Minggu, 01 Januari 2012

Antara Idealisme dan Sikap 'Aneh' Pemerintah Indonesia

Aku berfikir bahwa sebenarnya tiap orang mempunyai idealisme dalam hidup.Jika tidak, mana mungkin masing-masing kita mempunyai sebuah cita-cita dalam hidup, ya kan?
Namun dalam perjalanannya kemudian, ada beberapa dari kita yang cenderung untuk mempertahankan idealisme nya, tidak peduli apapun yang terjadi. Ada juga yang cenderung untuk bersikap lebih flexible, bahwa idealisme perlu untuk dipertahankan namun dengan bersikap lentur ketika menghadapi beberapa pilihan. Terakhir, ada juga yang cenderung untuk mengakhirkan idealisme nya demi sebuah eksistensi diri, baik dalam hal materiil, jabatan dan kekuasaan.

Akhir-akhir ini aku mengamati beberapa pilihan profesi orang dalam menjalani hidup. Profesi seperti Peneliti, Dosen dan Guru merupakan beberapa contoh yang masuk dalam kategori langka. Kenapa langka? meski ada beberapa diantara mereka yang pada akhirnya tergoda juga untuk 'mengecap' yang bukan hak mereka, namun pada dasarnya penghasilan/gaji dari profesi-profesi tersebut adalah sangat minim.
Potret pertama, adalah seorang peneliti.

Ayahku adalah seorang peneliti senior di salah lembaga ilmu pengetahuan Indonesia. Awal karier ayah dimulai sejak tahun 1985 di desk Penelitian Masyarakat dan Budaya. Beliau menggeluti bidang politik lingkungan yang notabene untuk keperluan penelitiannya, sering berangkat dan beranjak dari satu daerah ke daerah lain di Indonesia. Alhamdulillah ayah mendapatkan beasiswa S2 dan S3 nya di Negeri Sakura.
Pilihannya untuk menggeluti dunia penelitian dan fokus pada lingkungan (hutan dan berbagai kondisi alam lainnya) tentulah berdasarkan keputusannya dalam menjalani hidup.

Potret yang aku lihat selama ini, kondisi kesejahteraan seluruh peneliti Indonesia termasuk ayah sangatlah jauh dibanding anggota DPR RI yang mempunyai gaji puluhan juta rupiah. Untuk gaji pokok seorang peneliti saja, meski sudah senior, tidak bisa disamakan dengan para wakil rakyat yang 'katanya' bekerja untuk rakyat itu.
Bahkan, tak jarang honor menulis yang seharusnya keluar di bulan Oktober, harus mundur hingga dua bulan ke depan. Waw, sebenarnya pemerintah Indonesia ini menghargai profesi peneliti nggak sih ya?

Beberapa hari lalu, 29/12/2011, aku membaca salah satu berita di harian KOMPAS yang berjudul 'Lembaga Penelitian Makin Tak Diminati'.
Dalam ulasan berita KOMPAS itu, disebutkan bahwa lembaga penelitian Indonesia makin tak diminati oleh generasi muda. Sang Kepala LIPI pun menyatakan bahwa selain gaji dan insentif terbatas, kesempatan untuk melanjutkan pendidikan juga makin terbatas. Hal ini berhubungan dengan anggaran pemerintah yang tak sebesar dulu untuk menyekolahkan peneliti dan perekayasa ke luar negeri. Selain itu, ulasan berita itu pun menceritakan bahwa sebagian besar pegawai LIPI saat ini berusia antara 45-55 tahun dan tenaga pengganti banyak yang belum siap.
Bisa dibayangkan jika regenerasi peneliti tidak berjalan lancar di Indonesia.

Bagaimana potret dunia pendidikan kita lima atau puluhan tahun ke depan? akankah Indonesia menjadi Negara yang bisa dibanggakan secara SDM nya?
Para generasi muda saat ini nampaknya lebih senang mengikuti berbagai ajang pencarian Idol yang bisa cepat terkenal dan mendapat uang berlimpah. Para pemuda/i pemenang berbagai olimpiade yang diselenggarakan di luar negeri pun tidak mempunyai porsi pemberitaan yang besar seperti para Idol tersebut. Media memang identik dengan industri dan keuntungan memenangkan hati penonton sematan, namun Pemerintah pun sebenarnya dapat mengatur mekanisme pemberitaan tersebut.

Selain peneliti, profesi dosen dan guru pun bernasib sama. Pengalaman Ibuku yang berprofesi seorang dosen dan sudah mendedikasikan dirinya sejak tahun 1987 pun tidak beda dengan peneliti. Gaji yang tidak sebesar para anggota dewan, ditambah insentif yang tersendat-sendat juga sudah menjadi rahasia umum masyarakat Indonesia.
Sikap 'aneh' Pemerintah Indonesia ini hampir terjadi di tiap hal, bukan hanya pendidikan. Salah satunya adalah keadilan hukum. Jika sang koruptor bisa mendapat remisi dan tinggal di penjara nan mewah dan sering melakukan travel, tidak demikian dengan pemuda yang mengambil sandal, nenek minah yang mengambil 3 biji kakao dan masih banyak kalangan bawah lainnya yang menjadi korban ketidakadilan hukum Indonesia.

Meski demikian, idealisme untuk mengagungkan ilmu dibanding melihat materi yang akan di dapat, tentu merupakan sikap bijak yang tidak dimiliki oleh semua orang. Hanya insan terpilih lah yang bisa bertahan dalam kondisi demikian.
Subhanallah, dari berbagai potret hidup yang saya lihat, Allah lebih mencintai dan memberikan berkah-Nya kepada orang-orang yang tetap mempertahankan keputusan hidupnya guna mengabdi pada nilai-nilai kemanusiaan, apapun profesi yang mereka tekuni.
Semoga sikap 'aneh' Pemerintah Indonesia dalam membuat kebijakan dan memperhatikan kesejahteraan para pelaku pendidikan, siapapun mereka akan sirna seiring masuknya tahun baru 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar