Selasa, 10 Januari 2012

Sebuah Pesan dalam Balutan Rasa Rindu

GONTOR. Nama itu tentu tidak pernah hilang dari ingatan dan benak kita. Meski kita telah menjadi alumni, berkeliling daerah di Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri, namun rasanya selalu rindu untuk kembali ke bumi Darussalam, begitupun dengan diri ini. Perjalanan selama satu setengah jam dari Solo menuju Mantingan, Ngawi serasa sepuluh jam karena dilanda ketidaksabaran menginjakkan kaki di Pondok tercinta. Akhirnya, detik itu pun tiba, detik di mana aku dan sahabatku melihat DLP (Depot La Tansa Puteri) dari kejauhan. Ya, kejauhan karena sang supir menurukan kami melebihi tempat seharusnya, hingga melewati Puskesmas yang berada di jajaran Pondok Gontor Puteri.

Subhanallah... tiba-tiba memoriku kembali pada tahun 1997-an, tahun pertama aku menginjakkan kakiku di Pondok ini dan berpisah dengan kedua orang tuaku di DLP setelah jam makan siang. Kala itu, orang tuaku hanya menginap selama dua hari satu malam, di saat anak-anak ManTwo (atau Mantingan Dua) masih ditemani oleh kedua orang tuanya. Kini, aku berada di DLP ini setelah 8 tahun lulus dari Pondok Gontor di tahun 2003 akhir. Rasanya senang, sedih dan tidak percaya bahwa siang ini, persis seperti siang di tahun 1997 itu, aku kembali ada di sini. Plang ‘Kawasan Berbusana Muslim’ itu masih terpasang di tempat aslinya. Bahkan mushola dan kamar mandi yang ada disekitar Binapenta masih sama dengan tahun terakhir aku menyelesaikan studi di Pondok, 2003. Pandanganku pun menyusuri sekitar, ternyata juga ada yang berubah dengan wajah depan lingkungan penerimaan tamu di sini, yaitu berdirinya sebuah Supermarket nan luas dan komplit di kawasan lapangan depan rumah Ustadz Hidayatullah dan Ustadzah Nihayah kala dulu. Kenapa kala dulu? Karena sekarang rumah keduanya telah pindah di kompleks rumah para Asatidz yang berada di samping Supermarket itu.

Sejurus kemudian, aku dan sahabatku pun memutuskan untuk masuk ke DLP dulu, tepat di pukul 13.30 WIB. Perut yang sudah berbunyi sejak di bus tadi, ternyata tidak bisa berkompromi. Kami pun memasuki DLP. Aku langsung mencari menu favoritku tiap mudhifah, Rawon. Ternyata setelah mataku menyusuri sekitar, tak kudapatkan rawon itu lagi. Huff, sempat kesal juga, tp batinku berujar, mungkin sudah berganti menu andalan ya. Aku pun memutuskan menyantap ayam kecap. Rasanya sama persis dengan ayam Senin-Kamis yang biasa kita makan setelah berbuka puasa. Porsi kecil dan bahkan kadang tidak kebagian ayam kala menjadi santri, ternyata tidak menyurutkan langkah kita untuk pergi ke matbah, bahkan kita sampai lomba lari lho, ya kan, hehe. Subhanallah.. aku dan temanku tak henti-hentinya bernostalgia, menceritakan ini dan itu sambil makan siang. Tahu apa yang kami pesan untuk diminum? Es jeruk, yang ternyata sudah bisa kita tebak kan apa yang dimaksud oleh es jeruk itu? Yups, Nutrisari rasa jeruk, heheh. Temanku berkelakar, ‘wah, ndak berubah yo, es jeruk ala nutrisari, ‘ begitulah katanya.

Setelah kenyang dan melihat para Ustadzah yang entah angkatan berapa tengah menyantap makanan juga, kami pun shalat dan langsung menuju rumah Ustadz Hidayatullah dan Ustadzah Nihayah. Sayang sekali, rumah yang selalu terasa teduh dan damai itu sepi, hanya ada seorang PRT (pekerja rumah tangga) yang keluar dan mengatakan bahwa Ustadz dan Ustadzah sedang tidak di rumah. Meski sedih karena tidak bisa bersilaturahmi dan melihat wajah keduanya, namun aku yakin bahwa keduanya tidak pernah lupa untuk mendoakan para alumni Gontor Puteri yang tersebar di mana-mana saat ini. Sejurus kemudian aku dan temanku pun memutuskan untuk langsung mendatangi rumah Ustadz Ma’ruf dan Ustadzah Aliyah yang hanya berjarak satu rumah dari rumah Ustadz Hidayatullah. Tepat pukul 14.30 WIB, kami bisa melihat wajah Ustadz Ma’ruf kembali setelah 8 tahun sejak tahun 2003. Sebelumnya kami ngobrol dengan Ustadzah Aliyah karena Ustadz sedang istirahat. Namun begitu dibangunkan oleh sang istri dan mengatakan bahwa ada alumni Za Green datang, Ustadzah Aliyah bercerita bahwa Ustadz langsung bersemangat untuk bangun. Subhanallah...

Setelah kurang lebih 40 menit kami ngobrol dengan kedua guru tercinta ini, tanpa di duga, Ustadz Ma’ruf pun mengajak aku dan sahabatku untuk berkeliling dengan mobil, ditemani oleh Ustadzah Aliyah dan kedua anak perempuan yang cantik dan lucu, yaitu Yasmin dan Icha. Alhamdulillah.. ternyata niat untuk izin kepada Ustadz agar bisa masuk ke pondok, malah dijawab oleh Ustadz dengan sebuah ajakan, sebelum kami mengutarakan keinginan kami. Ya Rabb.. inilah bentuk dari indah nya bersilaturahmi. Tanpa berfikir panjang, kami pun langsung senyum dan menyambut tawaran Ustadz dengan bahagia. Bagaimana tidak? Sosok low profile keduanya dari dulu, seakan selalu melekat di hati kami dan hari itu pun kami diajak berputar dengan menaiki mobil. Ahay, serasa tamu VVIP, hehe. Lokasi pertama yang kami datangi adalah Gontor Camp.

Untuk teman-teman yang senang dengan petualangan flying fox atau yang dulunya pengurus Koord, pasti betah berlama-lama di area Gontor Camp ini. Berbagai permainan, mulai dari flying fox, rumah hantu, uji keseimbangan di atas tali yang dilumuri lumpur, ban-ban tali hingga kolam air yang rencananya akan dipenuhi mainan ini tersedia di area Gontor Camp. Nampak di sebuah sudut, bendera Gudep 1732, yang mengingatkanku pada riuh ramainya hari Kamis, waktu untuk berpramuka. Area Gontor Camp ini terletak di kawasan Aula besar di belakang gedung Syiria, tempat kelas-kelas kami, 62003 dulu. Dahulu, kawasan ini sangat terkenal dengan pohon tebunya bukan? Bahkan sampai heboh, sebagai tempat masuknya maling dengan leluasa. Kini, kawasan ini telah berpagar dan ada dua tangki air, di mana Ustadz Ma’ruf bercerita bahwa akan dibangun kolam renang dengan segera di situ. Subhanallah... kok ndak dari dulu ya Ustadz Gontor Camp dan kolam renang nya itu. Hehe. Diseberang Gontor Camp, terdapat tulisan ‘ Kawasan Bumi Perkemahan’. Wah, mantab ya, sekarang kawasan Buper itu sudah tidak di area dekat wisma lagi. Kini Buper mempunyai lahan khusus. Setelah asyik berfoto ria dengan keluarga Ustadz Ma’ruf, kami pun menaiki mobil kembali dan berputar ke gedung mufaddhol, Indonesia 3 dan 4 hingga Kopel yang kini mempunyai bangunan baru di depan Indonesia 3. Subhanallah... banyak sekali perubahan pada wajah jalan-jalan serta bangunan di Pondok ini. Masih ingat kan dengan gedung Mufaddhol? Gedung yang beralaskan seng yang serasa panas ketika siang tiba dan datang ratusan nyamuk di kala malam? Hehe. Nah, Mufaddhol kini telah berubah wujud menjadi gedung yang cantik dan bercat cerah, paduan hijau dan putih. Di depan Kopel baru, ada lapangan bola basket dan juga air mancur tepat di depan Indonesia 4. Terowongan yang dulu memisah kamar-kamar yang ada di Indonesia 4, ditutup dan dibuat satu kamar lagi. Tidak jauh dari situ, adalah Masjid.

Memoriku kembali pada tahun 2002, tahun di mana aku diberikan kepercayaan sebagai Bagian Keamanan dan masjid menjadi sentral perhatian kami, para bagian Keamanan. Sajadah hijau itu, sajadah yang menjadi saksi bisu para santri yang datang terlambat ke masjid dan kami pukuli pantat nya dengan sajadah itu. Ah, sebetulnya tidak tega juga memukuli mereka, namun Pondok memang mengajarkan disiplin yang sangat tinggi, tidak pandang bulu. Banyak sekali pelajaran yang kami dapatkan di Pondok ini. Sore itu, para santri masih terlihat mengaji di Masjid setelah shalat Ashar. Dan seperti biasa, ada beberapa santri yang dijemur karena kesalahan-kesalahan mereka. Ya Allah... aku teringat Wahidaini, Lailatun Nisfiyah, Rida Rosidah, Ida Rosyidah, Puspita Ningrum, Heni Kusuma, Tutik.M, Ela, Memem, Ajeng dan Eva Zumrotin sebagai sesama partner di bagian Keamanan. Kini, kerudung-kerudung mereka pun berbeda, tidak lagi satu warna seperti dulu. Warna orange dipadu dengan setengah motif biru kotak atau garis dan lainnya. Oh Pondokku, tempat naung kita, dari kecil sehingga dewasa. Subhanallah, senangnya bisa kembali ke sini. Setelah mengambil foto, kami puj bergegas menuju mobil kembali. Sejurus kemudian, Ustadz menyetir ke arah Bosnia dan sampingnya. Ah, aku teringat Palestine, tempat aku menjadi santri Mantingan Dua kala itu. Kami pun menaiki Kubri Palestin dan menuju Gontor Puteri 2. Ustadzah Aliyah bercerita bahwa kini Gontor Puteri Dua sudah mempunyai manajemen nya sendiri. Banyak gedung-gedung baru yang dibangun di sini. Aku pun teringat kala dulu mengajar darsul masaaii dan kala itu Pondok tengah di landa hujan besar. Jalanan yang ada pun belum seperti ini, sudah berbentuk aspal hampir di seluruh penjuru.

Setelah berkeliling Pondok dan melewati gedung-gedung yang tengah dibangun, kami pun kembali ke kediaman Ustadz Ma’ruf dan mulai berdiskusi dengan beliau. Beliau menanyakan kabar para alumni Za Green dan angkatan lainnya serta menyinggung tentang Reuni alumni 1994-1998 lalu di Pondok Gontor Puteri. Ustadz mengawali pembicaraannya bahwa saat ini sangat jarang muslimah yang bisa berperan di dua hal, yaitu ranah publik dan privat secara bersamaan, termasuk peran sosial. Tidak banyak juga orang yang mempunyai idealisme dalam kedua hal itu, terutama perempuan, ujar Ustadz. Perempuan memang sering dipandang tidak mempunyai kontribusi secara materil. Padahal, seorang ibu sangat berperan dalam hal pendidikan anak, bahkan hingga 99% dan bapak hanya mendapatkan 1% nya. Begitulah paparan Ustadz Ma’ruf. Aku pun bertanya bagaimana pandangan beliau akan sebuah aliran bernama Feminisme yang saat ini menjadi kajian paling diminati dan selalu happening. Bukanlah dalam Islam pun, artian feminisme sebagai perjuangan, sikap atau gerakan melawan ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan juga sudah di bahas? Namun bagaimana dengan feminisme ala Barat yang muncul setelah revolusi Perancis dan berwajah awal sebuah gerakan perempuan?

Sang Ustadz pun menyatakan bahwa mempelajari feminisme itu tidak masalah. Yang penting, world-view nya harus Islam. Menurutnya, mar’ah solihah itu tidak sama dengan perempuan karier. Jika mar’ah solihah itu dunia dan akhiratnya seimbang, tidak demikian dengan perempuan karier yang hanya memikirkan dunia saja. Selain ngobrol tentang Feminisme, Ustadz pun mencamkan bahwa jangan sampai lupa dengan prinsip Pondok; Ke-Islaman, Ke-Ilmuan dan Ke-masyarakatan. Beliau pun mengutarakan bahwa konsep kesatuan marhalah, nampak nya perlu dibumikan hingga kesatuan konsul. Sehingga, satu alumni dengan alumni lainnya yang berasal dari daerah yang sama, akan tetap terhubung, meski beda marhalah. Sayup-sayup pengajian di masjid pun terdengar hingga rumah Ustadz dan menandakan azan maghrib sudah semakin dekat. Rasanya waktu tiga setengah jam bersama Ustadz Ma’ruf dan Ustadzah Aliyah berjalan dengan sangat cepat. Waktu jua yang memisahkan kami, aku dan temanku pun pamit pulang ketika adzan maghrib berkumandang. Meski tidak dapat bertatap muka dengan Ustadz Hidayatullah, namun hati ini senang sekali karena bisa kembali menapaki bumi Darussalam, Gontor Puteri, kampung nan damai.

08 Januari 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar