Senin, 09 Januari 2012

Jogja, Solo dan Sebuah Kereta Bernama Prameks

Kakiku berpijak di bumi Yogyakarta, tepatnya di sebuah stasiun bernama Tugu, setelah selama kurang lebih sembilan jam berada di kereta api Senja Utama jurusan Jakarta-Yogyakarta. Stasiun ini tentu tidak asing bagiku. Seingatku, tercatat sudah empat atau lima kali aku berhenti di stasiun ini untuk kemudian bersilaturahmi dengan para sahabat di Yogyakarta. Namun, kali ini tujuanku bukanlah Yogyakarta, namun Solo. Yah, apa mau di kata, semua tiket jurusan Jakarta-Solo Balapan sudah ludes terjual. Akhirnya, tiket ini lah yang menjadi alternatif terakhirku untuk tetap bisa sampai di Kota yang mempunyai ikon ‘City of Garden’ itu. Setibanya di stasiun Tugu, aku pun menunaikan shalat subuh dan membeli tiket kereta api Prameks, sesuai instruksi sahabatku. Akhirnya, kereta yang kutunggu pun datang. Sebuah kereta api berwarna ungu cerah, mempunyai jadwal keberangkatan paling pagi setengah enam dan dibandrol dengan harga sepuluh ribu rupiah per penumpang. Kereta api inilah yang menjadi alat transportasi penghubung sekian banyak masyarakat Yogya-Solo yang akan berangkat menuju tempat kerjanya atau melakukan berbagai aktifitas lainnya seperti karyawisata atau berdagang.

Sejurus kemudian, aku memasuki salah satu gerbong kereta ini. Unik, itulah kesan pertama yang aku tangkap. Kereta ini tidak seperti commuter line yang biasa aku tumpangi di Jakarta. Desain kereta ini lebih mirip kereta wisata dengan desain tempat duduk berhadap-hadapan berwarna hijau dan mempunyai beberapa kipas angin di selasar nya. Jarak tempuh antara Yogya dan Solo dengan Pramek ini adalah sekitar satu jam. Seru rasanya menaiki Prameks, kita disuguhi pemandangan kota Yogya serta hamparan sawah nan hijau dan udara yang sejuk kala pagi. Mungkin saya termasuk orang yang beruntung karena orang disebelahku berujar bahwa biasanya Prameks ini tidak pernah sepi. Tak jarang kita bisa sampai tidak bisa mendapatkan tempat duduk. Aku pun mempercayai perkataan perempuan paruh baya ini begitu melihat tiketku, yang bertuliskan BERDIRI dan TIDAK MENDAPATKAN TEMPAT DUDUK.

Perasaan bahagia ini tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Bagiku, siapapun yang tinggal dan melakukan rutinitas di Jakarta sepakat menyatakan bahwa pergi selama beberapa hari ke Yogya atau Solo, adalah pengalaman yang asyik dan menyegarkan otak. Perempuan paruh baya itu pun bercerita bahwa ia rutin melakukan perjalanan dari Yogya ke Solo dan sangat menyukai Solo, tempat suaminya bekerja. Sejurus kemudian, ia pun bercerita tentang kekagumannya atas kepemimpinan Joko Widodo dan mengapresiasi keputusannya untuk tidak menerima tawaran menjadi pejabat di Ibukota. Kami pun terlibat obrolan seru mengenai politik.

Perempuan yang bekerja di sebuah Bank Swasta ini pun menyatakan bahwa bagaimanapun kepemimpinan Orde Baru Soeharto, lebih bisa memberikan rasa aman bagi warga negara, ketimbang kepemimpinan SBY saat ini. Begitu kusinggung mengenai dosa-dosa politik Suharto di masa Orde Baru selama 32 tahun, yang kemudian berimplikasi hingga saat ini, ia berujar bahwa kenyataannya kesejahteraan rakyat masih nampak ketika zaman Suharto. Ia pun tak segan menyatakan bahwa sebaiknya DPR itu memang ditiadakan dan lebih baik langsung berada di bawah Kementerian saja. Dengan begitu, anggota komisi yang menangani berbagai isu dan mengawasi kinerja badan eksekutif, tepat ada di instansi Kementerian. Wah, jika demikian, batinku berujar, bagaimana dengan konsep trias politika ala Montesquieu bahwa sebuah kekuasaan itu perlu dibagi agar tidak terpusat. Karenanya, Indonesia sebagai Negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi, menggunakan badan eksekutif, legislatif dan yudikatif sebagai upaya untuk membagi tugas dan fungsi dalam sistem pemerintahan. Yang memang nyatanya, tidak bisa berfungsi dengan baik karena jauh dari kesan partisipastif dan transparan. Haus kekuasaan dan penempatan orang yang belum pas pada sebuah kabinet, menambah benang kusut permasalahan bangsa di era reformasi. Semangat reformasi seakan hilang ditelan berbagai kepentingan segelintir pihak.

Obrolan kami pun terhenti seiring kedatangan kami di Stasiun Purwosari, Solo. Masing-masing kami pamit dan aku pun memutuskan untuk menunggu sahabatku di ruang tunggu. Desain stasiun ini khas tempo dulu dengan kerangka baja nya yang nampak kokok. Aku pun tersenyum riang, seraya mengucap syukur akan kedatanganku kembali di kota ini setelah kurang lebih delapan tahun berpisah. Terimakasih ya Allah atas kesempatan ini.

7 Januari 2012, 06.10 WIB.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar