Kamis, 12 Januari 2012

Solo, Riwayatmu Kini

Mungkin jika almarhum Gesang, sang pencipta lagu ‘Bengawan Solo’ masih hidup, ia akan bangga plus sedih melihat kota Solo. Di satu sisi, banyak perubahan dan kebijakan yang pro rakyat di bawah pemerintahan Joko Widodo. Di sisi lain, wajah museum Keraton Solo nampak tak terawat dengan atap yang terbuka dan mengaga di sana sini. Setidaknya, itulah hasil pengamatanku selama tiga hari berada di kota nan teduh ini.
Hari ini, 07/01/2012, hari pertama aku tiba di kota Solo. Setelah bermusyawarah dengan sahabatku yang sedang menempuh studi magister di UMS, kami pun memutuskan untuk mendatangi Keraton Solo terlebih dulu, dibanding tempat menarik lainnya.
Jam telah menunjukkan pukul 14.30 ketika kami tiba di Keraton Solo. Ternyata setelah kami melihat jadwal kunjung museum, sisa waktu yang tersedia tinggal 30 menit lagi, karena museum Keraton tutup pukul 15.00 WIB. Meski waktu yang ada sangatlah sempit, namun tidak menuyurutkan hati kami untuk masuk. Temanku pun berujar, ‘sayang lho ndak masuk, udah jauh-jauh kan dari Jakarta’, hehe ada benarnya juga temanku ini. Sejurus kemudian, kami langsung membeli tiket dan masuk ke lingkungan museum Keraton.

Ini adalah pengalaman pertamaku memasuki museum Keraton Solo. Rasa penasaran dan senang jadi satu kala itu. Harga tiket dipatok Rp.10.000,- bagi orang dewasa dan ada juga tambahan biaya jika kita membawa kamera digital atau lainnya seharga Rp.3.500,- yang sebetulnya tidak akan ketahuan apakah kita membawa kamera atau tidak. Karena kami warga negara yang baik, jadilah kami membayar biaya lebih untuk memotret. Kami menyusuri ruang demi ruang di museum Keraton ini setelah menyantap lotek sebagai menu makan siang yang hanya dibandrol Rp.5.000,- untuk lotek komplit. Suasana sekitar Keraton Solo ini sangat mirip dengan suasana Keraton Yogya yang kala itu aku datangi. Ada juga sebuah pohon di lapangan depannya nan luas, mirip pohon yang ada di alun-alun Kidul alias Alkid di Yogya. Ketika masuk, sesaat aku perhatikan interior ruangan museum Keraton Solo ini yang nampak kurang terawat. Atap museum nampak mengelupas di sana-sini, seperti bekas rembesan hujan. Selain itu, tidak nampak tulisan keterangan lengkap di tiap display barang-barang yang dipamerkan. Ruangan pertama yang kami susuri dikawal oleh dua patung pasukan Belanda di depan pintunya. Barang-barang yang dipamerkan diruangan pertama ini adalah tempat masak nasi ukuran jumbo, alat-alat memasak lainnya seperti dandang, ulekan dan ada juga tempat rokok ukuran besar. Aku tidak dapat menghafal dan menemukan nama yang tepat untuk barang-barang ini karena minim keterangan di luar etalasenya. Ruangan berikutnya diisin dengan peninggalan-peninggalan Keraton tempo doeloe seperti alat pengakut barang dan manusia, yang digunakan juga untuk penganten Keraton. Bentuk-bentuknya sangat manis dan unik. Ada juga patung dalang wayang yang tengah memperagakan permainan wayangnya dan juga sepasang patung suami isteri yang tengah melakukan resepsi pernikahan ala Keraton, lengkap dengan foto-foto tempo doeloe.

Di ruang tengah museum, ada patung kuda yang agak menyeramkan. Temanku pun tidak berani lama-lama berada di ruangan itu. Ia menarikku dan aku pun tersenyum atas tingkahnya. Memang beberapa display patung yang ada, terkesan hidup, seperti patung perlawanan rakyat Indonesia melawan koloni Belanda yang lagi-lagi tidak ada keterangan sejarah nya sama sekali. Sungguh sangat miris. Memang ada guide yang disediakan oleh pihak museum. Tapi haruskah tiap pengunjung yang datang menggunakan jasa guide? Bagaimana jika siswa atau mahasiswa yang hanya mempunyai uang pas-pasan?
Kami pun menyusuri ruangan lain. Ada dinding ukiran yang panjang di ruang tengah museum ini, menggambarkan perjuangan para leluhur dalam melawan masa penjajahan Belanda dan lagi-lagi kami tidak disajikan keterangan ukiran dinding ini. Ada juga sebuah payung adat ala Keraton yang kerap digunakan untuk memayungi sang Sultan atau keluarganya. Bentuknya yang sangat lusuh dan robek di sana sini, membuatku berfikir bahwa payung itu sudah ada sejak tahun 1700-an, begitupun dengan bambu-bambu runcing yang ada.

Ruangan berikutnya diisi oleh dua buah kereta kuda yang nampaknya juga di pakai oleh Sultan dan keluarganya, serta noni-noni Belanda. Nampak di depan kereta kuda itu sebuah tulisan ‘ Kyai Morosebo 1770’. Desain nya yang elegan, membuatku membayangkan bahwa kala itu, pastilah kereta kuda ini sangat indah dan membanggakan. Kini, kereta tersebut nampak lusuh, tapi juga tidak menghilangkan kesan elegannya. Beralih ke ruangan lain, ada juga koleksi ragam barang pecah, mulai dari bentuk vas bunga hingga barang lainnya yang mempunyai motif nan unik, khas paduan motif China dan lokal. Ada juga sebuah dayung raksasa yang tidak bisa aku bayangkan, bagaimana ukuran perahu nya ya? Terdapat dua ruangan dalam museum ini yang tidak bisa dimasuki oleh publik. Entah karena sedang tahap renovasi atau karena alasan lainnya. Akhirnya kami memasuki ruangan berikutnya, yang diisi dengan patung-patung stupa dan peninggalan bersejarah lainnya. Ruangan terakhir diisi dengan foto-foto para Sultan Keraton Surakarta dari periode awal memimpin hingga kini. Ada juga koleksi kursi khas Bali yang mempunyai desain menawan dengan balutan kain merah fanta bercorak krem. Perjalanan mengelilingi ruangan museum pun berakhir. Aku meminta salah satu pengunjung yang ada, untuk mengambil gambar aku dan temanku di lingkungan museum Keraton ini. Setelah ia selesai mengambil gambar, ia pun bertanya kepada kami, ‘mba, tadi masuk ndak pas di ruangan yang ada patung kuda-nya?’, ujarnya. Kami pun mengiyakan dan bahkan beberapa pengunjung yang ada, sempat berfoto di depan patung itu. Ia mengatakan bahwa ia diberi kelebihan oleh Allah untuk bisa merasakan hawa yang berbeda meski tidak sampai melihat. Nah, ia mengaku bahwa ia merasakan hal berbeda ketika akan masuk ke ruangan patung kuda itu. Kemudian, ia pun menarik adiknya untuk tidak jadi memasuki ruangan patung itu. Begitulah sekilas cerita mistis dari seorang pengunjung yang kami temui, tepat di pukul 15.00 WIB, tanda museum akan segera di tutup.

Setelah berpamitan dengan perempuan paruh baya yang tengah kuliah di Yogya itu, temanku pun menceritakan ketidaknyamanannya ketika memasuki ruangan dan kemudian melihat patung kuda tersebut. Sehingga ia pun menarikku untuk pergi dengan segera ke ruangan lain. Temanku sejak di pondok –an ini pun bercerita bahwa kabarnya banyak benda-benda Keraton yang hilang dan ternyata di perjualbelikan di luar negeri. Anehnya, barang yang diperjualkan, dibeli lagi oleh orang-orang kita (Indonesia yang ada di luar negeri), untuk sekedar menambah koleksi barang kuno-nya. Sejurus kemudian, nampak wistawan asing yang setelah aku tanya, ternyata ia berasal dari Kuala Lumpur (KL), Malaysia. Aku pun mengatakan padanya bahwa aku pernah berada seminggu di KL untuk mewawancarai beberapa orang TKW guna keperluan tesis-ku. Sejurus kemudian, ia pun berujar bahwa PRT yang ada di rumahnya berasal dari Medan, Indonesia. Serasa ada perasaan sedih ketika ia menceritakan bahwa PRT-nya berasal dari Medan. Orang Indonesia menjadi PRT di negeri Jiran, kemudian ikut kembali bersama majikannya wisata ke Indonesia, tanah kelahirannya. Setelah kulihat, ternyata sang PRT jauh lebih cantik dibanding majikan perempuannya (hehe, maaf ya bu). Ingin sekali kutanyakan beberapa pertanyaan kepada bapak paruh baya ini, namun baru saja niat untuk bertanya, ada salah satu keluarga nya yang mengajak nya untuk mengitari kompleks rumah Keraton Solo bersama guide yang disewa-nya.

Hujan deras masih mengguyur kota Solo di sore itu. Dengan niat cepat sampai di kost-an, kami pun menembus hujan dengan satu jas hujan yang digunakan berdua. Kami melintasi daerah kota, yang ditandai oleh keberadaan Jl.Slamet Riyadi. Percaya atau tidak, hanya terdapat dua mall di kota ini, yaitu Solo Grand Mall dan Solo Square. Hal ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah kota Solo yang dipimpin oleh Joko Widodo. Dibawah kepemimpinannya-lah, ia membatasi keinginan para investor untuk mendirikan mall dan nampaknya kejadian ini memicu sinisme seorang Bibit Waluyo. Seperti yang marak diberitakan, Bibit enggan untuk menggunakan mobil Kiat Esemka sebagai kendaraan dinas nya. Di tengah deras nya hujan, aku melintasi pondok As-Salam Solo yang dahulu pernah aku datangi di tahun 1997 untuk mengikuti ujian masuk-nya. Nampak perubahan bangunan Pondok di beberapa titik saat ini, setelah 14 tahun aku melihatnya kembali.
Subhanallah... perjalanan yang mengesankan di kota damai bernama Solo. Kota yang jauh dari kesan macet ini adalah salah satu tempat yang paling pas untuk melepas lelah dari penat ibukota. Perjalanan hari ini diakhiri dengan santapan kuah ikan tenggiri yang terletak di dekat kost-an temanku di daerah Pabelan. Pemilik tempat makan ala bambu ini biasa disebut dengan sebutan ‘Mbah’. Makan ala parasmanan dengan porsi yang besar, tentu saja membuat perut kami cepat kenyang. Tenpat ini nampaknya menjadi tempat favorit bagi segala kalangan, mulai dari yang muda hingga tua. Ah Solo... riwayatmu kini, semoga lebih indah dari tahun sebelumnya, begitupun dengan kondisi kebersihan Bengawan Solo.

Solo, 07 Januari 2012



1 komentar: