Senin, 23 Januari 2012

Belajar Jujur

Sore itu, aku memutuskan untuk belanja di sebuah supermarket di bilangan Pejaten. Hari libur Imlek yang jatuh di bulan Januari 2012 menghadirkan suasana yang sangat ramai dan cozy di supermarket tersebut. Rasa nyaman itu membuatku semakin betah untuk mengelilingi tiap sudut stand yang ada. Tak heran jika banyak pengunjung yang makin banyak berdatangan dan menghabiskan waktu nya untuk berlama-lama berbelanja di supermarket hingga membeli apapun yang sebetulnya tidak ada di daftar belanjaan mereka. Yaah, begitulah strategi sang supermarket untuk menjaring lebih banyak lagi pembeli dan menyingkirkan saingan nya, yaitu pasar tradisional. Ibuku sering berkata bahwa belanja di supermarket itu memang mengasyikkan hingga lupa waktu dan lupa diri. Berdasarkan pengakuannya, ada sensasi tersendiri ketika mengambil beberapa barang, baik makanan hingga belanjaan bulanan untuk kemudian meletakkannya di kereta dorong khas supermarket. Namun begitu tiba di kasir untuk kemudian dihitung harga total belanjaan, baru kesadaran untuk mengurangi beberapa belanjaan hadir. Terlebih ketika sang kasir menunjukkan total harga belanjaan yang harus dibayar, yang melebihi rencana awal ketika di rumah. Waaah,, sensasi nikmat yang beberapa jam lalu sebelum sampai di kasir, hilang seketika dan berganti menjadi sebuah kebingungan serta penyesalan, hehe.

Well, lagi-lagi, itulah strategi sebuah supermarket untuk menjaring konsumen nya. Belum lagi tawaran -tawaran kartu kredit yang semakin membuat konsumen terlena untuk berbelanja lebih dan lebih lagi dengan cukup menggesek si kartu. Hal ini tentu nya membutuhkan keberpihakan pemerintah setempat untuk lebih memperhatikan keberlangsungan pasar tradisional, yang sebetulnya jauh lebih mempunyai harga yang terjangkau dan miring untuk bisa dibeli oleh semua level masyarakat. Namun, kondisi yang becek dan kotor yang banyak ditemui di sejumlah pasar tradisional, menjadikan mayoritas masyarakat setempat di Indonesia lebih memilih untuk pergi ke supermarket atau hypermarket. Kali ini aku tidak akan membahas lebih jauh tentang keberadaan sang supermarket atau pasar tradisional, karena ada satu hal di senja hari itu yang membuatku tertarik untuk menuliskannya lebih lanjut.

Setelah selesai mengambil beberapa barang dan makanan yang ku butuhkan, aku pun meluncur ke salah satu garis antrian yang sangat ramai karena bertepatan dengan hari libur Nasional. Beberapa konsumen terlihat memenuhi kereta dorong nya dengan belanjaan yang super banyak hingga tidak ada ruang kosong lagi di kereta belanjaannya. Ada juga yang hanya membeli beberapa kebutuhan penting saja seperti aku.
Sejurus kemudian, sambil mengantri, perhatian ku tersedot ke suara dialog antara ibu dan anak yang tepat berada di samping line antrianku. Sang anak tengah jongkok dan memperhatikan sebuah permen yang terlihat seperti kapas dengan kemasan warna warni. Nampaknya sang ibu tidak ingin si buah hati mengambil dan kemudian menaruh permen itu di keranjang belanjaan. Entah kehabisan akal atau bagaimana, sang ibu kemudian mengatakan pada anak nya bahwa bungkusan itu bukan permen, melainkan kapas. 'Jangan diambil ya, itu kapas bukan makanan!', begitulah ujar sang ibu. Si anak kekeuh dan balik berujar 'Ini permen kok mah, bukan kapas!'. Terlihat tidak senang dengan tindakan anaknya yang penasaran dengen permen tersebut, ibu tersebut pun berujar kembali,' Itu kapas, bukan permen, coba deh kalau nggak percaya, tanya tuh sama abang yang jaga di situ', seraya meminta persetujuan dari penjaga kasir yang tengah merapihkan barang dan berada dekat dengan tempat anak kecil itu jongkok. Ternyata, sang anak juga sudah mengambil mainan robot-robotan dan pesawat terbang sebelumnya, yang terlihat lumayan mahal harga nya. Sang ibu pun lanjut mengancam anak untuk meletakkan kembali mainan nya, jika sang anak tetap ingin permen kapas yang dikatakan sebagai kapas oleh ibunya itu.

Akhirnya, sang anak merengek kepada ibu nya untuk tidak meletakkan kembali mainannya seraya menyerah dengan tidak jadi mengambil permen kapas itu. Kejadian ini membuatku berfikir. Berapa banyak ibu yang melakukan hal yang sama untuk mencegah anaknya membeli barang-barang atau makanan yang tidak baik bagi sang anak. Mungkin niat sang ibu benar, tapi cara yang digunakan kurang tepat.
Bukankah pengenalan untuk mengatakan sesuatu dengan jujur dan apa adanya, sesuai fakta, harus lah di mulai sejak dini? lantas, jika sang ibu tidak mengiyakan keyakinan anak yang benar, bahwa barang itu adalah permen kapas dan bukan kapas (barang), akan jadi apa sang anak ke depan?
Nampaknya akan lebih elok dan terdengar indah jika sang ibu mengucapkan kata-kata bijak yang membuat anak berfikir untuk akhirnya tidak mengambil permen kapas itu. Sebagai contoh, ibu bisa mengajak sang anak berdialog, 'Nak, iya bener itu permen kapas. Tapi, tadi kan sudah beli mainan pesawat dan robot-robotan yang bagus. Nah, beli permen kapas nya nanti lagi ya..?'. Bukankah jawaban itu lebih baik ketimbang mengatakan 'bukan' untuk sesuatu yang benar dari jawaban dan daya fikir anak?

Satu hal juga yang ku petik dari pelajaran sore hari itu. Bahwa menjadi seorang ibu memang tidak mudah. Ibu harus terus berfikir untuk merangsang daya fikir anak. Ibu harus mencari kata-kata yang baik untuk kemudian terekam dengan baik pula di benak sang anak. Serta masih banyak hal lainnya yang tentunya merupakan tugas berat dari seorang ibu. Subhanallah... tiba-tiba aku teringat pada ibuku yang hingga detik ini terus membimbingku untuk selalu berbicara jujur, apapun situasi yang terjadi. Dan aku yakini bahwa kejujuranku itu adalah kejujuran yang dimulai lebih dulu oleh ibuku kala mendidikku di masa kecil. Terimakasih ibu..
Terimakasih Allah.. untuk mengirimkan seorang ibu yang super hebat dalam hidupku.

23 Januari 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar