Rabu, 18 Januari 2012

Rasa Ujub

Kata Ujub bisa diartikan sebagai rasa membanggakan diri sendiri. Salah satu situs yang saya baca belakangan ini mengenai pengertian dan ulasan mengenai Ujub sangatlah menarik, yaitu umum.kompasiana.com. Mengutip bahasan atau ulasan yang ada di situ, Ujub berasal dari bahasa Arab, di mana selain sikap membanggakan sendiri, Ujub juga berarti merasa heran terhadap diri sendiri sebab adanya satu hal dan hal lain. Mungkin sebagian kita pernah melihat sikap orang yang sedang Ujub. Atau, bisa saja kita pun pernah bersikap Ujub, Na’udzubillah min dzaalik. Tulisan ini tidak bermaksud menyinggung siapapun yang membaca-nya, hanya sekedar berbagi tentang kejadian hari ini yang sempat membuat saya tersenyum sendiri.

Alhamdulillah hari ini saya berkesempatan menghadiri sebuah workshop tentang akses pengembangan kesehatan masyarakat, terutama bagi perempuan di DKI Jakarta. Ketika tiba di tempat pada pukul 09.00 WIB, ruangan masih terlihat kosong, hanya ada 6 orang siswa/i Aliyah. Padahal, sang panitia menginformasikan bahwa acara akan dimulai pukul 09.00 WIB. Workshop ini mengundang beberapa kalangan dari berbagai kelompok, yaitu kelompok ibu-ibu pengajian, kelompok sebuah Ormas, kelompok Ormas pemuda dan juga anak-anak sekolah, yang belakangan berbaju putih abu-abu dan putih biru. Selang 30 menit kemudian, beberapa anggota dari beberapa kalangan kelompok pun hadir.

Nah, kejadian lucu dan menggelikan itu terjadi ketika salah seorang dari kelompok pengajian ibu-ibu datang dan menyalami siswa/i satu persatu. Ibu tersebut mulai menyalami ke enam anak yang sudah hadir lebih dulu, yaitu sebelum pukul 09.00 WIB. Ketika bersalaman, sang ibu pun menyodorkan punggung telapak tangannya untuk dicium oleh beberapa siswa/i yang ada. Setelah terlewati tiga siswi, beralih-lah ia ke siswi ke empat. Nah, siswi ke empat ini sudah melihat sikap sang ibu tadi pada teman-teman nya dan nampaknya ia kurang suka. Akhirnya, ketika sang ibu menyodorkan punggung telapak tangannya, sang siswi tidak mencium nya, hanya menyalami nya. Sambil sang ibu berlalu, siswi itu pun ‘ngedumel’ dan menunjukkan ekspresi ketidaksukaannya pada tingkah laku salah satu ibu di kelompok pengajian itu. Suasana workshop yang santai, yaitu lesehan di sebuah gedung Yayasan, membuatku leluasa untuk melihat sekitar. Bisa jadi, sikap sang ibu yang ‘minta’ untuk dihormati oleh para anak-anak dengan menyodorkan tangannya adalah kejadian yang sering kita temui. Padahal, rasa hormat tidaklah hadir dari sebuah keterpaksaan. Rasa itu hadir dari sebuah kepedulian dan tenggang rasa juga sikap bersahabat dengan sesama, termasuk juga dengan generasi muda bangsa. Aku pun tersenyum melihat tingkah sang siswi yang menampakkan ketidaksukaannya dengan jelas. Setelah workshop berakhir, aku mendatangi ke enam siswa/i tersebut. Ternyata, ketika aku dekati dan menanyakan lebih lanjut aktifitas mereka, sikap kekawanan mereka pun hadir. Mereka bisa dengan leluasa membicarakan keadaan Pondok mereka dan lokasi pastinya, guna menawarkanku datang ke sebuah Pondok yang berada dekat dengan Pasar Klender. Selain itu, ketika kuajukan pertanyaan tentang pelajaran bahasa Inggris, salah satu dari mereka pun menjawab bahwa ia ingin sekali bisa berbahasa Inggris, namun ada saja kendalanya.

Lepas dari obrolanku dengan para siswi, aku mengambil sebuah pelajaran hari ini, bahwa rasa hormat dari seseorang atas seseorang bukanlah hadir dari perbedaan umur, pendidikan, status sosial ataupun jenis kelamin. Lebih dari itu, rasa hormat hadir kala kita bisa mendengarkan seseorang, siapapun itu, dengan tulus. Rasa hormat hadir ketika diri kita bisa menghargai orang lain, apapun profesi dan latar belakang hidupnya. Rasa hormat hadir ketika kita bisa berbagi, entah ilmu, pengalaman atau juga materi yang berlebih. Semoga saja kita selalu belajar dari kesalahan dan terhindar dari rasa Ujub yang sangat halus dibisikkan oleh musuh utama manusia, yaitu Syaitan. Amin.

Jakarta, Januari 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar