeda dengan warga ibukota, ia berpendapat bahwa kadang warga ibukota itu tidak ramah, mementingkan diri sendiri dan hidup masing-masing. Yah, bisa dikatakan bahwa teman baikku ini menganggap bahwa warga ibukota itu selfish. Memang benar adanya. Psikologis warga negara ibukota jelas berbeda dengan warga di daerah. Bisa jadi ke-aku-an warga ibu kota itu, terjadi karena ‘bentukan’ sikap acuh pemerintah. Akumulasi kekesalan warga terefleksi dengan kekecewaan-kekecewaan mereka, seperti salah satunya masalah kemacetan yang di ceritakan juga oleh teman baikku lainnya, yang berasal dari Bangkok, Thailand.

Dengan sedikit senyum dan nada kecewa, ia ungkapkan bahwa kondisi kemacetan di Jakarta terasa lebih parah, dibanding dengan beberapa bulan lalu ketika ia mengunjungi Jakarta untuk menjadi pembicara di salah satu konferensi muslim internasional. Meski demikian, ia mengatakan bahwa Indonesia selalu membuatnya kangen, bahkan anak lelaki nya pun tak lelah untuk mengingatkan bapaknya, yang juga teman baikku ini, untuk membelikannya Indomie goreng rasa rendang di Jakarta. Tak tanggung-tanggung, sang bapak membelikannya dua kardus Indomie sekaligus untuknya. Yaaa, Indonesia, khususnya Jakarta, memang banyak menyimpan cerita dan kenangan. Meski capek menghadapi kemacetan yang tak kunjung terselesaikan di Jakarta, ada saja rasa kangen pada kota ini ketika pergi ke tempat yang berbeda.

Sikap kecewa warga akan rasa nyaman yang diberikan Pemda, nampaknya menggiring warga ibukota untuk mencari kesenangan ‘ala’ mereka pribadi. Persis seperti kejadian kemarin sore yang kualami di bilangan Kalibata, tepatnya di sekitar Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sore itu, setelah menyapa dan mengajar anak-anak nan lucu serta bersemangat di bilangan Rawajati-Ciliwung Kalibata, Jakarta Selatan, aku menaiki angkutan umum yang langsung menuju arah rumahku. Di perjalanan, kondisi sore akhir pekan sudah tentu menghadirkan kemacetan. Nah, di sela kemacetan itu aku mengamati sekian keluarga yang jumlahnya mencapai 10-15 keluarga, tengah memarkir motor mereka masing-masing di parkiran luar TMP Kalibata. Satu keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak mereka (ada yang masih berusia 2-3 tahun, bahkan ada juga yang sudah memasuki SD). Awalnya aku bertanya, mau apa mereka parkir di sekitar TMP ya? akhirnya, setelah kuamati, ternyata mereka membawa keluarga kecilnya ke sana untuk melihat rusa yang ada di lingkungan TMP Kalibata. Rusa-rusa itu nampak menggemaskan memang, layaknya rusa yang ada di DPR dan kebun raya Bogor. Tidak hanya melihat rusa, namun banyak nya pedagang yang berjualan di sekitar TMP pada akhir pekan (keramaiannya ibarat kebun binatang), memungkinkan para keluarga kecil itu untuk hanya sekedar bersenda gurau sambil melihat rusa, atau juga memang sebagai sarana hiburan akhir pekan. Ya, di banding pergi ke mall, tentu melihat rusa dengan keluarga lebih asyik. Sudah tidak keluar kocek mahal untuk makan yang biasanya kena pajak restoran, gratis pula melihat rusa-nya.

Tidak hanya pengunjung yang makan, namun rusa pun diberi makan oleh pengunjung, terutama anak-anak mereka yang sedang dalam masa emas dan tertarik segala sesuatu, termasuk memberi makan rusa. Akhirnya, warga sekitar yang entah dari mana asalnya, mengggunakan kesempatan itu untuk menjual wortel guna pakan sang rusa. Sejujurnya aku baru melihat rusa makan wortel. Aku pun tidak tahu, apakah sebenarnya wortel itu sehat bagi rusa-rusa itu? Yang penting bagi pengunjung adalah, toh rusa-nya senang di kasih makan wortel, dan di lahap juga olehnya. Lama kuamati dan kuberfikir, pencarian kesenangan ini tentu inisiatif mereka pribadi, di tengah maraknya pembangunan mall di Jakarta yang kian mengikis lahan kosong di DKI Jakarta. Pemerintah toh bukannya malah membangun kebun binatang lagi. Padahal, kebun binatang di Ragunan, Jakarta Selatan itu sudah penuh dan ibarat lautan manusia jika akhir pekan. Tentu pembuatan satu kebun binatang lagi akan sangat bermanfaat. Ke mana lagi warga ibukota mencari kesenagan? pergi ke taman, kita bisa lihat bagaimana bentuk Taman Menteng yang katanya menelan harga miliaran itu. Sungguh tidak bisa menyalurkan dan memberikan kesenangan bagi warga. Yang ada, taman itu hanya bagus untuk dilihat (meski menurutku tidak), daripada untuk dinikmati. Jika demikian, salahkah warga ibukota jika mereka akhirnya mencari kesenangan ‘ala’ mereka? Di satu sisi, aku mengkhawatirkan kondisi rusa-rusa itu yang diberi makan apapun dari pengunjung. Di satu sisi, warga ibu kota pun butuh fasilitas penyegaran dan hiburan alami, setelah lima hari berkutat dalam aktifitas kantor masing-masing yang memusingkan.

Semoga saja rasa ego diri dan pencarian kesenangan ‘ala’ pribadi ini bisa menggugah hati pejabat/ Pemda untuk kemudian LEBIH memikirkan kondisi warga nya, dibanding terus memberikan izin untuk pembangunan mall atau square-square lainnya, seperti yang ada di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan.

12 Maret 2012
Ana Sabhana Azmy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar